Geopolitik digital adalah sebuah gagasan yang menyatukan dua tren yang berlawanan dalam politik internasional. Tren ini merupakan sebuah kesadaran baru dari para aktor negara akan dahsyatnya sebuah peran teknologi media sosial dalam mempengaruhi lanskap politik, sosial ekonomi, fase ini dimulai 2016 akhir sampai sekarang.
Banyak aktor negara-negara yang mulai bergandengan tangan dengan perusahaan teknologi yang bisa mewakili tatanan digital, demi membendung ancaman disrupsi yang bisa meluluh lantahkan kepentingan ekonomi politik.
Alhasil, fenomena ini (geopolitik digital) merupakan sebuah perkawinan dua kekuatan raksasa, yaitu negara sebagai unit yang mempunyai territorial secara fisik dan tatanan digital sebagai penyedia jaringan platform yang tanpa batas.
Tren geopolitik digital ini seolah membuat pergeseran di media sosial yang tidak terhindarkan, pada awalnya media sosial sebagai jembatan yang dipandang bisa memberikan alternative baru untuk rakyat biasa tanpa harus bersuara di media mainstream, terutama pada fenomena Arab Spring. Namun, bukti campur tangan Rusia dalam pemungutan suara Brexit 2016 dan pemilihan presiden AS berlawanan dengan narasi ini.
Kekuatan platform media sosial yang memiliki teknologi big data bisa menambang dengan lelusa data dari rakyat biasa para pengguna media sosial lintas teritorial sebagai alat prediksi pasar dan juga kepentingan bisnis serta politik. Dalam hal ini adalah TikTok, yang kini banyak mendapat penolakan dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Mengapa?
Perkembangan dari TikTok hari ini luar biasa berubah begitu pesat, Tiktok yang awalnya hanya aplikasi konten video biasa, saat ini mulai merambah menjadi aplikasi online shop, melalui fitur TikTok shopnya, sehingga sekarang bisa memanfaatkan peluang mencari kesempatan berjualan dan salah satunya memasarkan brand dan produk di era digital saat ini. TikTok menjadi salah satu platform media sosial yang kini populer di dunia.
Aplikasi TikTok memungkinkan penggunanya untuk membuat video pendek berdurasi 15 detik, 60 detik dan yang terbaru hingga 3 menit. Video bisa disertai musik, filter, dan beberapa fitur kreatif lainnya. Kesuksesan platform TikTok tersebut tak lepas dari Zhang Yiming, pendiri ByteDance Technologi yang merupakan perusahaan induk TikTok. Zhang merupakan salah satu konglomerat teknologi internet terbesar di China yang dengan cepat melampaui platform media sosial lainnya.
Aplikasi Tiktok di Indonesia banyak dimanfaatkan untuk berkreativitas hingga berbisnis oleh masyarakat melalui live TikTok. Dalam globalisasi, digital marketing merupakan penerapan teknologi digital terbaru untuk menciptkan saluran yang dapat berhubungan dengan konsumen potensial, agar tujuan pelaku usaha dapat berjalan secara efektif melalui live TikTok shop.
Internet telah memasuki dalam dunia bisnis yang telah membuat pergesaran baru secara radikal, salah satunya dalam hal strategi pemasaran. Seseorang sekarang bisa membuat strategi pemasaran terbaru dengan sebuah digital konten dalam mempromosikan produknya ke para konsumen dengan menyebarkan di media sosial.
Pada 17 April 2021, secara resmi aplikasi TikTok di Indonesia menghadirkan fitur baru yang dinamakan dengan TikTok Shop. Fitur ini adalah sebuah social commerce yang sangat inovatif yang dapat menjangkau para penjual,pembeli, dan kreator untuk menyediakan pengalaman berbelanja yang lancar, mudah dan nyaman.
Hal ini justru mendapat penolakan tegas dari pemerintah Indonesia melalui Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Menurutnya, dalam menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia adalah bentuk “monopoli” yang bisa mempengaruhi UMKM lokal. Tidak hanya di Indonesia, penolakan terhadap bisnis media sosial dan e-commerce juga dilakukan oleh negara Amerika Serikat, Australia, Taiwan dan India.
Akibat dari penyatuan media sosial dan e-commerce yang terjadi bukan kehilangan potensi perdagangan, tetapi pergeseran kembali ke alternatif tempat berdagang lain. Isu mengenai larangan TikTok Shop ini juga bermula dari adanya “Project S”. Melansir dari Financial Times, Project S merupakan langkah yang dilakukan TikTok untuk menjual barang mereka sendiri.
Hal ini sempat menjadi kekhawatiran di Inggris sehingga adanya pemisahan antara media sosial dengan platform komersial. Indonesia mungkin mengantisipasi hal tersebut terjadi sehingga melakukan penolakan. Sebenarnya, adakah hal lain yang membuat banyak negara menolak TikTok? Penulis menganalisa bahwa faktor lain yang menyebabkan banyak negara menolak TikTok bukan sebatas adanya peluncuran TikTok shop, tetapi lebih dari itu negara-negara besar sudah mengantisipasi kebangkitan Tiongkok (China) melalui konglomerasi media.
Agus Sudibyo seorang pengamat media mengatakan, bahwa analogi media sosial hari ini sebagai jalan raya gratis yang perlu kita tinjau kembali, ini merupakan analogi yang keliru. Ada dua variable lain yang perlu ditambahkan pada analogi jalan raya gratis ini, menurut Agus Sudibyo, kanan kiri jalan raya ini mempunyai CCTV yang mengawasi dan bisa merekam gerak-gerik pengguna jalan secara rinci.
Penulis menafsirkan, CCTV ini adalah analogi algoritma perusahaan media sosial untuk terus mengembangkan produk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Variabel kedua, adalah papan baliho dan spanduk reklame yang berderet yang isinya adalah pesan-pesan komersil. Politik bahkan ideologis. Papan reklame ini, penulis menafsirkan sebagai iklan digital yang ada di media sosial bahkan banyak masuk ke dalam ranah pribadi.
Arah industri saat ini pun berubah, dari produk menjadi ‘platform’. Dari arah industri konvensional menjadi industri digital. Dan saat ini, kita mulai memasuki sebuah era baru, yaitu revolusi industri 4.0 yang cirinya adalah disrupsi dan VUCA. Vuca merupakan singkatan dari Volatility (Bergejolak) Uncertainty (Tidak Pasti) Complexity (Sangat Kompleks) dan Ambiguitas (Tidak Jelas).
Melansir pendapat Ketua Eksekutif World Economy Forum di Jenewa, Klaus Schwab pada 2016 dalam bukunya “Revolusi Industri Keempat” mengatakan, revolusi teknologi sedang berlangsung dan mengaburkan batas atara bidang, fisik, digital dan biologis.
Munculah isu baru saat ini, yaitu soal perbatasan (border) dari fenomena revolusi industri 4.0, yaitu isu garis batas yang hari ini, banyak aktor negara menyadari betul dunia borderless internet dan media sosial merupakan ancaman yang nyata bagi kedaulatan negara, terlebih dengan munculnya revolusi teknologi dari kekuatan Tiongkok maka tren ini adalah konsep keamanan siber.
Banyak negara yang mulai perlahan menolak kebangkitan Tiongkok, karena mereka menyadari jaringan sosial media bisa berperan menjadi alat intai dan senjata global demi keuntungan tertentu, hal ini yang disebut Sushana Zubof Profesor dari Harvard Business School sebagai “Surveillance Capitalism” .
Oleh,
Milenia Ferlihanisa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H