Mohon tunggu...
Mike Reyssent
Mike Reyssent Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia

Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia Graceadeliciareys@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Selesai Rebutan Kursi, Sekarang Rebutan Jatah Preman

17 November 2015   10:22 Diperbarui: 17 November 2015   11:02 1804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya kami –rakyat- juga tahu bahwa kerjanya politisi adalah tukang ribut, tukang berebut kekuasaan dan sebagian besar tukang korup.

Masih mending, kalau yang diributin itu adalah untuk kepentingan rakyat. Masih mending kalau berebut kekuasaan itu untuk kesejahteraan rakyat, dan masih mending yang di korup itu bukan uang untuk rakyat miskin.

Yang konyolnya, yang diributin itu cuma saling tuduh, saling lempar isu, saling menjatuhkan, antar lembaga, lalu mau kerja buat rakyat nya kapan? Terus setelah melempar isu, tidak ada lagi kejelasannya, konyol kan?

Yang gilanya, mereka sikut kanan kiri demi meraih kekuasaan, cuma karena pengen dapat jatah lebih gede. Kalau udah dapet langsung aja berpelukan ala Teletubies dah...

Yang paling parahnya, politisi -yang awalnya bukan orang miskin- tapi tega teganya mencuri hak rakyat miskin. Duh, inilah si Raja Tega...

Herannya, mengapa keributan itu, ditunjukan secara vulgar di depan rakyat banyak? Apa sudah ga punya lagi rasa malu?

Bingungnya, kenapa cuma karena berebut jatah preman harus saling tusuk? Apa sekarang preman kerah putih sudah berubah jadi preman kerah dekil?

Teganya, mengapa harus dana bantuan jatahnya si rakyat miskin yang dicuri? Apa udah ga ada/ga kebagian dana lain yang bisa dicuri?

Sebenarnya kami –rakyat- udah maklum kalau politisi bukan melulu kerja buat rakyat. Kami –rakyat- sangat maklum bahwa kekuasaan untuk mendapat jatah preman lebih banyak. Kami –rakyat- juga ngerti bahwa politisi memperkaya diri sendiri.

Tapi mbok ya, jangan sampe terang terangan dan keterlaluan kaya gini dong, mbah... Bagi bagi dikit buat rakyat, atuh Oom... Seperti, dana penanggulangan bencana alam, dana BOS, dana Bansos atau dana yang khusus untuk rakyat miskin, ya yang kaya gitu jangan ikut dicuri dong...

Kan, Tante, Oom, Bapak, Ibu, yang merasa dewan terhormat, atau Menteri di kabinet dan para pejabat lain, tau sendiri, BBM naik dikit aja, rakyat udah menjerit. Tarif tol naik aja semua orang udah pada ribut.

Ga usah jauh jauh deh, coba liat tuh Buruh, cuma ingin memperjuangkan beberapa ratus ribu tiap bulan aja, harus demo turun ke jalan. Terus, apa ga tau, pengemudi Go-Jek yang mau demo, demi memperjuangkan beberapa puluh ribu aja tiap harinya. Hal yang kaya gini ini, bisa merugikan banyak pihak kan?

Coba seandainya wakil rakyat, yang menganggap dirinya orang yang dipilih oleh rakyat, Menteri, Gubernur atau pejabat lain yang merasa dirinya mewakili pemerintah, mau atau bisa mikir dikit deh, ga terlalu serakah, pasti rakyat negeri ini udah sejahtera.

Bayangin aja deh, berapa banyak uang dimakan sama mafia migas doang? Berapa banyak dari 20% yang diminta oleh anggota DPR dari PT Freeport? Terus kasus Pelindo II yang sampe sekarang keliatannya udah mulai adem ayem. Belum lagi kerugian bangsa ini (catat : ini kerugian bangsa, bukan kerugian negara) akibat ilegal fisihing.

Dari contoh 4 kasus itu aja, seharusnya bisa kita liat bahwa sesungguhnya banyak perusahaan yang mampu memberikan lebih pada tenaga kerja maupun kepada rakyat sekitar, atau sangat banyak sumber saya alam negeri ini, yang kalau dikelola dengan benar, bisa mensejahterakan rakyat.

Lagi lagi, yang menjadi penyebab utama kesengsaraan rakyat adalah faktor keserakahan para pemimpin negeri, yang sudah sangat keterlaluan. Namun, sayangnya, masih banyak dari antara kita –rakyat- yang tidak menyadari akan hal ini, sehingga mau terus menerus “dibodohi” oleh para pemimpin serakah ini.

Masih banyak diantara kita-rakyat- yang mau percaya pada calon pemimpin, yang hanya berbekal janji janji palsu (PHP). Masih banyak diantara kita –rakyat- yang mau memilih calon pemimpin dengan hanya diberi beberapa puluh ribu saja. Masih banyak diantara kita –rakyat- yang merelakan masa 5 tahun ditukar dengan sembako seharga puluhan ribu.

Bahkan lucunya, bukan sedikit diantara kita –rakyat- yang masih mau mendukung, mantan pemimpin yang jelas jelas pernah divonis sebagai koruptor. Padahal disisi lain, banyak diantara kita –rakyat- yang terus berteriak anti koruptor. Ini sebuah dilema.

Dikatakan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar”. Dalam hal ini, tentu semakin jelas bahwa sesungguhnya rakyatlah yang menjadi penentu masa depan bangsa dan negara.

Namun, sekali lagi, sayangnya, banyak diantara kita –rakyat- yang kurang menyadari hak haknya. Kita terlalu fokus dengan pekerjaan masing masing. Kita fokus memikirkan bakul nasi rumah tangga sendiri. Kita malas mengkritik para pemimpin.

(Percuma dikritik, ya sama aja, ga ada perubahan, sama sekali tuh... Ampun dah...Lha, kalau didiemin terus gimana dong...Bukannya malah semakin parah?)

Dan akhirnya, banyak diantara kita yang tidak perduli lagi, mau dibawa kemana bangsa ini oleh para pemimpin. Kita menutup mata melihat keserakahan para pemimpin. Makanya, mereka semakin semaunya sendiri, tidak tahu malu dan semakin berani menunjukan wajah serakahnya di depan rakyat. Mereka tidak merasa sungkan lagi, berebut uang rakyat didepan mata kepala kita sendiri.

Tidak ada yang salah, ketika orang fokus mengurus pekerjaan, bakul nasi atau kepentingan lain, demi kelangsungan hidup rumah tangganya. Karena itu merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh masing masing individu.

Tapi, jika saja ada kesadaran bahwa seandainya uang yang dicuri para pemimpin, dibagikan untuk kesejateraan rakyat, bukankah secara otomatis hidup kita jauh lebih enak daripada sekarang ini? Bukankah, seandainya semua hak rakyat dipenuhi oleh para pemimpin, secara otomatis rakyat tidak terlalu susah lagi mencari uang?

Pasal 33 Ayat 2 Undang Undang Dasr 1945 mengatakan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Apa yang terjadi dengan pasal itu? Mana yang diberikan untuk kemakmuran rakyat? Jikapun ada, rakyat yang mana yang makmur?

Kasus Salim Kancil hanya satu dari sekian ribu permasalahan yang terjadi di negeri ini. Hasil bumi yang dikelola oleh pemimpin rakus dibantu oleh aparat bermental bobrok.

Bukan saya sok tau, atau kaya paranormal, tapi melihat begitu beraninya, Ketua DPR RI, Setya Novanto, mendatangi dan meminta jatah preman kepada PT Freeport (dengan mencatut nama presiden dan wakil), bisa diartikan hal ini sudah berlangsung bertahun tahun lalu. Dan artinya sudah berapa banyak uang PT Freeport, yang masuk ke kantong politisi penguasa!

Mari kita pikir, seandainya benar PT Freeport mampu memberikan/mengeluarkan jatah preman sebesar yang diminta oleh Setya Novanto, lalu uang itu diberikan untuk kesejahteraan rakyat sekitar. Sudah pasti kehidupan rakyat sekitar lebih mampu daripada sekarang ini, kan.

Dan berapa besar uang yang seharusnya bisa masuk ke dalam kas negara, yang nantinya bisa dipakai untuk kesejahteraan rakyat. Ini bukan kasus uang receh yang ecek ecek lho...

Hal yang seperti inilah yang seharusnya diperjuangkan secara bersama sama dan dipertanyakan dengan jelas dan tegas. Karena korupsi atau minta jatah preman bukan lagi masalah sepele yang patut dicuekin lagi.

Pertanyaannya :

Beranikah para penegak hukum mengusut tuntas masalah ini? Memanggil Ketua DPR Setya Novanto, dan petinggi PT Freeport dan mengusut sampe kebelakang lagi?

***Catatan :

***Ada hal yang sungguh menggelikan, setelah Setya Novanto mendatangi Wapres Jusuf Kalla , justru JK -yang namanya ikut dicatut- terlihat seakan akan membelanya. JK menilai bahwa Setya Novanto menemui PT Freeport, bukan dalam kapasitasnya sebagai Ketua DPR RI. Hahahahaa.... Opo meneh iki, mbah...(silahkan nilai sendiri ya...)

***Banyak politikus negeri ini yang sangat licik, merekalah yang tidak ingin rakyat menjadi pandai dan hidup sejahtera. Karena, jika rakyat semakin pandai, tentu mereka tidak akan bisa membodohi lagi. Jika rakyat semakin makmur, mereka tidak bisa mengasongkan uang untuk dipilih lagi.

Begitu juga dengan para koruptor, yang selalu berlindung pada pasal pasal karet undang undang tentang pencemaran nama baik. (Pasal 310, KUHP, Pasal 311 KUHP, pasal 315 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 45 UU ITE, Pasal 36 UU ITE dan Pasal 51 ayat (2) UU ITE).

Ingat, penegakan hukum negeri ini masih sangat amburadul, dimana uang dan kekuasaan sangat berperan dalam mempengaruhi sebuah kepastian hukum. Akibatnya, orang semakin takut ketika berhadapan dengan para koruptor.

***Jika kita perhatikan bahwa semakin lama koruptor bukan semakin sedkit tapi semakin beranak pinak. Tapi lucunya justru semakin banyak orang yang justru muak melihat para pegiat anti koruptor. Hahahahaa...

Salam Damai...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun