Mohon tunggu...
Miki Mayang
Miki Mayang Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dua anak

Tinggal di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review Buku "Pulang ke Rinjani" Karya Reza Nufa

27 Mei 2021   19:53 Diperbarui: 26 September 2021   21:52 1698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Miki Mayang

Buku setebal empat ratus tiga puluh enam halaman ini oleh Reza Nufa, penulisnya, sengaja dikemas menyerupai fiksi supaya lebih menarik. Namun buku ini sepenuhnya merupakan kisah nyata perjalanan Reza Nufa, berjalan kaki sejauh ribuan kilometer dari Ciputat sampai Puncak Gunung Rinjani, Lombok. Terus terang saya penasaran lalu tertarik ingin memiliki memoar yang ditulis Reza dalam kurun waktu empat tahun ini, seusai membaca beberapa potong kisahnya yang tersaji pada thread promo di akun Twitter miliknya.

Menurut Reza, ini buku paling emosional yang pernah dia tulis. Barangkali karena prosesnya betul-betul melelahkan dan hal-hal yang dia temui sepanjang perjalanan, masih terus membekas hingga kini. Lagi pula butuh keberanian lebih untuk mengemas cerita semacam ini, sebab di dalamnya ada banyak borok, kisah-kisah lampau yang personal, juga mimpi-mimpi yang akhirnya tidak kesampaian. Dan dia menuliskan buku Pulang ke Rinjani ini untuk orang-orang yang patah, di lebih dari satu titik.

Wajar saja jika sampai ada yang beranggapan bahwa sebagai catatan perjalanan, buku ini terkesan kurang eksploratif dan informatif dalam memaparkan destinasi-destinasi yang Reza singgahi. Sebab ini memang bukanlah seperti pada umumnya catatan perjalanan yang sekadar berisi cerita mengenai objek wisata dan penjelajahan alam. Bukan semata tentang perjalanan fisik, tapi lebih ke perjalanan batin dan pikiran yang terkait dengan kondisi psikis Reza. Psikis Reza yang koyak, yang kacau dan amburadul, seiring dengan kerap munculnya keinginan-keinginan untuk menyakiti diri sendiri.

Ini perjalanan untuk memikirkan ulang hendak dibawa ke mana hidup Reza selanjutnya. Dan benar saja, ada banyak hal yang terjadi dalam diri Reza setelah melakukan petualangan ini, selain parit-parit muka yang tampak lebih dalam dan tegas.

Sebelumnya, sewaktu masih di Ciputat, Reza sering menyakiti diri sendiri sekadar untuk merasakan bahwa dirinya masih hidup. Ketika benar-benar dihadapkan dengan rasa perih dan babak belur di jalanan, itu membuatnya merasa malu sampai-sampai ingin menertawakan diri sendiri. Ternyata rasa sakit fisik, terutama rasa lelah yang jelas outputnya, membuat manusia lebih menghargai diri sendiri.

Bagi Reza, semua rasa sakit, baik fisik maupun mental, itu riil. Tadinya, sering kali dia menghina diri sendiri yang berduka melulu dan bahkan menuduh dirinya cengeng. Tapi kemudian dia sadar bahwa diri sedihnya yang emosional dan caper itu sebetulnya cuma ingin didengar, ingin diakui keberadaannya sebagai bagian dari diri manusia.

Sedangkan "mendengar" adalah skill yang sulit. Menurut Reza, telinga manusia hanyalah jalan masuk suara. Yang bisa "mendengar" itu ada di bagian yang lebih dalam pada tubuh kita. Dan untuk membuka pintu ke sana, dibutuhkan banyak waktu dan tenaga.

Sebetulnya sebelum perjalanan ini dimulai, Reza sempat berhadapan dengan pertanyaan menyebalkan dari orang terdekat. Cari apa? Kamu ini kenapa? Apa tidak sayang buang-buang waktu? Kenapa tidak naik pesawat saja?

Pertanyaan-pertanyaan yang dia pun tak punya jawabannya, dan mungkin memang tak perlu dicari, karena bukan itu yang dia butuhkan. Dia percaya manusia tidak mesti selalu mencari definisi diri, hendak ke mana perginya, bagaimana akhir hidupnya, untuk apa waktunya, dan seterusnya. Sebab, hidup sudah runyam tanpa perlu diperdalam.

Di sepanjang perjalanannya, Reza merasa kegelisahan yang sejak awal merasukinya, perlahan menghilang. Kecemasan yang Reza alami sebelumnya terkait hidupnya ke depan, seolah mulai pudar. Menurutnya, membuka diri adalah modal utama kesembuhan batin.

Tapi pada langkah pertama saat tiba di Bandealit, sebuah pantai megah sekaligus menyeramkan di Meru Betiri, Reza langsung merinding. Ada suatu nuansa yang sulit dia deskripsikan. Di sana dia mengalami lagi rasa takut yang tadinya sempat hilang, dan ini bukan tentang hal mistis. Dia berada dalam suasana yang betul-betul asing namun karib bagi dirinya yang lain.

Ada juga kejadian di luar nalar yang Reza alami di perbatasan Jogja-Wonogiri. Di sebuah pohon besar, sedang hujan dan jalan desa sepi banget, Reza bertemu dengan anjing hitam yang tak bisa dipotret. Wujudnya selalu tak nampak saat disorot kamera. Seketika itu Reza heran dan meminta maaf kepadanya.

Mungkin Reza terkena skizo atau halusinani akibat kelelahan. Tapi kemudian dia pun mengangguki bahwa diakui atau tidak, hal-hal yang tak terjangkau memang terjadi dan usaha-usaha untuk memaknainya disebut hidup.

Saya suka keliaran Reza dalam berimajinasi dan kepiawaiannya merangkai kalimat puitis bertabur metafora untuk mendeskripsikan ceritanya. Seperti pada kisah Ketukan Pertama, tatkala Reza mengeluhkan punya persoalan dengan sandalnya, dia menuliskan:

"Talinya menggigit kulit seperti anak kucing mengasah gigi."

Itu sungguh menggemaskan. Reza sendiri juga tergolong unik, konon dia fobia buncis karena menganggap buncis adalah sayuran yang bisa menjerit saat digigit, wkwkwk... (Saking penasarannya, soal buncis ini saya tanyakan langsung ke Reza. Lalu, jawab Reza: "Haha belum selevel fobia sih. Tapi nggak sanggup makan buncis karena tiap digigit bikin sekujur badan ngilu.")

Dan seperti kata Reza, buku ini sangat cocok untuk mereka yang suka bertualang, mendaki, ngedengerin Banda Neira sambil ngopi, atau juga untuk yang ingin mati, ingin sendiri, dan ingin pergi. Buku ini adalah jawaban atas kegelisahan-kegelisahan tadi.

Barangkali karena perjalanan hidup saya yang selama ini cenderung lempeng-lempeng saja, sejujurnya saya merasa agak kurang relate dengan beberapa bagian kisah dewasa dalam buku ini. Apalagi saat membaca penggalan aktivitas personal Reza yang dipaparkan secara gamblang. Walau hanya sekilas-sekilas, namun bagi saya tetap saja terkesan vulgar.

Kendati demikian, sebagai seorang ibu yang memiliki anak laki-laki yang sedang beranjak remaja, saya sangat mengapresiasi Reza yang telah berinisiatif membagikan cerita perjalanannya ini. Karena rasa kecewa, gairah, amarah, mimpi buruk, dorongan ingin memberontak pada hidup yang penuh dengan tekanan dan segala bentuk pergolakan batin khas anak muda, seluruhnya tertuang dalam buku ini. Sehingga membuat saya lebih melek dalam melihat sisi lain kehidupan anak muda, yang bahkan tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Tentu bukan fokus pada cerita kelam, kemuraman dan umpatan-umpatannya, tapi pada semangat dan upaya untuk bangkit dari keterpurukan.

Perjalanan pulang ke Rinjani ini, Reza jadikan sebagai pemungkas masa mudanya, dan semacam pintu menuju cara hidup baru. Sebab setiap manusia, sehancur apa pun proses hidupnya, selalu bisa memulai lagi sekalipun itu tak mudah. Kisah ini dibuat sebagai catatan bahwa diri manusia bisa terpecah-belah, namun ia pun sanggup tersusun kembali dengan cara-caranya yang ajaib.

Ngomong-ngomong, saya jatuh hati pada rentetan diksi sastrawi yang tertulis di akhir catatan perjalanannya:

"Saat gorden terbuka, matahari duduk di tepi ranjang bersamaku. Selembar sinarnya jatuh di wajah bayangan lamaku yang terkapar di lantai. Kami bertatapan lagi. Kantung matanya masih berlipat-lipat, bibirnya masih memayung kena pukul badai. Dia berusaha sembunyi ke bawah ranjang, tapi kubilang, aku tahu apa yang telah terjadi dan kita tahu itu semua layak dijalani. Sampai di sini, kita percaya manusia selalu sanggup memulai jalan setapaknya sendiri."

_____

* Judul Buku: Pulang ke Rinjani
* Penulis: Reza Nufa
* Penerbit: DIVA Press, 2021
* Tebal: viii + 436 halaman
* ISBN: 978-623-293-302-6

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun