Mohon tunggu...
Milenia Ferli
Milenia Ferli Mohon Tunggu... Lainnya - Hi selamat menikmati tulisan-tulisan disini, semoga abadi dalam ingatan

Hi:)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

The Borders is Back! Banyak Negara Besar Menolak TikTok: Inikah Simbol Kebangkitan Tiongkok?

7 September 2023   09:20 Diperbarui: 7 September 2023   09:30 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal ini justru mendapat penolakan tegas dari pemerintah Indonesia melalui Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Menurutnya, dalam menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia adalah bentuk “monopoli” yang bisa mempengaruhi UMKM lokal. Tidak hanya di Indonesia, penolakan terhadap bisnis media sosial dan e-commerce juga dilakukan oleh negara Amerika Serikat, Australia, Taiwan dan India.

Akibat dari penyatuan media sosial dan e-commerce yang terjadi bukan kehilangan potensi perdagangan, tetapi pergeseran kembali ke alternatif tempat berdagang lain. Isu mengenai larangan TikTok Shop ini juga bermula dari adanya “Project S”. Melansir dari Financial Times, Project S merupakan langkah yang dilakukan TikTok untuk menjual barang mereka sendiri. 

Hal ini sempat menjadi kekhawatiran di Inggris sehingga adanya pemisahan antara media sosial dengan platform komersial. Indonesia mungkin mengantisipasi hal tersebut terjadi sehingga melakukan penolakan. Sebenarnya, adakah hal lain yang membuat banyak negara menolak TikTok? Penulis menganalisa bahwa faktor lain yang menyebabkan banyak negara menolak TikTok bukan sebatas adanya peluncuran TikTok shop, tetapi lebih dari itu negara-negara besar sudah mengantisipasi kebangkitan Tiongkok (China) melalui konglomerasi media. 

Agus Sudibyo seorang pengamat media mengatakan, bahwa analogi media sosial hari ini sebagai jalan raya gratis yang perlu kita tinjau kembali, ini merupakan analogi yang keliru. Ada dua variable lain yang perlu ditambahkan pada analogi  jalan raya gratis ini, menurut Agus Sudibyo, kanan kiri jalan raya ini mempunyai CCTV yang mengawasi dan bisa merekam gerak-gerik pengguna jalan secara rinci. 

Penulis menafsirkan, CCTV ini adalah analogi algoritma perusahaan media sosial untuk terus mengembangkan produk kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Variabel kedua, adalah papan baliho  dan spanduk reklame yang berderet yang isinya adalah pesan-pesan komersil. Politik bahkan ideologis. Papan reklame ini, penulis menafsirkan sebagai iklan digital yang ada di media sosial bahkan banyak masuk ke dalam ranah pribadi.

Arah industri saat ini pun berubah, dari produk menjadi ‘platform’. Dari arah industri konvensional menjadi industri digital. Dan saat ini, kita mulai memasuki sebuah era baru, yaitu revolusi industri 4.0 yang cirinya adalah disrupsi dan VUCA. Vuca merupakan singkatan dari Volatility (Bergejolak) Uncertainty (Tidak Pasti) Complexity (Sangat Kompleks) dan Ambiguitas (Tidak Jelas). 

Melansir pendapat Ketua Eksekutif World Economy Forum di Jenewa, Klaus Schwab pada 2016 dalam bukunya “Revolusi Industri Keempat” mengatakan, revolusi teknologi sedang berlangsung dan mengaburkan batas atara bidang, fisik, digital dan biologis.

Munculah isu baru saat ini, yaitu soal perbatasan (border) dari fenomena revolusi industri 4.0, yaitu isu garis batas yang hari ini, banyak aktor negara menyadari betul dunia borderless internet dan media sosial merupakan ancaman yang nyata bagi kedaulatan negara, terlebih dengan munculnya revolusi teknologi dari kekuatan Tiongkok maka tren ini adalah konsep keamanan siber.

Banyak negara yang mulai perlahan menolak kebangkitan Tiongkok, karena mereka menyadari jaringan sosial media bisa berperan menjadi alat intai dan senjata global demi keuntungan tertentu, hal ini yang disebut Sushana Zubof Profesor dari Harvard Business School sebagai “Surveillance Capitalism” .

Oleh,

Milenia Ferlihanisa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun