Jum'at siang kala itu
Selepas dari masjid samping kos
Aku bergegas menuju ke sebuah tempat
Begitupun awan yang cerah itu, bergegas pergi meninggalkan kota Solo
Hujan sempat membasahi sekujur tubuhku, sampai menghalangi penglihatan ku
Aku sempat berfikir, kenapa Tuhan menghalangi kebahagiaan ku
Ada tempat berteduh tak jauh didepan sana
Dengan jas hujan di badan, aku melanjutkan perjalanankuÂ
Tak lama dari situ, aku sampai di rumah seorang wanita, namun itu bukan tujuankuÂ
Wanita dengan rambut di atas bahu dengan matanya yang bulat, bulu alisnya yang hitam pekatÂ
Di tambah tangannya seputih salju, dagunya yang lancip membuatku tak henti-hentinya memandangi wajah cantiknyaÂ
Tak lama kemudian, secangkir kopi hangat datang di depanku, yang dibuat dari tangan wanita ituÂ
Sembari menunggu hujan bosan membasahi, aku menikmati setiap ucapan yang keluar dari wanita itu
Mimik wajahnya yang cantik membuat ku larut di lautan senyumannya
Sampai hujan pun bergerak pergi tak sanggup melihat kecantikannya
Aku melanjutkan perjalanan bersama wanita itu, dengan air yang masih menggenang di jalanan
Kami menikmati obrolan disetiap perjalanan diatas ketinggian 1000 MDPL.
Angin pun sepertinya cemburu dengan kedatangan kita
Tak henti-hentinya angin menghembuskan badai kearah kami
Seolah-olah memberikan pertanda bahwa kami harus segera meninggalkan tempat itu
Kami pun menangkap sinyal itu dengan datangnya segerombolan orang yang menyuruh kita turun dari ketinggian ituÂ
Setelah hampir kami meninggalkan ketinggian itu, aku baru menyadari bahwasanya tujuan yang indah itu disaat aku sampai di rumah wanita itu.Â
Ternyata suatu yang indah itu bukan hanya yang bisa dilihat dari mata, tapi kita bisa merasakannya dari semua indra yang ada. Dan aku bisa merasakannya di saat aku dekat dengan wanita itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H