Melihat keriuhan komentar di lapak fiksi mbak Desol dan Bang Peb, saya tertarik untuk melanjutkan tulisan yang sebenarnya sudah saya simpan beberapa waktu lalu...
Pepih Nugraha : Kembali ke Kompasiana. Saya percaya dan tetap yakin, hanya "good content" dan "good opinion" (meminjam istilah "good journalism" untuk media mainstream) dari "good people" (Kompasianer) saja yang membuat Kompasiana sebagai media sosial bertahan dan akan terus bertahan. Dengan konten dan opini yang baik, dalam hal ini konten/opini bermanfaat sebagaimana jargon "the news that we can use", pengguna (users) akan kembali datang berkunjung ke Kompasiana tidak peduli apakah Kompasiana disebut sekadar "media warga" atau media online biasa. Pembaca memerlukan "the opinion or news that they can use", untuk apapun keperluannya, sebuah konten yang menjadi panduan bagi pembacanya.
Rame rame nulis soal Kompasianer sudah mulai memudar, tidak seperti 2 minggu kemaren, banyak tulisan yang membahas tentang Kompasianer dari berbagai sudut, yang pada dasarnya semua tulisan membahas yang baik baiknya aja.
Jauh berbeda jika dibandingkan tahun tahun sebelumnya, banyak tulisan yang membahas soal Kompasianer yang isinya berupa counter attack atau mendiskreditkan satu dengan lainnya -sesama penulis, sekarang lebih banyak yang mencounter isi tulisan bukan personal (walaupun sekarang masih ada, tapi bisa dihitung dengan jari dalam setiap bulannya). Berarti ada perubahan yang sangat mendasar pada diri Kompasianer, sehingga tidak ada lagi debat kusir atau debat yang ga ada juntrungannya.
Pada tahun tahun awal berdirinya Kompasiana, mungkin banyak penulis yang (maaf) norak, kaget atau bingung melihat blog atau rumah sebesar Kompasiana ini yang menampung ribuan penghuni -siapa saja tanpa terkecuali- dari beragam macam latar belakang yang berbeda, makanya sering terjadi perdebatan atau caci maki dalam bentuk tulisan. Akibatnya, banyak akun akun yang tewas dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Kompasiana, dengan stempel merah di jidatnya.
Seiring bertambahnya usia Kompasiana, begitu juga dengan usia Kompasianer, oleh sebab itu, banyak diantara para penulis yang dulunya sering berdebat, sekarang sudah beranjak dewasa dan matang (Bisa dilihat disini nih wakakaka...). Matang dalam arti sudah bisa mengendalikan emosi, tingkat kesadarannya sudah jauh lebih tinggi, cara berpikirnya sudah beda -tidak mau lagi meladeni orang yang berdebat ga ada ujung pangkalnya- dan energi untuk berdebatpun sudah jauh berkurang, jika dibandingkan dulu (sekali lagi, walaupun sekarang masih ada, tapi bisa dihitung dengan jari dalam setiap bulannya).
Ok, cukup sudah membahas yang seperti itu, mari kita langsung menuju ke topik bahasan aja.
Saya awali dengan pertanyaan dulu.
*Kompasianer mana yang tidak ingin tulisannya dibaca orang banyak?
*Kompasiner mana yang tidak ingin mendapat banyak vote?
*Kompasianer mana yang tidak senang jika tulisannya diapresiasi banyak orang?
Kita semua “mungkin” sepakat bahwa jawabannya tidak ada, karena semua penulis pasti mau dan senang kan? Hayoo ngaku deh...
Walaupun ada beberapa Kompasiner -yang dengan berbagai alasan- tidak bisa Sharing and Connecting, tapi saya yakin mereka pastinya akan senang jika tulisannya dibaca banyak orang, banyak mendapat vote dan diapresiasi banyak orang. (Jika tulisannya tidak ingin dibaca orang, nulis Diary aja kan?)
Sebuah ide cemerlang pada Kompasiana Baru ini dengan menampilkan Kolom “Nilai Tertinggi” yang bisa membuat tulisan lebih kompetitif, sehingga sudah membuat tampilan tulisan yang sangat berwarna warni. (bisa dilihat dengan jelas di Kolom Nilai Tertinggi tidak melulu hanya diisi oleh tulisan berbau politik aja, berbeda dengan TA di Kompasiana Lama)
Namun untuk bisa meraih Nilai Tertinggi juga tidak mudah. Saya melihat, ada beberapa faktor penting supaya tulisan bisa bertengger disana, yang paling diutamakan adalah Sharing and Connecting berupa vote tapi harus disertai juga dengan komentar berbalas. Jadi perhitungan untuk bisa nangkring di NT bukan hanya vote atau klik saja.
(ingat sekali lagi komentar sangat mempengaruhi perhitungan mesin Kompasiana dalam menilai tulisan yang bisa nangkring di NT, jadi sangat penting untuk membalas tiap komentar jika ingin tulisan nongol di NT atau setidaknya buatlah tulisan yang bisa mengundang orang untuk berkomentar)
Mengacu pada tulisan Kang Pepih di atas, saya melihat ada beberapa Kompasianer yang masuk dalam kriteria itu, tapi sampai saat ini kurang mendapat perhatian dari para admin. Dan hebatnya mereka cuek tidak pernah mewek mewek dan tetap eksis menulis dengan gaya dan idenya yang sangat cemerlang.
Setelah dihapusnya kanal Humor dari Kompasiana, menyebabkan tulisan Humor bebas (baca: bingung) dimasukan entah kemana aja, saya melihat ada beberapa penulis Humor (bisa dihitung dengan jari) yang tetap bertahan dengan tulisan Humornya. Saya ga akan sebut nama (nanti dibilang promo dan bikin ge er hahahaahaaa...), jika pembaca aktif Kompasiana, pasti tau kan?
Padahal dulu -pada awal awalnya Kompasiana berdiri- kanal Humor adalah kanal yang paling banyak penulisnya dan tulisan Humor selalu banyak mendapat pengunjung dan komentar. (bisa dilihat disini). Jadi ada kontribusi yang sangat besar dari penulis Humor bagi perkembangan Kompasiana ini.
Walaupun sekarang tulisan mereka “cuma sedikit” yang baca, sedikit yang vote atau sedikit yang memberi apresiasi (apresiasi buat penulis Humor adalah ngakak sekenceng kencengnya, Wkakaakakaaaaa... Coba bayangin, gimana rasanya jika tulisan Humor ga ada yang ngakak ?), namun niat mereka melepaskan hasrat menulisnya tidak tergoyahkan. Tidak mau pindah ke lain hati. Tetap setia menulis Humor!!!
(tuh, buat yang jomblo, kalau mau cari pasangan setia, hayooo, carilah penulis Humor di Kompasiana, Wakakakaaaa..)
Dalam keadaan genting -karena tidak ada lagi tempat- mereka tidak perduli, mau yang baca sedikit kek, mau yang vote sedikit kek atau ga ada yang ngakak sekalipun, mereka tetap eksis menulis di Kompasiana dan tetap menulis Humor (tidak beralih menulis yang lain). Empat jempol buat mereka. Salut!!!
Jadi menurut saya mereka inilah Kompasianer yang paling hebat!!!
Pernah sewaktu ada eksodus besar besaran penulis Fiksi, saya membuat usul, bahwa ada baiknya penulis Fiksi atau tulisan Fiksi diberi tempat yang lebih baik (sering di HL) supaya mereka tidak merasa dianak tirikan. Dan mungkin karena usul itu (jangan ge er ah...) atau bukan, tapi setelahnya, banyak tulisan Fiksi yang di HL. (bahkan saya lihat sekarang sudah ada Admin Fiksi, apa karena saya yang ga tau bahwa memang sudah ada dari dulu yah...)
Pada saat yang sama, saya juga mengusulkan bahwa kanal Humor diberi tempat yang lebih baik, misalkan “Pojok Kompasiana” , untuk sekalian bisa menjadi ikon Kompasiana yang mudah diingat (seperti Doyok atau Ali Oncom di Poskota atau Mang Usil di Kompas cetak, jadi bisa aja nanti diberi nama Kriko Sang Penghibur atau Kriko Si Pengelitik atau apalah, kan banyak Kompasianer yang kreatif dan bisa diminta pendapatnya. ) namun sungguh sayang sampai saat ini usul itu belum bisa diterima.
Mengingat kembali kontribusi mereka (Kompasianer Hebat) yang sangat berarti bagi Kompasiana, demi melestarikan mereka (kuatir bentar lagi takut punah, hahahaha....) sekarang saya mencoba sekali lagi ingin mengusulkan kepada Kang Pepih atau Mas Isjet, supaya para penulis hebat ini diberi ruang yang cukup untuk memberi warna lain pada saat kita sedang lelah menulis, berbicara tentang politik atau yang lainnya.
Mungkin ada masalah ketika penulis Humor yang sekarang ada tidak menulis -karena pada saat ini populasi penulis Humor hanya tinggal beberapa orang saja- oleh sebab itu saya juga mengusulkan untuk ditempatkan admin khusus Humor, sama seperti halnya admin Fiksi. Sehingga nantinya bisa terus mengisi kekosongan sambil menunggu populasi mereka berkembang biak, eh bertambah banyak (Hahahaha...)
Saya yakin jika saja ada tempat khusus Humor -seperti penulis Fiksi- maka penulis Humor juga akan banyak lagi yang berdatangan di Kompasiana, dan itu akan membuat Kriko jauh lebih riuh dari sekarang. Sekali lagi, setelah melihat keriuhan di lapak mbak Desol dan Bang Peb, mungkin ide ini bisa di realisasi...
*Catatan :
***Penulis Humor mempunyai kemampuan khusus yang tidak dimiliki oleh penulis lainnya. Mereka bisa merangkai kata ke dalam kalimat atau gambar yang ringkas dan ringan namun bisa memberi arti yang sangat dalam. Mereka bisa menyentil sangat tajam tanpa perlu banyak kata.
***Jauh berbeda dengan menulis opini yang menurut saya bisa dengan cepat dipelajari, menulis Fiksi dan Humor harus punya bakat tersendiri. (saya menyebut penulis Fiksi adalah Seniman yang bisa merangkai kata kata indah).
Saya yakin penulis Fiksi dan penulis Humor sangat bisa menulis opini, tapi saya tidak yakin penulis opini bisa menulis Fiksi maupun Humor!!!
***Penulis Fiksi masih banyak yang terus menulis di Kompasiana dan sudah sering berinteraksi, namun jangan sampai Kompasiana kehilangan keceriaannya ketika penulis Humor sudah tidak ada.
Salam Damai...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H