Mohon tunggu...
Miki Mayang
Miki Mayang Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dua anak

Tinggal di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review Buku "Dilarang Mengutuk Hujan" Iqbal Aji Daryono

26 Februari 2021   15:30 Diperbarui: 16 September 2021   17:52 2456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Miki Mayang

Dilarang Mengutuk Hujan adalah buku pertama yang sangat ingin saya miliki di awal tahun ini. Kenapa Dilarang Mengutuk Hujan yang menjadi pilihan saya? Satu-satunya alasan yang menurut saya paling rasional adalah karena penulisnya Iqbal Aji Daryono (IAD). Sebab tulisan tentang hal sederhana pun, yang sepertinya tak begitu istimewa, terasa seolah lebih bernyawa tatkala tersentuh ujung jemarinya. Kepiawaiannya dalam menemukan sudut pandang yang berbeda atas suatu fenomena, menjadi daya pikat yang lain disamping keahliannya dalam ber-story telling.

Buku setebal 166 halaman ini merupakan kumpulan 21 esai pilihan. Dan Dilarang Mengutuk Hujan adalah judul dari salah satu esainya. IAD menuturkan, ia tak habis pikir kenapa bersama "senja", kata "hujan" selalu dilekatkan dengan romantisme.

Bahkan penulis sekawakan Laksmi Pamuntjak pun turut memuja hujan dengan vulgarnya, dalam Amba: "Aneh, memang: selalu ada yang membuat terlena dan tak berdaya pada hujan, pada rintik dan aromanya, pada bunyi dan melankolinya, pada caranya yang pelan sekaligus brutal dalam memetik kenangan yang tak diinginkan."

Sementara IAD mendefinisikan hujan itu mirip cinta. Ia jadi berkah hanya ketika dicurahkan dalam porsi yang cukup dan di saat yang tepat. Selebihnya, too much love will kill you.

Meski di media sosial IAD seringkali mencitrakan diri sebagai sosok songong yang iyig dan njelehi, tetapi tetap saja terlihat sisi kritis, tajam, smart, aktual dan dialogisnya. Namun segala hal yang telah ditulisnya dalam buku ini, bukan lantas merupakan sebuah simpul mati. Sehingga selalu terbuka ruang bagi kita untuk sekadar berpikir ulang, atau bahkan tidak menyepakatinya. Dia pun tidak membatasi interaksi di media sosialnya, agar karakter dialogisnya tetap terjaga.

Kalau boleh jujur, tulisan-tulisan IAD ini hadir memberi corak dan warna baru bagi khazanah bacaan saya. Meski saya nggak selalu sependapat dengannya, namun setidaknya apa yang selama ini saya baca, yang sebelumnya hanya berupa tulisan-tulisan dari sudut pandang yang sama belaka, kini tidak lagi saya anggap sebagai kebenaran tunggal yang tak terbantahkan.

Pada salah satu esainya yang berjudul Agama Perang? IAD menuliskan perspektifnya bahwa di zaman kita sekarang ini, marwah, martabat, kehormatan, tidak dibangun dari keperkasaan yang berbasis kekuatan fisik. Manusia dan peradaban terus tumbuh membentuk bahasa-bahasa kebudayaan yang baru.

Maka mereka yang masih gemar menggunakan kekerasan sebagai jalan meraih kualitas keislaman, adalah fosil-fosil purba yang enggan beranjak dari puing-puing sejarah. Mereka sibuk merayakan alat, sembari gagal menangkap esensi, substansi dan spirit ajaran Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Pada esai yang lain, IAD juga menuliskan bahwa di atas hukum ada etika, dan wujud penerapan etika sangat tergantung pada konstruksi sosial di masing-masing entitas budaya. Yang berbeda bukanlah nilainya, melainkan kesepakatan cara dalam menerapkan wujud dari nilai-nilai itu.

Sayangnya, manifestasi nilai kerap dianggap sebagai nilai itu sendiri. Sehingga dikira bisa diterapkan secara general kepada semua orang yang sama. Guliran kalimat-kalimat tersebut bisa kita jumpai di esai yang berjudul Gadis Hot Pants di Kampung Santri.

Lalu pada esai Perjalanan Sakral, IAD memandang bahwa dalam mudik tersedia momentum. Dan ada yang bergerak di balik tampilan visual, yakni gairah untuk kembali ke akar, kerinduan, air mata dan cinta. Dalam hidup yang penuh misteri ini, ada banyak sisi di luar kalkulasi rasional-mentahan yang mampu menggerakkan etos manusia.

Kemudian saat IAD menuliskan esai Ziarah Buku, menurutnya, buku masih sangat penting sebagai instrumen yang kita gunakan untuk mengakses kedalaman, menyantap sajian ide yang komprehensif, serta memahami konstruksi gagasan yang utuh dan bukan semata remah-remah.

Memang ada nuansa konservatisme di situ. Namun ada bagian yang perlu diberi titik tekan, bahwa tuntutan tersebut hanyalah untuk fase transisi ini, masa ketika produktivitas dipegang oleh mereka yang lahir pada era 80 hingga 90-an. Sedangkan generasi berikutnya, akan berbicara dengan bahasa generasinya.

Di esai ini IAD juga menceritakan momen-momen emosional saat ia sangat menginginkan buku yang saat itu sedang langka-langkanya, di sebuah pameran. Dia menanyakan prediksi temannya, kira-kira nantinya ia jadi menikah dengan Si Anu atau tidak. Sebab gadis itu sudah memiliki buku yang sangat ia inginkan tadi. Dan jika kelak ia berjodoh dengannya, kan itu artinya ia nggak perlu repot-repot untuk membeli buku tersebut. Hahaha... Lumayan lucu sih, walau terasa sedikit garing, wkwkwk...

IAD memang sosok perenung ulung yang brilian. Di saat kita barangkali merasa biasa saja ketika melihat pembabatan rumpun bambu misalnya, namun menjadi tidak sekadar biasa jika IAD yang menyaksikannya. Pemandangan rumpun bambu yang dibabat habis itu pun seketika bisa dieksekusinya menjadi sebentuk sajian esai cantik dengan beragam angle yang menarik. Dari burung emprit, ular gadung, tikus sawah, hingga tentang pengetahuan yang menurutnya justru menciptakan kegelisahan.

Pantas saja jika pada kata pengantar, Edi AH Iyubenu menyebut IAD laksana pendulum. Yang ritmis, yakni berirama ketenangan. Dan mistis, menyelami kedalamannya. Kedalaman adalah sumber ketenangan, karena riak-riak hanya mungkin bagi kedangkalan.

Entah mantra ajaib apa yang dirapalnya, hingga mampu membuat saya seolah tersihir dan enggan berpaling sebelum menjumpai kalimat terakhir pada tiap-tiap esainya. Dan finally, buku Dilarang Mengutuk Hujan ini telah sukses menghipnotis saya sehingga menempatkannya ke dalam deretan buku-buku favorit saya.

_____

* Judul Buku: Dilarang Mengutuk Hujan

* Penulis: Iqbal Aji Daryono

* Penerbit: DIVA Press, 2021

* Tebal: 166 halaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun