Pragmatisme Mahasiswa di Era Kapitalisme: Idealisme yang Terkikis?
Mahasiswa telah lama dianggap sebagai agen perubahan sosial, simbol perlawanan terhadap ketidakadilan, dan penjaga nilai-nilai kebenaran. Dalam sejarah Indonesia, mahasiswa memainkan peran penting dalam berbagai momentum perubahan, seperti menggulingkan pemerintahan otoriter pada era reformasi 1998. Namun, fenomena yang berkembang di era kapitalisme global menunjukkan pergeseran nilai di kalangan mahasiswa. Sebagian besar dari mereka kini lebih mengutamakan pragmatisme, yang berorientasi pada keuntungan pribadi dan hasil instan, daripada memperjuangkan idealisme yang bersifat kolektif.
Kapitalisme modern, dengan segala daya tarik materialismenya, telah menyusup ke dalam pola pikir mahasiswa. Sistem ini tidak hanya memengaruhi cara mereka berpikir, tetapi juga mengubah orientasi hidup mereka. Jika dahulu mahasiswa adalah kelompok yang mengutamakan perjuangan sosial, kini banyak di antara mereka yang lebih peduli pada kebutuhan individu, seperti membangun karier, menjaga citra diri di media sosial, dan mengejar gaya hidup konsumtif.
Pergeseran ini tidak terlepas dari budaya konsumerisme yang diciptakan oleh kapitalisme global. Mahasiswa kini hidup di tengah-tengah gempuran iklan, media sosial, dan tren gaya hidup yang membuat mereka terus-menerus merasa perlu memiliki barang-barang tertentu agar dianggap relevan. Smartphone terbaru, pakaian bermerek, atau liburan mewah menjadi simbol status yang tidak lagi dianggap sebagai kemewahan, melainkan kebutuhan. Sayangnya, tekanan ini membuat mereka lebih sibuk memenuhi kebutuhan pribadi daripada memikirkan peran sosialnya.
Sistem pendidikan di era kapitalisme juga berkontribusi besar terhadap fenomena ini. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat pembentukan intelektual kritis, kini lebih berorientasi pada pasar. Kurikulum dirancang untuk memenuhi kebutuhan industri, sehingga lulusan memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan kerja. Akibatnya, nilai-nilai idealisme sering kali terabaikan. Mahasiswa lebih diarahkan untuk mengejar gelar yang "menguntungkan secara ekonomi" daripada menjadi insan yang peduli terhadap masyarakat.
Teknologi digital semakin memperparah keadaan. Media sosial, yang awalnya menjadi alat komunikasi dan ekspresi, kini berubah menjadi arena kompetisi personal branding. Banyak mahasiswa yang menghabiskan waktu untuk membangun citra diri di media sosial demi popularitas. Mereka lebih peduli pada jumlah "likes" dan "followers" daripada memperjuangkan perubahan nyata dalam masyarakat.
Pragmatisme ini terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan mahasiswa. Salah satu contohnya adalah apatisme terhadap isu-isu sosial. Banyak mahasiswa yang enggan terlibat dalam diskusi kritis atau aksi demonstrasi karena takut merusak peluang karier di masa depan. Gerakan sosial yang dahulu menjadi ciri khas mahasiswa, kini perlahan kehilangan daya tariknya. Bahkan, organisasi mahasiswa yang seharusnya menjadi pusat pergerakan sosial, sering kali diwarnai oleh politik transaksional yang berorientasi pada keuntungan pribadi.
Dampak dari pragmatisme ini sangat signifikan. Peran mahasiswa sebagai agen perubahan melemah. Suara kritis yang seharusnya menggema di tengah masyarakat semakin jarang terdengar. Mahasiswa yang seharusnya menjadi pelopor perubahan, kini lebih sibuk mengejar kesuksesan individu. Fenomena ini menciptakan kesenjangan sosial di kalangan mahasiswa, di mana mereka yang berasal dari kelas ekonomi atas memiliki akses lebih besar terhadap peluang, sementara yang kurang mampu semakin terpinggirkan.
Namun, pragmatisme tidak selalu buruk. Dalam konteks tertentu, pragmatisme dapat membantu mahasiswa menghadapi tekanan hidup dan memanfaatkan peluang yang ada. Masalahnya adalah ketika pragmatisme ini mengikis nilai-nilai kolektif dan idealisme yang seharusnya menjadi ciri khas mahasiswa.
Untuk mengatasi masalah ini, perguruan tinggi perlu mengambil langkah konkret. Pendidikan karakter berbasis nilai harus menjadi bagian dari kurikulum. Mahasiswa perlu diajarkan pentingnya solidaritas, kepedulian sosial, dan semangat perubahan. Selain itu, organisasi mahasiswa harus direvitalisasi agar kembali menjadi pusat pergerakan sosial yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Diskusi kritis tentang isu-isu sosial dan politik juga perlu digiatkan kembali di kampus. Mahasiswa harus diberi ruang untuk menyuarakan pendapatnya dan terlibat dalam perubahan sosial. Kolaborasi dengan komunitas lokal dan lembaga swadaya masyarakat dapat menjadi sarana yang efektif untuk mempraktikkan nilai-nilai idealisme secara nyata.
Kapitalisme mungkin tidak dapat dihindari, tetapi mahasiswa tetap memiliki pilihan untuk menentukan arah hidupnya. Dengan kesadaran dan usaha yang tepat, pragmatisme tidak perlu mengorbankan idealisme. Mahasiswa tetap dapat menjadi agen perubahan yang relevan dengan kebutuhan zaman, tanpa kehilangan nilai-nilai keadilan, solidaritas, dan kebangsaan.
Di tengah arus kapitalisme global, mahasiswa harus mengingat kembali perannya sebagai pilar perubahan. Mereka bukan sekadar individu yang mengejar keuntungan pribadi, tetapi juga bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab untuk menjaga dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Pragmatisme boleh saja menjadi bagian dari strategi hidup, tetapi idealisme harus tetap menjadi jiwa perjuangan. Dengan demikian, mahasiswa dapat menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan identitasnya sebagai penggerak perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H