Apa benar dalam politik tidak ada teman dan musuh yang abadi? Kalau tidak ada teman yang abadi banyak. Kalau musuh abadi? Hmmmm.... Coba aja kita lihat yang terjadi di Indonesia sekarang ini, khususnya dalam pilkada DKI 2017 nanti.
Kita semua sama paham, bahwa ada dendam yang membara dan sakit hati tak terlupakan, diantara para penguasa Indonesia -para mantan yang kini duduk sebagai Kingmaker- yang terkait peristiwa masa lalu.
Supaya tidak terlalu panjang dan membosankan, artikel ini akan saya potong jadi dua bagian. Kisah cinta para mantan ini akan saya tulis diartikel selanjutnya yaaa. Heu heu heu... Bang Peb Mode On...
Kita bisa melihat ketika Pilpres 2014 lalu, dimana PDIP dan Gerindra bersaing seru. Mungkin bisa dibilang Pilpres yang paling hebat dalam sejarah bangsa kita.
Disaat yang bersamaan, Demokrat justru tidak mau ambil bagian dalam pesta demokrasi yang membahana seantero negeri. Demokrat memilih sikap netral, tidak mau berpihak pada kubu Jokowi maupun Prabowo.
Begitu juga yang terjadi sidang pada perebutan kursi pimpinan DPR, kader Demokrat justru memilih meninggalkan ruang sidang.
Apakah itu karena terkait masa lalunya dengan Prabowo dan Megawati? Banyak orang berpendapat seperti itu atau mengatakan, sikap Demokrat karena ingin cari aman, bermain dua kaki dan peragu.
Tapi saya melihat, keputusan SBY bukan hanya terkait dengan masa lalunya dengan PDIP (Megawati) atau dengan Gerindra (Prabowo) saja. Keputusan tersebut adalah bagian dari taktik SBY, yaitu menunggu saat yang tepat untuk bisa menangguk keuntungan.
Saya pernah menulis: Gajah Berperang Melawan Gajah, Pelanduk...
“Dari situ, bisa dilihat kehebatan dan kecerdikan berpikir SBY, yang telah memutuskan, bahwa Partai Demokrat, tidak ingin ikut masuk kedalam kedua kubu. Jadi, sikap untuk tidak ikut salah satu kubu itu, bukanlah sikap ragu dari SBY atau bukan juga bersikap sebagai penengah, melainkan sikap dan pemikiran yang sangat cerdik dan lihay.”
Terbukti, taktik menunggu momentum yang tepat, sangat jitu untuk mengantar SBY ke kursi Presiden pada Pilpres 2004 lalu.
***
Jauh sebelum masa pencalonan Gubernur DKI, sudah terjadi pertarungan yang panas antar elite parpol. Perang statement menghiasi media setiap hari. Ada saja yang dikomentari oleh para anggota DPRD, DPR maupun oleh Ahok.
Entah dari parpol Gerindra, PDIP, PPP atau parpol yang lain. Yang paling sering terlihat adalah perdebatan antara Ahok dengan kader Gerindra atau PPP nya Haji Lulung. Anehnya, kita sangat jarang melihat komentar dari para kader Demokrat.
Apakah dengan begitu bisa dikatakan SBY memerintahkan seluruh kadernya untuk tidak terlibat dalam perang komentar tersebut?
Sekali lagi saya katakan, itu adalah taktik SBY. SBY memang sengaja tidak mau terlibat dalam konflik. Demokrat on the track, menunggu konflik semakin besar, dan bukan tidak mungkin sambil meniupkan isu isu panas ke dalam kuping pihak yang sedang berseteru.
Memasuki, masa pemilihan calon Gubernur DKI 2017.
Gerindra bersama PKS mengumumkan pasangan Anies-Uno sebagail Calon Gubernur dan Wakil.
Seperti sudah diduga, PDIP ikut bersama Nasdem, Hanura dan Golkar mengusung pasangan Ahok-Djarot sang petahana. Dan seperti yang sudah diduga juga, koalisi kekeluargaan dikarenakan basis massa yang berbeda, tidak mungkin bisa langgeng.
SBY tetap menunggu tanpa bersikap. Menunggu kekuatan yang tersisa. SBY sangat paham kekuatan partainya yang tidak sebanding dengan PDIP dan Gerindra.
Oleh sebab itu, menunggu perang antar gajah selesai adalah pilihan yang terbaik, untuk kemudian bisa meraih untung yang sebesar besarnya.
Ditengah perang antar gajah, SBY dengan tenangnya memunguti kekuatan yang tercecer dari kubu yang bersengketa. Kemudian dengan beraninya, SBY memasukan Agus -anaknya yang masih militer- sebagai calon Gubernur.
Ini taktik hebat dan bukan tanpa pertimbangan, atau spekulasi yang mengada ada seperti yang dikatakan para pengamat, tapi justru ini buah pemikiran yang sangat matang.
Bukti kelihayan SBY menunggu momentum yang tepat untuk masuk ke dalam.
SBY telah berhitung dengan cermat sampai detail detailnya. Demokrat melihat kedua pasang calon yang diusung para Gerindra dan PDIP, dinilai banyak orang ada celanya, sedangkan Agus yang anak bawang masih bersih dari noda politik.
Point pentingnya, tidak ada satu hal pun yang bisa dijadikan alasan untuk menghajar (dengan kata lain mendiskreditkan) Agus, kecuali rekam jejak kepimpinan saja yang masih nol besar. Namun kekurangannya bisa saja dijadikan senjata yang ampuh, jika dibantu tim sukses yang hebat.
Kini para gajah sedang beradu kekuatan, menghajar satu sama lain dengan mengerahkan segala kekuatannya. Satu sama lain saling mendiskreditkan dan saling menjatuhkan.
Sebagaimana kita lihat, perang antar gajah sudah dalam titik yang menentukan. Dalam beberapa minggu ini sudah terjadi keriuhan, dan dihari selanjutnya disinyalir bakal ada kehebohan lagi.
Dimana Demokrat berdiri? Hmmmm...
Kubu Demokrat tetap tenang, anteng anteng saja. Dengan tenang mereka menyusun kekuatan terus, untuk bisa sekali lompat akan melewati kedua gajah sambil meraup keuntungan.
Jadi, apapun yang akan terjadi nanti, yang diuntungkan adalah SBY, Sang Penunggu Waktu.
Ricuh atau tidak ricuh tetap pihak Demokrat lah yang diuntungkan. Karena masyarakat ditunjukan banyak sisi buruk calon Gubernur lain selain dari Demokrat. Dan masyarakat juga sudah ditunjukan keributan yang ditimbulkan oleh kubu Gerindra dan kubu PDIP.
Masyarakat yang sudah jenuh dan muak dengan segala keributan yang terus menerus, akan mengalihkan suaranya ke pihak Demokrat yang dianggap adem ayem.
Ini yang mesti disadari oleh pihak Gerindra dan PDIP. Sebaiknya kedua kubu ini segera memperbaiki citranya masing masing. Jangan bikin keributan terus jika mereka ingin memenangkan Pilkada DKI.
***
Saya bukan pendukung pasangan Agus-Silvi atau SBY. Sampai saat ini saya masih tetap mendukung pasangan Ahok-Djarot. Sama dengan sebagian besar masyarakat Indonesia, saya tidak suka dengan pertikaian, pertengkaran apalagi kekerasan, yang bisa bikin trauma berkepanjangan.
Bukan demokrasi namanya kalau yang satu ingin memaksakan kehendak pada yang lainnya . Atau satu sama lain saling menjelekan, menghina, dan mengancam.
Pemilih yang cerdas tentu akan berpikir ulang untuk memilih calon yang sering ribut. Sudah pasti pemilih akan memilih pemimpin yang bisa membuat tenang, mengayomi dan mensejahterakan. Bukan yang sering ribut, sering mengancam atau menakut nakuti. Mau kaya Orba lagi?
Atau.... jika pun masih tidak ada pilihan lagi, pada saat pemilihan berlangsung, mereka akan memilih diam di rumah saja atau jalan jalan ke mall...
Itu sebabnya, saya membuat tulisan ini, -yang kalau bisa- untuk jadi mengingatkan. Jika para politikus bertengkar terus, membuat keributan, yang bakalan rugi bukan cuma masyarakat saja, tapi mereka juga rugi.
***
Catatan:
Melihat panasnya Pilkada DKI, bisa diprediksi akan terjadi dua putaran. Jika itu tejadi, pasti akan lebih menarik.
Jika pasangan Agus tersingkir, apakah Demokrat akan tetap berdiri NETRAL seperti Pilpres lalu.
Yang lebih menarik jika pasangan Anies-Uno atau Ahok-Djarot yang tersingkir...
Siapakah yang akan memulai lebih dulu menggandeng tangan yang lainnya? Apakah SBY, Mega atau Prabowo?
Sejujurnya saya berharap akan seperti itu, di Pilkada DKI segala konflik dan sakit hati yang terjadi puluhan tahun lalu, harus segera berakhir...
Salam Damai...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H