"Mengapa kita mengirim kode lewat surat kabar?" tanya Lao.
"Kamu 'kan penulis cerita pendek?"
~
Aku ingat beberapa tahun yang lalu, tidak lama setelah keluar dari klinik psikiatri, pergi mengunjungi Lao, temanku yang lebih dulu gila dan masih berobat jalan. Saat itu aku benar-benar bangkrut dan di perjalanan ketika turun dari mobil menuju jembatan gantung yang bakal melewati sungai, aku berharap punya dua ratusan ribu setiap bulan dari kerja apalah serabutan. Mungkin agar mampu membawakan Lao sesuatu semisal Silver Queen dan Greensands. Aku memikirkan itu sambil menapaki alas jembatan yang tidak stabil dan terus berjalan. Pertanyaanku sekarang ialah mengapa dulu aku tidak minta lebih? Sekitar 600 juta barangkali. Aku harus menjenguk kawanku lagi dan mengulangi doa. Masalahnya, orang tua Lao tampak tidak begitu suka padaku, termasuk tetangga mereka. Tentu bapak dan ibu Lao ingin teman putranya seorang yang lebih waras. Tetapi, mereka patut bersyukur Lao masih punya teman dan sering berkunjung. Aku datang paling banyak dua kali setahun (Idul Fitri dan Idul Adha). Teman macam apa aku?
Ponsel bergetar tanpa dering, hanya suara meja, cukup membuat Z terbangun. Suara bel pintu depan juga pasti terdengar. Aku di balkon persis di muka kamarnya.
"Akhirnya, Lao buka pintunya, cepat!"
Ponselnya langsung dimatikan. Lao berbaring lagi di atas spring bed. "Mau apa dia?" Begitu jelas terdengar di balik dinding tripleks.
Beberapa menit kemudian bel berbunyi lagi dan pintu dibuka.
"Saya seperti orang gila di sini."
"Mungkin."
Lao tersenyum sambil memegang wajah kantuknya. Aku masuk tanpa dipersilakan.