"Aku kan juga belum..." sambung Emil. Eli langsung bisa menebak ke mana arah pembicaraannya.
"Gimana kalo kita pernahin aja?" tanya Emil pelan. Dia berusaha tetap menatap mata Eli.
Eli menunduk. Tersipu. Mendongak lagi ke arah Emil. "Maksudmu pernahin tuh piye, to?"
Emil tersipu juga. "Yaa, kamu tahu, lah. Kita pernahin aja. Biar sama-sama pernah. Mau nggak?"
Eli menunduk lagi. Tersipu lagi. Eli menoleh dan melihat Emil tampak gugup, tapi masih berusaha tersenyum. "Kamu, ih! Aku baru denger itu, pernahin... pernahin."
Emil tertawa kikuk dan Eli pun ikut-ikutan (Halaman 80-81).
Tapi saat mereka mengira akan bersama selamanya, takdir berkata lain. Eli terpaksa harus menerima perjodohan dengan putra dari kawan lama ayahnya. Meski semula sempat terpikirkan untuk kawin lari, namun Eli dan Emil masih tergolong cukup realistis dalam menyikapi keputusan orang tuanya itu, tanpa drama-drama penolakan yang biasa terjadi pada remaja seusia mereka yang cenderung berperilaku labil. Mau serasional apa pun seseorang, jika sedang jatuh cinta kemudian harus berpisah, niscaya semua logika dan akal sehatnya akan terburai. Namun ketika hati dan logika sedang bertentangan, tentu lebih baik mengikuti akal sehat.
Cerita di novel ini juga sedikit menyinggung tentang penyakit bipolar. Seperti yang kita ketahui, bipolar adalah gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan perubahan emosi secara drastis dan bahkan depresif. Yang mana hal itu sangat mempengaruhi proses perjalanan hidup Eli, tatkala orang terdekatnyalah yang menderitanya.
Lalu bagaimana kisah hidup Eli selanjutnya? Bahagiakah hidupnya bersama lelaki pilihan orang tuanya? Lantas bagaimana bisa Eli dan Emil berjumpa lagi setelah tiga belas tahun berpisah dan tidak saling memberi kabar?
Yang bikin nyesek, saat mengetahui bahwa sebenarnya Eli sempat mengirim email ke akun Emil yang ternyata sudah tidak dipakai lagi karena lupa password, sedangkan Eli mengira bahwa Emil tidak membalasnya sebab sudah tak mau lagi berkomunikasi dengannya. Sungguh konyol. Sepertinya takdir berusaha memisahkan mereka dengan berbagai cara. Takdir yang sama, yang pernah memberi kesempatan kepada kedua jiwa itu untuk saling mengenal dan menyayangi.
Lalu kenapa keduanya dipertemukan kembali? Apakah takdir hendak mengulang masa lalu?