Mohon tunggu...
Miki Mayang
Miki Mayang Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dua anak

Tinggal di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Review Buku "Dilarang Mengutuk Hujan" Iqbal Aji Daryono

26 Februari 2021   15:30 Diperbarui: 16 September 2021   17:52 2456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Miki Mayang

Lalu pada esai Perjalanan Sakral, IAD memandang bahwa dalam mudik tersedia momentum. Dan ada yang bergerak di balik tampilan visual, yakni gairah untuk kembali ke akar, kerinduan, air mata dan cinta. Dalam hidup yang penuh misteri ini, ada banyak sisi di luar kalkulasi rasional-mentahan yang mampu menggerakkan etos manusia.

Kemudian saat IAD menuliskan esai Ziarah Buku, menurutnya, buku masih sangat penting sebagai instrumen yang kita gunakan untuk mengakses kedalaman, menyantap sajian ide yang komprehensif, serta memahami konstruksi gagasan yang utuh dan bukan semata remah-remah.

Memang ada nuansa konservatisme di situ. Namun ada bagian yang perlu diberi titik tekan, bahwa tuntutan tersebut hanyalah untuk fase transisi ini, masa ketika produktivitas dipegang oleh mereka yang lahir pada era 80 hingga 90-an. Sedangkan generasi berikutnya, akan berbicara dengan bahasa generasinya.

Di esai ini IAD juga menceritakan momen-momen emosional saat ia sangat menginginkan buku yang saat itu sedang langka-langkanya, di sebuah pameran. Dia menanyakan prediksi temannya, kira-kira nantinya ia jadi menikah dengan Si Anu atau tidak. Sebab gadis itu sudah memiliki buku yang sangat ia inginkan tadi. Dan jika kelak ia berjodoh dengannya, kan itu artinya ia nggak perlu repot-repot untuk membeli buku tersebut. Hahaha... Lumayan lucu sih, walau terasa sedikit garing, wkwkwk...

IAD memang sosok perenung ulung yang brilian. Di saat kita barangkali merasa biasa saja ketika melihat pembabatan rumpun bambu misalnya, namun menjadi tidak sekadar biasa jika IAD yang menyaksikannya. Pemandangan rumpun bambu yang dibabat habis itu pun seketika bisa dieksekusinya menjadi sebentuk sajian esai cantik dengan beragam angle yang menarik. Dari burung emprit, ular gadung, tikus sawah, hingga tentang pengetahuan yang menurutnya justru menciptakan kegelisahan.

Pantas saja jika pada kata pengantar, Edi AH Iyubenu menyebut IAD laksana pendulum. Yang ritmis, yakni berirama ketenangan. Dan mistis, menyelami kedalamannya. Kedalaman adalah sumber ketenangan, karena riak-riak hanya mungkin bagi kedangkalan.

Entah mantra ajaib apa yang dirapalnya, hingga mampu membuat saya seolah tersihir dan enggan berpaling sebelum menjumpai kalimat terakhir pada tiap-tiap esainya. Dan finally, buku Dilarang Mengutuk Hujan ini telah sukses menghipnotis saya sehingga menempatkannya ke dalam deretan buku-buku favorit saya.

_____

* Judul Buku: Dilarang Mengutuk Hujan

* Penulis: Iqbal Aji Daryono

* Penerbit: DIVA Press, 2021

* Tebal: 166 halaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun