"Dengar baik-baik," kata Tirto. "Joni sudah kembali ini waktu. Tapi ikke tidak suka dia injak ini rumah...Paham? Kamu semua orang meski unjuk sikap tidak peduli. Ini rumah, pabrik, dan seluruh kekayaan ikke masih pegang penuh"* (Wijaya, 2005:12).
Kejamnya karakter Tirtoatmojo terlihat jelas, memperlihatkan sikap tak acuh terhadap pekerjanya yang justru menjadi penyokong kesuksesan pabrik tersebut. Sosoknya menjadi representasi dari kapitalisme yang tidak memberi ruang bagi kesejahteraan pekerja, melainkan hanya mengejar akumulasi kekayaan semata. Dalam novel ini, karakteristik Tirtoatmojo dan cara ia mengelola pabrik mencerminkan pengabaian nilai-nilai kemanusiaan, di mana para buruh hanya dianggap sebagai alat untuk memperkaya diri.
Novel Pabrik karya Putu Wijaya membuka mata pembaca pada potret ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami masyarakat kelas bawah dalam struktur sosial yang serba berkekuasaan. Lewat konflik yang dialami para buruh dalam novel ini, kita disadarkan bahwa kemiskinan dan penindasan bukan sekadar kondisi ekonomi, tetapi juga akibat dari sistem yang tidak adil dan manipulatif. Putu Wijaya mengingatkan bahwa solusi untuk mengatasi konflik seperti ini bukanlah hal yang sederhana, namun harus dimulai dengan memperkuat penghormatan terhadap hak-hak pekerja serta pengawasan yang lebih ketat terhadap praktik kapitalis yang sering mengabaikan kesejahteraan buruh.
Sebagai masyarakat yang hidup di negara dengan kekuasaan yang kerap mengabaikan kaum lemah, kita bisa berperan dengan mendukung regulasi yang melindungi hak-hak buruh serta mengadvokasi kebijakan yang memperjuangkan kesejahteraan masyarakat kelas bawah. Melalui kesadaran dan keberanian untuk bersuara, masyarakat dapat memberikan tekanan kepada para pemegang kekuasaan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat berpihak pada keadilan bagi semua lapisan sosial. Keterlibatan aktif dalam komunitas atau gerakan sosial juga dapat menjadi langkah efektif dalam mengawal terciptanya masyarakat yang lebih adil.
Putu Wijaya dalam novel ini menggunakan gaya penulisan yang penuh dengan kekuatan naratif dan karakterisasi yang mendalam. Putu Wijaya mampu membangun tokoh-tokoh yang hidup, dengan konflik batin dan sosial yang terasa nyata, sehingga pembaca dapat merasakan emosi dan pergulatan para tokoh dalam menghadapi penindasan. Gaya bahasa yang digunakan juga lugas dan mudah dipahami, menjadikan narasi kemiskinan dan penindasan ini lebih mudah diresapi oleh pembaca dari berbagai kalangan. Pabrik menjadi salah satu karya sastra yang tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga membawa pesan sosial yang relevan dan kuat, sekaligus mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi masyarakat kita.
Dengan cara ini, Putu Wijaya berhasil menyuarakan perjuangan kaum buruh serta menggugah empati dan kesadaran masyarakat akan pentingnya solidaritas di tengah arus kapitalisme yang tidak terelakkan. Pabrik  menjadi cerminan bahwa perubahan dimulai dari kesadaran, dan dari kesadaran itulah muncul dorongan untuk menciptakan kehidupan yang lebih adil dan bermartabat bagi semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H