Mohon tunggu...
Mike Reyssent
Mike Reyssent Mohon Tunggu... Wiraswasta - Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia

Kejujuran Adalah Mata Uang Yang Berlaku di Seluruh Dunia Graceadeliciareys@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kisruh PSSI, Jangan Mau Diadu Domba

3 November 2015   05:47 Diperbarui: 3 November 2015   07:17 1781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="http://www.ligaolahraga.com/detail/2442/kisruh_sepakbola_nasional_hingga_koi_sebagai_pengganti_pssi_/"][/caption]

Perseteruan antara PSSI dan Menpora yang sudah berlangsung berbulan-bulan sampai sekarang belum keliatan ada titik temu. Kedua pihak saling menunjukan kekuatan masing-masing. Pendukung dikerahkan untuk bisa saling menjatuhkan dan mendiskreditkan.

Maaf kawan, tolong catat ini. Pada tulisan ini saya tegaskan, bahwa saya ada dipihak NETRAL, tidak berdiri di salah satu pihak yang berseteru.

Tapi mohon sebelumnya, baca tulisan ini, pelan-pelan dan secara utuh dulu, supaya nantinya tidak bias dan tidak menjadi debat kusir yang menghabiskan energi saja.

Karena saya sudah semakin muak dan jengah, melihat semua pihak pada gontok-gontokan terus, berdebat panjang kali lebar, ga ada juntrungan dan ga ada terlihat titik temunya.

Para sahabat Kompasianer yang saya kagumi dan saya sayangi semuanya...

Saya ingin mengatakan bahwa, kedua pihak, masing-masing ingin menunjukan egonya saja. Yang ada dalam pikirannya hanya Aku, Aku, dan Aku! Aku yang benar, Kamu yang salah. Aku yang punya aturan, Kamu tidak boleh punya aturan. Aku yang punya organisasi, Kamu tidak boleh ikut campur. Aku yang berkuasa atas olahraga negeri ini, Kamu tidak. Aku yang punya wewenang mengatur, Kamu harus patuh. dan Aku, Aku, Aku, Kamu kamu kamu lainnya.

Kedua belah pihak sudah tidak berpikir lagi akan kepentingan yang lebih besar, bagi rakyat dan negara ini. Para elite yang merupakan orang dewasa semua, keliatan sudah tidak punya empati sama sekali, sibuk saling klaim didepan masyarakat, tidak ada yang mau mengalah sedikitpun, tidak ada rasa toleransi satu sama yang lainnya.

[caption caption="http://www.chexosnews.com/wp-content/uploads/2012/12/Kami-jadi-korban.jpg"]

[/caption]

Demi kepentingan diri sendiri aja, mereka rela dan tega, mau mengorbankan banyak pihak. Para pemain sudah jelas menjadi korban pertama dari perseteruan panjang ini.

Kompetisi berhenti, pemain tidak bisa bermain. Mereka tidak mendapat uang yang bisa menghidupi diri dan keluarganya. Ingat hampir semua pemain sepakbola, mencari nafkah buat keluarganya! Apa yang akan dimakan oleh anak istrinya, jika para pencari nafkah tidak bekerja?

Apakah para elite yang berseteru menjamin seluruh kesejahteraan keluarga para pemain? Omong kosong! Pada saat, mereka bermain saja, tidak jarang terdengar gaji pemain tertunda bahkan sampai berbulan bulan, apalagi sekarang.

Kita semua tahu, bahwa sepakbola atau olahraga apapun, membutuhkan sebuah kemampuan. Siapapun, tidak mungkin bisa mempunyai sebuah kemampuan hebat, dalam satu bidang olahraga, secara tiba tiba tanpa latihan. Dan kemampuan tidak bisa melekat secara permanen. Oleh sebab itu harus dilatih secara terus menerus.

Bagaimana mungkin jika tidak ada gaji, para pemain akan giat berlatih? Lalu apakah cukup hanya latihan fisik saja, tanpa latih tanding dengan lawan sebenarnya? Lihat saja, tim besar diluar negeri, ketika musim kompetisi berakhir, mereka mengadakan tour ke manca negara. Apakah tour itu hanya buat jalan-jalan doang?

Ibarat sebuah roda yang saling berkaitan, ketika yang satu bergerak maka yang lain ikut juga bergerak. Maka, bukan cuma pemain saja yang menjadi korban perseteruan konyol ini, tapi masyarakat dari berbagai lapisan juga menjadi korban.

Berhentinya kompetisi sepakbola secara otomatis telah membawa dampak yang besar bagi masyarakat banyak, entah itu pedagang maupun pendukung. Karena di setiap event kompetisi, tidak sedikit uang yang berputar. Dari mulai pedagang, pekerja maupun angkutan.

Bisa dilihat bahwa, dengan berhentinya kompetisi, telah membawa efek yang luar biasa besarnya. Kerugian secara mental, fisik/kemampuan maupun ekonomi.

Hal ini, tidak mungkin tidak dipikir, oleh para elite yang sangat pandai, mereka pasti amat sangat ngerti, tahu segala resikonya, tapi tetap saja mereka tidak perduli. Tetap saja mereka tetap keukeuh tidak mau saling mengalah.

Begitu juga dengan kita –pendukung salah satu pihak- telah menjadi korban permainan mereka. Secara tidak sadar, kita terus diadu oleh para elite itu. Kita, Aku atau Kamu dan seluruh rakyat pecinta sepakbola, tidak sadar telah dikorbankan sebagai pion oleh para elite. Buat apa? Untuk prajurit yang akan bertarung membela kepentingan mereka sendiri!

Harusnya, kita sebagai rakyat bisa melihat lebih teliti lagi, dan jangan mau diadu domba seperti sekarang ini. Karena sudah jelas mereka –para elite- sama sekali tidak mau berpikir untuk mendahulukan kepentingan masyarakat. Ini yang sudah sangat keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan.

Para sahabat Kompasianer yang saya kagumi dan saya sayangi semuanya...

Coba kita pikir pelan pelan, seandainya kedua belah pihak mau berpikir demi kepentingan masyakarat, maka tidak mungkin akan terjadi sampai berlarut larut seperti ini.

Sekarang telah terbukti, mereka dengan rela mempermalukan bangsa ini, dengan menunjukan borok di depan bangsa lain. Mereka semua tidak tahu malu, bertengkar di depan orang asing! Bahkan ramai ramai, dengan suka cita menyambut pihak asing, untuk menengahi permasalahan di negeri sendiri!

Jangan bilang, ini sepak bola, bung! Harus FIFA sebagai organisasi tertinggi yang harus menengahi, karena mereka yang mengerti aturan organisasi sepakbola! Dan alasan Bla bla bla... lainnya, yang pada dasarnya hanya menunjukan bahwa bangsa ini tidak bisa mengatur dirinya sendiri. Dan Itu konyol!

Tidak perlu saya terangkan lebih lanjut, silahkan debat saya di kolom komentar. Nanti bisa saya jelaskan. Ok?

Kita, Aku dan Kamu, malah mendukung orang yang menunjukan kepada dunia, seperti ini...
“ Ini lho Indonesia, negeri yang senang bertengkar!
“Ini lho Indonesia,  bangsa yang besar yang tidak bisa mengatur negerinya sendiri.”
“Datanglah kesini, ke Indonesia, lihat kami sedang bertengkar!
“Tolong, pisahin kami dong! Kami sudah besar tapi ga tau cara berdamai, bantu kami berdamai dong...”

Para sahabat Kompasianer yang saya kagumi dan saya sayangi semuanya...

Jangan menutup mata, sepakbola dan PSSI sudah sejak lama tidak punya prestasi yang membanggakan bangsa Indonesia. Negara yang sangat besar ini, seakan tidak mampu mencetak duapuluhan anak-anak muda, yang bisa bermain sepakbola dengan baik.

Apakah ga miris, melihat kenyataan bahwa salah satu negeri besar, yang masyarakatnya kebanyakan sebagai pencinta sepakbola, justru tidak ada yang mampu bermain sepakbola? Pembicaraan dan pertanyaan itu, sudah berpuluh tahun lalu, dikeluhkan masyarakat kita. Dari tingkat warung kopi, sampai akhirnya gaungnya menjadi membicaraan tingkat nasional di tipi tipi, tapi apakah setelahnya ada perubahan?

Pernah, beberapa kali terlihat grafik yang menanjak, kemudian melorot lagi. Pernah, pada beberapa era ada setitik harapan, tapi kemudian layu sebelum berkembang. Tidak pernah bisa membuat grafik dan prestasi itu, naik sedikit demi sedikit, tapi justru terus melorot dan melorot, tertinggal jauh dengan negara lainnya.

Prestasi sepakbola Indonesia, tidak pernah lagi membawa rasa bangga pada rakyat dan negara ini. Sorak sorai ribuan pendukung timnas dilapangan, hanya bisa membangkitkan semangat dan menambah daya juang para pemain, tapi tidak bisa mencetak kemenangan.

Dalam tiap event internasional, dimulai dari Sea Games, Asian Games atau penyisihan World Cup, timnas Indonesia selalu membawa pulang pemain dan penonton, dalam keadaan tertunduk.

Kalah! Kekalahan! Melulu, kedua kata itulah yang melingkari timnas Indonesia. Kemudian semua sibuk saling tuding, mencari kambing hitam untuk disalahkan, sibuk membuat komentar bla bla bla...

Kalau secara ekstrem alias lebay bisa dikatakan, ketika timnas Indonesia bertanding dengan tim manapun, kekalahan adalah hal yang mutlak pasti terjadi. Sedangkan kemenangan bisa dibilang sebuah mukjijat yang datang dari langit.

Ibarat Bumi dan Langit, tegak lurus 180 derajat. Ketika prestasi baik semakin jauh dari jangkauan, justru prestasi yang memalukan, semakin hari semakin banyak terlihat. Dari mulai perkelahian antar pemain di lapangan, pengeroyokan wasit sampai pada sepakbola Gajah atau *pengaturan skor, ditingkat lokal sampai internasional. Semua keburukan komplit ada. Terjadi dari tingkat tarkam sampai pada tim divisi utama.

(*Catatan : Pengaturan skor terjadi bukan pada timnas Indonesia saja, tapi terjadi pada banyak tim sekelas Juve, Milan dan bahkan bukan tidak mungkin terjadi pada timnas negara lain. Karena pengaturan skor bisa dibilang orang yang buang angin, atau kentut (maaf), banyak orang yang tahu, banyak orang merasakan baunya tapi sangat sukar membuktikan siapa pelakunya. Sayangnya, sudah banyak pihak yang bersaksi tapi belum keliatan ada kejelasan kasusnya)

Apakah dilakukan pembenahan terhadap semua masalahnya? Mungkin ada pembenahan, tapi apakah ada perbaikan atau perubahan? Kebobrokan ini bukan terjadi baru baru saja lho! Tapi, sudah terjadi bertahun tahun lho! Dan tidak keliatan ada hasilnya lho!

Para sahabat Kompasianer yang saya kagumi dan saya sayangi semuanya...

Kita bisa lihat dari paparan singkat di atas, banyak yang mesti dibenahi dalam sepakbola kita. Bukan cuma pengurus, wasit, pemain saja, tapi juga kita –masyarakat, penonton, pencinta olahraga sepakbola, bahkan orang tua yang anaknya ingin menjadi pemain sepakbola, harus punya komitmen yang sama, yaitu memajukan sepakbola nasional .

Kisruh antara PSSI dan Kemenpora sangat tidak layak ada campur tangan pihak lain. Perseteruan antara kedua kubu, sangat mungkin bisa diselesaikan oleh kita sendiri, karena jelas bersifat politik. Tinggal bagaimana mencari jalan atau membagi jatahnya dengan adil saja.

Jika masing-masing pihak terus ngotot mau menang menangan, sampai kapanpun ga akan bisa selesai. Apalagi membawa masuk pihak lain yang tahu seluk beluknya, kedalam perseteruan ini.

Kita, Aku dan Kamu, yang tahu segala macam tetek bengek sepakbola negeri ini, tidak bisa menyelesaikan, gimana orang lain bisa? Sudah jelas mereka sangat tidak paham latar belakang, kultur budaya dan politik negeri ini, bagaimana bisa mereka memberi solusi? Apakah memang kedua belah pihak, maunya dikasih tau sama orang lain baru ngerti?

Apakah sudah lupa bahwa kita selalu berteriak, tidak ingin diatur bangsa lain?

Apakah kita anak kecil yang tidak bisa ngatur diri sendiri dan selalu berubah?

Apakah sudah putus urat malu kita, lalu bertengkar di depan tetangga? Apakah kita tidak malu, melihat orang orang membelakangi kita, sambil cekikikan

Catatan :

Pertunjukan kekerasan, adu jotos, dalam sepakbola lokal bukan barang baru lagi, sudah menjadi tontonan yang sangat biasa kita lihat di tipi.

Bagaimana mungkin hal seperti itu, akan merangsang anak anak muda untuk berlatih sepakbola? Bagaimana mungkin melihat semua keruwetan itu, tidak membuat masyarakat kecewa?

Melihat tontonan sepakbola, yang ada malah bikin takut orang tua. Ketika anaknya mulai suka sepakbola, orang tua bukan mendukung anaknya, malah akan melarang anaknya. (semoga ini tidak terjadi...!)

Salam Damai...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun