Garis keturunan dan pertalian darah dengan kekuasaan atau nama besar di masa lampau masih menjadi jualan dalam politik Indonesia hari-hari ini. Pikiran-pikiran yang feodalisti masih bercokol dalam benak masyarakat Indonesia. Narasi soal keturunan raja, bangsawan, orang berajasa atau bahkan orang sakti di masa lalu seolah menjadi legitimasi bagi diri mereka saat ini untuk memperoleh kekuasaan kembali atau mencari dukungan.
Cara-cara politik feodal yang mengandalkan garis keturunan dan darah itu dibangkitkan kembali oleh KH Maruf Amin. Â Sosok Maruf Amin dikatakan adalah salah satu cicit dari Syekh Nawawi Al Bantani. Ma'ruf Amin mengatakan Syekh Nawawi merupakan putra Kampung Tanara, Banten, yang meninggalkan Tanah Air untuk belajar ilmu agama di Timur Tengah.
Ia kemudian dikenal sebagai pemimpin ulama di daratan Saudi Arabia dan dikenal sebagai ulama besar pada abad ke-14 H, Al Bantani adalah ahli fikih mazhab Syafi'i, seorang ahli tasawuf, unggul dalam bidang tafsir, dirinya juga pernah menjadi Imam Masjidil Haram. Tidak berhenti di situ saja, Syekh Nawawi Al Bantani juga menjadi guru dari banyak ulama besar Indonesia. Beberapa muridnya yang dikenal sebagai pelopor pendirinya organisasi besar Islam.
Beberapa muridnya antara lain Hasyim Asyari pendiri Nahdatul Ulama, KH Kholil Bangkalan, sampai Ahmad Dahlan, yang juga pendiri Muhammadiyah. Kakek Maruf Amin dianggap adalah mahaguru dari para ulama besar Indonesia.
Bukan hanya keturunan seorang Ulama besar, Maruf Amin dianggap juga memiliki darah keturunan para raja-raja Jawa. Kiai Ma'ruf mengaku turunannya Maulana Hasanudin yang merupakan seorang pendiri Kesultanan Banten. Seperti diketahui, Maulana Hasanudin adalah Putera Sunan Gunung Jati.
Hal itu dirinya sampaikan pada saat mengisi tausiyah dan ngaji bersama di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Melalui pengakuan tersebut secara tidak langsung Maruf Amin juga merupakan keturunan dari Raja Padjajaran Prabu Siliwangi. Garis keturunan tersebut didapat dari Sunan Gunung Jati. Maruf Amin yang keturunan Kerajaan Padjajaran juga diamini mantan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi.
Tidak hanya di tanah Pasundan, maruf Amin juga memiliki darah keturunan Raja Madura, hal tersebut dirinya sampaikan saat mencari dukungan ke tanah Madura dan mengunjungi pesantren  Hidayatullah Al-Muhajirin, Arosbaya, Kabupaten Bangkalan, Madura. Maruf Amin mengaku punya keturnan Raja Madura Madura dari Kiai Demang Plakaran, Arosbaya, Bangkalan. Beliau mempunyai anak bernama Raden Kiai Pragalba, cucu beliau (Raden Kiai Pragalba) yang di Pamekasan diperistri Raja Sumedang Larang yang kemudian diberi gelar Nyai Ratu Harisbaya yang diambil dari Arosbaya. Dari sana kemudian lahir mbah-mbah (kakek buyut) Maruf Amin.
Legitimasi kekuasaan yang didasarkan raja, penguasa, dan kyai-kyai besar di masa lampau, sepertinya sangat kencang dikumandangkan oleh Maruf Amin untuk merebut simpati para pendukung. Bagi Maruf kekuatan garis keturunan dan darah tersebut masih sangat berpengaruh di masyarakat utnuk menarik suara. Tapi anehnya Maruf Amin begitu lincah dalam memainkan narasi soal garis keturunan dan darah penguasa masa lalu yang ada pada dirinya.
Kelincahan memaninkan tersebut justru membuat publik bingung, bagaimana sebenarnya susur galur dari Maruf Amin ini, siapa dia sebenarnya, dan bagaimana bisa dia dengan begitu mudah memainkan dan menghubungkan kekerabatan dirinya dengan penguasa setempat. Publik pun menyimpan curiga benar tidaknya klaim tersebut. Publik pun tak punya informasi atau data pembanding yang cukup sebagai rujukan referensi silsilah keluarga Maruf Amin.
Asumsi kedekatan Maruf dengan berbagai penguasa di berbagai daerah boleh jadi benar dan boleh jadi hanya klaim belaka, yang dihadirkan untuk menarik simpati warga setempat.
Pada iklim demokrasi Indonesia yang bergerak menuju kedewasaan ini seharusnya narasi-narasi feodal tak lagi jadi bahan jualan para pemimpin yang ingin memperoleh kekuasaan. Ide feodal itu sudah usang untuk kembali dipakai. Demokrasi hari ini menjamin hak politik setiap orang, untuk dipilih dan memilih, terlepas dia keturunan raja, bangsawan atau kyai besar dia tetap bisa mengajukan diri sebagai pemimpin. Legitimasi kepemimpinan itu terletak pada mandat yang diberikan oleh rakyat pada seseorang, bukan berdasarkan garis keturunan siapa dia.
Sumber:
https://www.merdeka.com/politik/maruf-amin-mengaku-keturunan-kiai-dan-raja-di-madura.html
http://www.teropongsenayan.com/98075-cerita-dedi-mulyadi-maruf-amin-keturunan-kerajaan-padjajaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H