Dari sekian banyak kalimat yang pernah diucapkan ibu kepada saya, ada satu yang masih terngiang hingga saat ini. Jika  diterjemahkan dari bahasa aslinya, artinya kira-kira begini: "kemanapun kamu akan pergi, kamu tidak akan membawa-bawa lengan ibu". Pernyataan ini memiliki makna konotasi yang artinya jika kita mempunyai kemampuan atau ketrampilan sendiri, itu adalah keuntungan pribadi yang tidak bisa dipinjamkan atau dibawa oleh orang walaupun orang itu adalah anak kita.Â
Kalimat itu selalu terngiang ketika saya berhasil melakukan sesuatu atau bahkan tidak berhasil melakukan sesuatu. Dulu, pada saat diucapkan, kalimat itu sempat mengganggu saya, namanya anak remaja, tidak suka diatur atau disuruh. Dengan kebanggaan seorang remaja saya berkata dalam hati, "saya bisa koq". Namun melihat fenomena sekarang ini dan pengalaman mempunyai seorang anak yang beranjak remaja membuat saya merenungkan kembali kalimat ini.Â
Sejak hidup merantau karena kuliah dan akhirnya bekerja dan menetap jauh dari orang tua, saya belajar untuk menjadi mandiri. Hidup sebagai anak kos memaksa saya untuk memasak, berbelanja, dan mengusahakan sendiri obat-obatan yang diperlukan ketika sakit. Biasanya jika di rumah, memasak bukan kegiatan utama saya. Dulu seingat saya, saya sudah cukup puas dengan tugas menyetrika pakaian orang serumah seminggu sekali. Setrika yang digunakan adalah setrika arang, karena katanya lebih bagus jika pakai arang.Â
Namun di samping menyetrika, ibu saya juga mengharuskan kami anak-anaknya bisa mencuci baju sendiri, memasak, menyapu, dan mengerjakan kerajinan tangan. Ini tidak berlaku hanya bagi anak perempuan, tetapi juga bagi anak laki-laki bahkan semua orang baik keponakan atau saudara yang tinggal sementara di rumah kami. Semua harus bisa melakukan pekerjaan dasar seperti yang diajarkannya.Â
Tentang kerajinan tangan, saya ingat dulu ketika ibu memaksa saya dan adik saya mengerjakan kristik, menyulam, dan merajut. Bahkan bagaimana menggunakan mesin jahit pun pernah beliau ajarkan. Kita tidak langsung ahli pada saat itu, namun dari ajarannya, setidaknya telah menyisakan beberapa pijar yang di kemudian hari bermanfaat buat diri sendiri.Â
Setelah beberapa tahun berlalu dan anak-anak ibu saya sudah mulai menamatkan sekolah dan melanjutkan kuliah, mereka yang di rumah sudah menggunakan setrika listrik. Saya tersenyum sendiri jika mengingat hal ini. Dulu ibu saya memaksa saya menggunakan setrika arang bukan karena tidak mempunyai setrika listrik. Memang selain irit listrik, saya juga merenungkan bahwa menggunakan setrika arang mengajarkan saya beberapa hal.
Bagi yang pernah memiliki dan menggunakan setrika arang, mereka pasti tahu perjuangannya menghasilkan bara api dengan panas yang tepat agar tidak merusak baju yang disetrika. Saya bahkan belajar membuat bara api dimulai dari memilih batok kelapa yang sudah kering, dibakar hingga menghasilkan arang dengan panas bara yang sesuai. Setelah menghasilkan bara yang dibutuhkan, saya juga harus mencari akal agar arang mencukupi untuk menyetrika sekeranjang penuh pakaian. Saya diajarkan untuk menyiram batok kelapa yang sudah menjadi arang hitam untuk kemudian ditambahkan pada arang yang masih membara. Ada perasaan puas ketika itu berhasil dan perasaan menyesal ketika di tengah jalan arang yang diperlukan kurang.Â
Bukankah apa yang diajarkan dan dicontohkan ibu saya itu adalah pelajaran yang tidak saya dapatkan secara langsung di sekolah? Saya teringat dengan kata resourcefulness, yang menurut saya adalah pelajaran pertama yang saya dapatkan.Â
Menurut Molly McGrath dalam situsnya Resourcefulness in the Workplace: 6 Ways to be Resourceful (hiringandempowering.com) menyatakan bahwa mengembangkan kualitas resourcefulness atau menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) "panjang akal", tidak hanya merujuk pada "mampu melakukan" tetapi juga mengembangkan kualitas "rela melakukan apapun resikonya". Dengan menggunakan setrika arang, ibu saya mengajarkan kualitas rela melakukan sesuatu apapun resikonya. Ketika bara api pada arang habis karena lupa atau salah memperkirakan jumlah arang, saya harus menanggung resiko untuk membakar batok kelapa lagi agar mendapatkan arang yang dibutuhkan.Â
Selain mengembangkan kualitas seperti di atas, kualitas kedua yang dikembangkan dari kegiatan menyetrika dengan setrika arang adalah kebijaksanaan menggunakan sumber daya. Saya pernah protes kepada ibu saya, "mengapa kita tidak menggunakan setrika listrik saja?" Namun alasan ibu saya pada saat itu, setrika listrik sedang rusak dan dengan menggunakan setrika arang akan mendayagunakan batok kelapa yang menggunung di gudang. Sebagai informasi, orangtua saya mempunyai kegiatan sampingan yaitu memelihara ternak. Untuk memelihara ternak, diperlukan kelapa untuk campuran pakannya. Kebetulan pulau tempat domisili keluarga kami memang adalah penghasil kelapa sehingga mendapatkan kelapa di sana tidak sesulit di pulau Jawa.Â
Kita tahu bersama bahwa kegiatan menyetrika dengan setrika listrik itu menjadi salah satu penyedot terbesar dalam tagihan listrik rumah kita. Ibu saya sudah mengajarkan saya untuk irit listrik dengan menggunakan setrika arang pada saat itu. Selanjutnya di kemudian hari, jadwal menyetrika sekali seminggu itu juga turut mengajarkan saya untuk lebih bijaksana dengan konsumsi listrik sehari-hari.Â
Hal jadwal yang saya sebutkan sebelumnya, ternyata juga berhubungan dengan kualitas ketiga yang diajarkan ibu saya yaitu self-management atau kemampuan untuk mengatur diri sendiri. Bayangkan apa yang terjadi jika ternyata selagi minggu sekolah berjalan, saya kekurangan seragam sekolah karena tidak menghitung seragam yang sudah disetrika. Ternyata seragam yang saya butuhkan masih teronggok di sudut kamar karena belum dicuci. Itu bisa terjadi dan anda bisa membayangkan usaha yang harus saya lakukan untuk memulai kegiatan menyetrika mengingat saya menggunakan setrika arang yang pada zaman sekarang ini sangat tidak praktis. Menyetrika sekali seminggu setidaknya mengajarkan saya suatu kesiapan jauh sebelum sesuatu terjadi. Â
Sesungguhnya ada kualitas-kualitas lain yang secara sadar tidak sadar telah diajarkan oleh prinsip yang diterapkan ibu saya kepada anak-anaknya. Seperti teamwork, Â kepatuhan, efisiensi dan lain-lain. Jika dijabarkan disini akan panjang sekali. Selain banyak kualitas yang baik dari satu kegiatan rumah tangga yang diajarkan ibu saya, ada banyak kegiatan lain yang juga memiliki pelajaran tersendiri di bidangnya. Saya akan menceritakannya di tulisan yang selanjutnya. Dan semua itu saya pelajari dari sesosok orang yang sangat dekat di dalam kehidupan saya, yaitu ibu saya.Â
Saya tidak pernah menyesali ataupun malu dengan pengalaman hidup itu, justru perjuangan menyetrika dengan setrika arang telah membentuk saya untuk lebih puas mengerjakan sesuatu hal dengan tangan sendiri. Hingga kini sejauh saya bisa melakukannya, saya memilih untuk melakukannya sendiri.Â
Zaman sekarang kegiatan ini mungkin tidak populer lagi karena tersedianya jasa binatu ataupun asisten rumah tangga yang siap sedia mencuci dan menyetrika setiap saat. Namun, saya bersyukur pernah mengalami proses pembentukan melalui kegiatan yang diajarkan ibu saya. Melihat fenomena yang dialami anak saya di zaman yang serba instan dan cepat ini, saya tertantang untuk memikirkan dan menyediakan sarana belajar tentang ketrampilan hidup yang dapat dilatih oleh anak saya di rumah dengan media yang berbeda dan lebih kontekstual di zamannya. Suatu saat mungkin dia akan merasa ingin meminjam lengan ibunya, seperti yang pernah saya rasakan dulu. Namun saya tahu dan sadar bahwa "kemanapun dia akan pergi nantinya, dia tidak akan membawa-bawa lengan ibunya".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H