Kemiskinan telah menjadi salah satu isu sosial yang meresahkan di Indonesia, di mana sebagian besar kelas masyarakat bawah harus bertahan hidup dalam kondisi serba kekurangan dan ketidakadilan. Dalam realita kehidupan sehari-hari, kaum buruh dan pekerja kasar sering kali berada pada posisi yang lemah dan rentan terhadap eksploitasi. Terjerat dalam lingkaran kemiskinan yang seolah tak berujung, mereka sering kali tidak memiliki pilihan selain menerima perlakuan yang tidak adil dari para penguasa yang menguasai sumber daya ekonomi. Pabrik karya Putu Wijaya dengan tajam menggambarkan realita ini, menunjukkan bagaimana kaum buruh yang bekerja keras di bawah tekanan justru semakin terjerat dalam kemiskinan akibat janji-janji kosong dari pemilik modal.
Lewat tokoh Tirtoatmojo, seorang pemilik pabrik yang menjanjikan kesejahteraan bagi para buruhnya namun kemudian mengabaikan hak-hak mereka, Putu Wijaya menyindir keras sistem kapitalis yang cenderung menindas para pekerja demi keuntungan sepihak. Dalam novel ini, masyarakat kelas bawah tidak hanya menghadapi tekanan ekonomi, tetapi juga terjebak dalam sistem sosial yang tidak memberi mereka ruang untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Kondisi kerja yang buruk, pengabaian hak-hak dasar, dan sikap abai dari pemilik modal menjadi bagian dari keseharian buruh yang tinggal di sekitar pabrik. kesejahteraan hidup mereka semakin diperparah oleh ketidakadilan dan kekuasaan yang manipulatif, sehingga menghasilkan masyarakat yang hidup dalam kemiskinan struktural.
Putu Wijaya menggunakan simbol pabrik sebagai metafora besar tentang ketimpangan ekonomi, di mana tempat kerja yang seharusnya menjadi sumber penghidupan justru menjadi penjara bagi para pekerjanya. Lewat Pabrik , ia menyuarakan keresahan kaum tertindas yang hidup di bawah bayang-bayang eksploitasi, dan mengajak pembaca untuk memikirkan realitas kehidupan kelas pekerja di Indonesia. Novel ini tidak hanya menjadi representasi sastra tentang ketimpangan sosial, tetapi juga sebagai kritik mendalam terhadap struktur masyarakat yang memungkinkan ketidakadilan terus terjadi.
Novel Pabrik karya Putu Wijaya menggambarkan kehidupan para buruh yang bekerja di pabrik dengan kondisi yang keras dan penuh penindasan. Kehidupan kaum pekerja ini menjadi narasi sentral dalam novel, di mana janji-janji manis dari pemilik pabrik, Tirtoatmojo, berubah menjadi kekecewaan yang mendalam. Dengan janji saham dan perumahan, Tirtoatmojo membujuk penduduk untuk meninggalkan lahan mereka dan bekerja di pabriknya, namun seiring berjalannya waktu, janji tersebut terbukti palsu. Para buruh tidak mendapatkan hak-hak yang dijanjikan, dan mereka harus berhadapan dengan kenyataan bahwa kesejahteraan yang diimpikan hanyalah alat manipulasi untuk mengamankan keuntungan pribadi sang penguasa.
Narasi eksploitasi ini tampak jelas ketika salah satu buruh berteriak memprotes janji yang tak terpenuhi:
"Dengar! Ini sudah melewati batas. Bertahun-tahun kita percaya omongannya, kita dijanjikan perumahan, kita dijanjikan saham, kita dijanjikan jaminan hidup, lihat sekarang! Kita mau dikubur! Berapa banyak tunjangan hari raya itu kalau dilipatkan dibandingkan dengan pendapatan pabrik ini? Dia maju terus, kita mau dikubur di sarang pelacuran itu...tanah ini kita sewakan kepadanya, kita sudah lupa mengusut siapa yang sudah membakar kampung kita ini dulu"*(Wijaya, 2005:69).
Kutipan ini mencerminkan kekecewaan dan kemarahan kaum buruh yang semakin menyadari bahwa mereka hanyalah alat bagi Tirtoatmojo. Masyarakat kelas bawah ini akhirnya menyadari bahwa janji kesejahteraan hanya alat bagi sang pemilik modal untuk menguasai sumber daya mereka. Narasi kemiskinan dan ketidakadilan menjadi semakin jelas dengan munculnya karakter Dringgo, salah seorang buruh yang sudah tak tahan lagi dengan kondisi yang dialami. Frustrasinya terhadap janji kosong pemilik pabrik membawanya pada titik kulminasi, hingga ia mengancam untuk melakukan tindakan yang lebih ekstrem demi melawan penindasan tersebut:
"Terus terang saja aku tidak sabar. Kalau kalian mau terus juga berunding-berunding-berunding, seperti priayi, aku akan bertindak sendiri. Sampai sekarang aku belum punya alasan yang jelas memukulnya, padahal tanganku sudah gatal sekali. Paling tidak kalau aku tidak berhasil, aku bisa bakar pabrik ini"* (Wijaya, 2005:20).
Dalam kutipan tersebut, terlihat ketegangan yang semakin meningkat di antara para buruh, yang sudah lama ditekan dengan peraturan-peraturan yang memberatkan mereka. Dringgo menjadi simbol kemarahan yang terpendam dari kelas pekerja, menggambarkan perlawanan yang akhirnya muncul akibat tekanan dan janji palsu. Ancaman Dringgo untuk membakar pabrik menjadi titik puncak konflik yang menggambarkan putus asa para buruh yang terus ditindas tanpa ada pemenuhan hak-hak mereka.
Novel Pabrik  juga menunjukkan bagaimana pengabaian hak buruh berlanjut di bawah pengelolaan pabrik yang semakin merugikan mereka. Latar sosial novel ini memaparkan kehidupan masyarakat kelas bawah yang hidup dekat dengan kemiskinan dan kebiasaan-kebiasaan yang memperburuk keadaan, seperti berjudi dan mabuk-mabukan. Lingkungan kerja dan sosial ini menambah beban para buruh yang hidup dalam ketidakpastian ekonomi dan tekanan mental yang berat. Tirtoatmojo sendiri digambarkan sebagai pengusaha yang kejam dan tidak peduli, seperti terlihat dalam pernyataannya yang mengabaikan hak-hak buruh dan mempertahankan kekuasaannya:
"Dengar baik-baik," kata Tirto. "Joni sudah kembali ini waktu. Tapi ikke tidak suka dia injak ini rumah...Paham? Kamu semua orang meski unjuk sikap tidak peduli. Ini rumah, pabrik, dan seluruh kekayaan ikke masih pegang penuh"* (Wijaya, 2005:12).
Kejamnya karakter Tirtoatmojo terlihat jelas, memperlihatkan sikap tak acuh terhadap pekerjanya yang justru menjadi penyokong kesuksesan pabrik tersebut. Sosoknya menjadi representasi dari kapitalisme yang tidak memberi ruang bagi kesejahteraan pekerja, melainkan hanya mengejar akumulasi kekayaan semata. Dalam novel ini, karakteristik Tirtoatmojo dan cara ia mengelola pabrik mencerminkan pengabaian nilai-nilai kemanusiaan, di mana para buruh hanya dianggap sebagai alat untuk memperkaya diri.
Novel Pabrik karya Putu Wijaya membuka mata pembaca pada potret ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat kelas bawah dalam struktur sosial yang serba berkekuasaan. Lewat konflik yang dialami para buruh dalam novel ini, kita disadarkan bahwa kemiskinan dan penindasan bukan sekadar kondisi ekonomi, tetapi juga akibat dari sistem yang tidak adil dan manipulatif. Putu Wijaya mengingatkan bahwa solusi untuk mengatasi konflik seperti ini bukanlah hal yang sederhana, namun harus dimulai dengan memperkuat penghormatan terhadap hak-hak pekerja serta pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik kapitalis yang sering mengabaikan kesejahteraan buruh.
Sebagai masyarakat yang hidup di negara dengan kekuasaan yang kerap mengabaikan kaum lemah, kita bisa berperan dengan mendukung regulasi yang melindungi hak-hak buruh serta mengadvokasi kebijakan yang memperjuangkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah. Melalui kesadaran dan keberanian untuk bersuara, masyarakat dapat memberikan tekanan kepada para pemegang kekuasaan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat berpihak pada keadilan bagi semua lapisan sosial. Keterlibatan aktif dalam komunitas atau gerakan sosial juga dapat menjadi langkah efektif dalam mengawal terciptanya masyarakat yang lebih adil.
Putu Wijaya dalam novel ini menggunakan gaya penulisan yang penuh dengan kekuatan naratif dan karakterisasi yang mendalam. Putu Wijaya mampu membangun tokoh-tokoh yang hidup, dengan konflik batin dan sosial yang terasa nyata, sehingga pembaca dapat merasakan emosi dan pergulatan para tokoh dalam menghadapi penindasan. Gaya bahasa yang digunakan juga lugas dan mudah dipahami, menjadikan narasi kemiskinan dan penindasan ini lebih mudah diresapi oleh pembaca dari berbagai kalangan. Pabrik menjadi salah satu karya sastra yang tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga membawa pesan sosial yang relevan dan kuat, sekaligus mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi masyarakat kita.
Dengan cara ini, Putu Wijaya berhasil menyuarakan perjuangan kaum buruh serta menggugah empati dan kesadaran masyarakat akan pentingnya solidaritas di tengah arus kapitalisme yang tidak terelakkan. Pabrik  menjadi cerminan bahwa perubahan dimulai dari kesadaran, dan dari kesadaran itulah muncul dorongan untuk menciptakan kehidupan yang lebih adil dan bermartabat bagi semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI