Mohon tunggu...
milennesia kristi
milennesia kristi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Senang Berbagi Kisah

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Eksistensi Lompya Duleg Khas Delanggu Klaten

8 Juni 2021   12:32 Diperbarui: 8 Juni 2021   12:44 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lumpia dikenal sebagai makanan khas dari Ibu Kota Jawa Tengah, Semarang. Makanan hasil perpaduan budaya Jawa dan Tionghoa ini berhasil memanjakan setiap lidah yang memakannya. Kulit lumpia yang renyah membalut isian rebung, telur, dan udang/ebi sehingga tercipta citarasa manis, asin, gurih yang meledak di mulut. . 

Ternyata, Kabupaten Klaten juga memiliki olahan lumpia yang khas dan berbeda dari lumpia Semarang dengan kenikmatan yang berani diadu. Dukuh Lemburejo, Desa Gatak, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten merupakan daerah sentra penghasil lumpia duleg. Berdasarkan cerita yang beredar dimasyarakat, lumpia mulai dikenal di wilayah tersebut sejak tahun 1950.

Bermula ketika seorang warga desa bernama Bapak Karto Purno memutuskan untuk kembali tinggal di Dukuh Lemburejo setelah sekian lama bekerja di Semarang sebagai pembuat lumpia. 

Awalnya beliau hanya ingin mencoba untuk dapat menirukan resep dari lumpiaSemarang. Namun, ketersediaan bahan baku yang minim dan biaya produksi yang terbatas membuat beliau melakukan kreasi dengan menggunakan bahan-bahan yang mudah didapatkan. Guna mengurangi penggunaan tepung gandum pada adonan kulit lumpia, Pak Karto mencoba menggunakan pati onggok yang terbuat dari pohon aren. 

Selain itu, sebagai pengganti bahan baku isian berupa rebung, Pak Karto menggunakan wortel dan kubis yang dicacah panjang-panjang sebagai isian lumpianya. Pak Karto juga melakukan upaya untuk menekan biaya produksi dengan memodifikasi bentuk lumpianya menjadi lebih kecil hanya sebesar jari telunjuk orang dewasa. 

Resep adonan lompya tidak ditemukan secara instan dalam satu kali percobaan saja melainkan dibutuhkan berkali-kali percobaan hingga ahkirnya Pak Karto mampu menemukan racikan yang pas dalam membuat adonan lompya yang tidak mudah sobek. Namun, Pak Karto merasa bahwa produk tersebut masih gagal karena rasa asam yang dihasilkan dari penggunaan pati onggok dalam adonan begitu dominan. 

Singkat cerita beliau mencoba untuk membuat saus dengan cita rasa manis yang terbuat dari gula jawa dan bawang untuk menutupi rasa asam tersebut. Ahkirnya, banyak orang yang menyukai panganan yang dibuat oleh Pak Karto yang saat ini dikenal dengan sebuatan lompya duleg atau sosis mini atau sosis duleg.

Dari hari ke hari lompya duleg ini semakin dikenal dan digemari oleh banyak orang hingga beberapa warga Lemburejo mulai mengikuti jejak Pak Karto untuk membuat lompya duleg seperti Mbah Purno, Mbah Mangun, Mbah Karto Mulyono, Mbah Sipon, Mbah Min, dan warga lainnya bahkan ada warga yang membuat lompya duleg dengan variasi isian lain sesuai dengan ketersediaan bahan. 

Pada waktu itu ada yang mencoba mengganti isian dengan menggunakan pepaya muda hingga ahkirnya dipilih yang paling simpel menggunakan isian kecambah/toge sampai saat ini. 

Pada tahun 1980-an lompya ini hanya diproduksi ketika ada acara-acara khusus atau hari besar saja seperti HUT RI, gelar pasar malam, upacara keagaman, hingga pagelaran wayang kulit. 

Namun, saat ini lompya duleg dapat diproduksi setiap saat dan siap dinikmati kapan saja. Nama "Duleg" sendiri dalam bahasa Jawa berarti 'dicocol' pada juruh atau saos manis yang terbuat dari gula jawa dan bawang putih tadi. Kurang lebih seperti itulah sejarah singkat mengenai jajanan khas Delanggu yaitu lompya duleg.

Mengetahui sejarahnya yang cukup unik saya langsung tertarik untuk menelusuri secara langsung keberadaan panganan ini dengan berkunjung ke pasar tradisional Delanggu. Butuh waktu tempuh sekitar 30 menit untuk sampai di pasar Delanggu dari Klaten Kota tempat saya tinggal. 

Di pasar tersebut tepatnya di depan kios Amalia salah satu pusat jajanan serba ada yang cukup terkenal di Delanggu, saya berhasil menemukan seorang penjual lompya duleg yang berasal dari Dukuh Lembuharjo bernama Ibu Susono atau yang semasa kecil dikenal dengan nama Ngadini. 

Ibu Susono menjajakan lumpianya dengan menggunakan sepeda yang dibagian belakangnya telah dipasang kotak dari kayu sebagai wadah lompya dan bumbu pelengkap lainnya. 

Terdapat dua kemasan yang digunakan untuk membungkus lompya duleg yaitu menggunakan plastik putih transparant dan kemasan mika plastik sedang ukuran 4A (16,5x9,5 cm). Perbedaan dari kedua kemasan tersebut hanya terletak pada jumlah lompya yang lebih banyak dengan menggunakan plastik. 

Saya memutuskan untuk membeli lompya duleg dengan kemasan plastik mika. Satu kemasan mika berisi 16 buah lompya duleg lengkap dengan juruhnya dan sejumlah cabai yang dibandrol dengan harga Rp5.000,- saja. Ibu Susono menyediakan beberapa kursi plastik bagi pembeli yang hendak makan lompya duleg ditempat tetapi kebanyakan orang yang membeli lompya duleg langsung membawanya pulang. 

Saya memutuskan untuk duduk sejenak menikmati lompya duleg sembari berbincang dengan Ibu Susono. Beliau sempat menceritakan kepada saya mengenai proses pengolahan lompya duleg yang ternyata cukup rumit. 

Tepung pati aren yang diperoleh dari wilayah Ponggok, Klaten harus direndam dan disaring berulang kali agar pati onggok yang nantinya akan digunakan untuk membuat kulit lompya tidak terlalu asam.

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi 
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi 

Ketika saya mencicipi lompya duleg untuk pertama kalinya, rasa yang domian muncul adalah gurih dengan tekstur kulit lompya yang kenyal dan sedikit sensasi renyah dari kecambah/toge yang digunakan sebagai isian. 

Selanjutnya, saya mencoba untuk membuka dan menuangkan juruh/sausnya yang bercitarasa manis dengan aroma bawang putih yang muncul tetapi tidak terlalu kuat. 

Taburan bawang goreng di atas lompya duleg menambah aroma dan citarasa gurih yang menggugah selera apalagi ditambah dengan mengigit cabai membuat kenikmatan panganan ini semakin meningkat. 

Berdasarkan cerita Ibu Susono, beliau memeroleh resep tersebut secara turun temurun dari simbahnya yang bernama Mbah Yoso sehingga Ibu Susono merupakan generasi ketiga yang meneruskan profesi sebagai penjual lompya duleg khas Delanggu.

Sumber Gambar : Dokumen Pribadi 
Sumber Gambar : Dokumen Pribadi 

"Wooo... Kulo dangu pun puluhan taun mbak. Kulo menika  nalika mbahe pun boten wonten kan mak'e terus kulo." kata  Ibu Susono kepada saya ketika ditanya kapan mulai berjualan lompya duleg.

Perihal cara menjajakan panganan ini Ibu Susono menjelaskan bahwa memang sejak dahulu cara menjual lompya duleg menggunakan sepeda ontel yang kemudian dibawa keliling kampung untuk dijajakan kepada masyarakat sekitar. 

Saat ini banyak penjual lompya duleg yang sudah tidak lagi menggunakan sepeda ontel tetapi menggunakan motor. Ibu Susono memilih untuk tetap menggunakan ontel karena beliau merasa tidak canggih dalam mengendarai motor alhasil beliau tetap mempertahankan cara menjajakan lompya duleg secara konvensional dengan menggunakan sepeda ontel tersebut. 

Perbincangan kami sempat terhenti ketika seorang ibu-ibu dengan menggunakan motor matic berhenti di pinggir trotoar sambil berteriak "Mbah sosis Duleg setunggal!" ujarnya. 

Mendengar hal tersebut Ibu Susono segera memasukkan satu kemasan mika lompya duleg ke dalam sebuah plasik lurik hitam-putih. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa lompya duleg merupakan makanan tradisional khas Delanggu yang masih eksis dan  digemari hingga saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun