media sosial di era digital 4.0, dengan konteks masyarakat yang telah mencapai era Society 5.0, menjadi semakin pesat dan melahirkan produk teknologi beragam. Di Indonesia sendiri, media sosial bahkan telah dianggap sebagai media untuk mendapatkan informasi yang utama dan terfaktual.
PerkembanganSeperti halnya media Twitter, media sosial yang baru saja diakuisisi oleh Elon Musk ini sudah berkembang sangat lama di Indonesia. Eksistensinya pun telah menunjukan karakteristik sebagai tempat “freedom of speech” dengan berbagai konteks sosial, politik, dan budaya.
Melihat fenomena penggunaan media sosial, akhirnya sejak beberapa tahun silam beragam stakeholder termasuk pemerintah mencoba memanfaatkan media sosial seperti Twitter untuk dapat berkomunikasi secara langsung dengan publik. Lalu karena penggunaan media sosial sudah menjadi sangat normal, kebiasaan masyarakat dalam mencari informasi dari sumber primer dengan cepat kemudian mengarah pada pemanfaatan media serupa.
Berbeda halnya dengan media sosial seperti Facebook (FB) dan Instagram (IG). Kedua media sosial ini sebenarnya lebih mengutamakan perluasan koneksi dan jaringan, ditambah dengan aspek pembangunan citra diri yang sering kali terjadi pada kedua media sosial tersebut.
FB dan IG juga telah cukup lama berkembang dan digunakan dalam keseharian masyarakat di Indonesia. Namun berdasarkan hasil penelitian terakhir, disebutkan bahwa FB memiliki pengguna yang mayoritasnya merupakan Generasi X dan Boomers, sedangkan IG dinilai lebih variatif termasuk Generasi Y dan Z (Howe, 2023). Setiap media sosial memang memiliki karakter tersendiri, dan hal ini mempengaruhi pasar penggunanya, termasuk perilaku dan budaya yang tercipta di dalam media sosial tersebut.
Berbicara tentang media sosial dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, beberapa tahun terakhir masyarakat kembali dipuaskan dengan kehadiran media sosial baru yang lebih atraktif dan dinamis, yaitu TikTok. Media sosial yang merupakan produk kembangan perusahaan asal China ini, sejak 2019 mulai memasuki pasar pengguna Indonesia khususnya di kalangan Generasi Z (Gen Z).
TikTok termasuk ke dalam jenis media sosial yang menyuguhkan audiovisual (biasa dikenal dengan VT atau Video TikTok) dengan algoritma baru dan bisa dinilai cukup efektif. Merebaknya isu terkait data privacy yang sempat ramai terhadap penggunaan FB dan IG, menjadikan platform TikTok sebagai pembaharuan yang seakan-akan terasa “lebih aman”, padahal yang sebenarnya terjadi belum tentu demikian. Tapi tidak bisa dihindari, bahwa menurunnya keamanan dan kepercayaan pengguna kepada media sosial tertentu, dapat memberi keuntungan bagi media sosial lain seperti yang terjadi diantara ketiga media sosial ini.
TikTok memiliki karakter yang berbeda dengan media sosial populer sebelumnya. Jika FB dan Instagram cenderung membutuhkan koneksi atau relasi pertemanan, dalam media sosial TikTok hal ini tidak menjadi suatu keharusan. Setiap pengguna dapat menikmati konten VT tanpa harus berelasi dengan siapapun atau bahkan tanpa harus menunjukan profil diri mereka.
Oleh karena itu, banyak pengguna yang akhirnya memanfaatkan media sosial ini sebagai platform komunikasi pemasaran, seperti dalam strategi campaign atau promosi mereka (Rugova & Prenaj, 2016). Selain itu, TikTok juga memiliki siklus tren yang lebih cepat. Artinya, sebuah konten dapat dengan sangat cepat menjadi viral namun juga akan sangat cepat menurun.
Tempo penggunaan yang lebih dinamis inilah yang turut memberi pengalaman yang dirasa tidak membosankan terhadap pengguna, karena dalam TikTok pengguna akan selalu menemukan hal-hal baru disetiap waktunya. Kemudian pasar TikTok semakin meluas pada tahun 2020, dimana saat lockdown COVID-19 sedang berjalan. TikTok banyak digunakan karena memiliki karakteristik media sosial yang cocok sebagai distraksi di masa jaga jarak tersebut, hingga akhirnya berhasil memasuki pasar baru yaitu Generasi Y.
Sebagai digital native, Generasi Z dapat beradaptasi lebih cepat terhadap perubahan khususnya di bidang teknologi. Masuknya media sosial TikTok di Indonesia membuat Generasi Z menjadi yang pertama untuk menguasai platform Gen Ztersebut. Dengan kemahiran Gen Z di bidang teknologi membuat mereka tidak bisa lepas dari ponsel maupun internet—pada kasus ini dari media sosial. Tumbuh di era teknologi maju memiliki dampak bagi Gen Z yang dikenal sebagai generasi pemilik indeks kecemasan yang tinggi (Rizaty, 2023).
Terdapat banyak faktor dibalik meningkatknya masalah mental pada Gen Z, mulai dari lingkungan akademik dan pekerjaan yang lebih kompetitif karena cepat berkembang membuat Gen Z tidak bisa lengah apabila tidak ingin tertinggal. Tingginya fenomena mental health yang dialami oleh Generasi Z dapat disebabkan oleh lamanya waktu yang dihabiskan untuk berselancar di media sosial, khususnya pada TikTok.
Melihat bahwa TikTok memiliki sistem algoritma yang bisa secara cepat membaca interest pengguna secara real time dan berganti lagi dalam beberapa waktu, membuat banyak Generasi Z yang menggunakan TikTok sebagai alat untuk menghabiskan waktunya. Semakin lama manusia terpapar konten yang terdapat di media sosial, semakin jauh mereka dari dunia nyata.
Sikap adiktif yang timbul dari penggunaan media sosial yang eksesif merupakan bentuk dari efek biologis manusia yang mana dalam penggunaannya dapat meningkatkan hormon kebahagiaan yang berada di otak atau dopamine. Hal ini membuat pengguna menjadi candu karena ingin terus untuk mendapatkan sensasi kebahagiaan yang dirasakan sebagai jalan keluar untuk menghindari permasalahan yang sebenarnya (Macit et al., 2018).
Dopamine merupakam hormon yang biasa dikaitkan dengan sensasi menyenangkan, bersamaan dengan serotonin, hormon yang berperan penting dalam memperbaiki suasana hati. Dopamine dan serotonin adalah tujuan untuk pengguna dapatkan ketika menggunakan sosial media.
Namun, semua itu hanyalah sebuah ilusi atau bersifat sementara (Burhan & Jalal Moradzadeh, 2020). Hal ini menjadi sebuah boomerang karena tingkat kecemasan itu sendiri akan naik lagi apabila pengguna berhenti menggunakan media sosial TikTok untuk sejenak—maka terjadinya penggunaan media sosial secara terus-menerus. Karena untuk mendapatkan hasil yang lebih permanen, dopamin dan serotonin perlu diupayakan melalui kegiatan yang menjaga pola hidup seperti berolahraga dan mengonsumsi makanan sehat.
Jika dilihat dari aspek fungsinya, TikTok merupakan sebuah media yang sangat bermanfaat karena memiliki berbagai jenis informasi. Apabila pengguna—khususnya Gen Z mengupayakan self-control yang baik dan dapat memaksimalkan kegunaannya, TikTok dapat menjadi sebuah media untuk membantu produktivitasnya, bukan sebaliknya.
Terlepas dari peran TikTok dan kalangan Gen Z, pengaruh media sosial terhadap kehidupan masyarakat secara umum memang sudah saatnya lebih diperhatikan dari aspek kuantitas penggunaannya. Sebab, mental illness tidak hanya terjadi pada Gen Z (Bestari, 2023) dan tidak hanya dipicu oleh media sosial saja, tetapi bisa terjadi pada siapapun dan dipicu oleh media apapun.
References
Bestari, N. P. (2023). Medsos Ganggu Mental Gen Z, Warga RI Termasuk Parah. CNBC Indonesia. https://www.cnbcindonesia.com/tech/20230502092825-37-433615/medsos-ganggu-mental-gen-z-warga-ri-termasuk-parah
Burhan, R., & Jalal Moradzadeh, and. (2020). Neurotransmitter Dopamine (DA) and its Role in the Development of Social Media Addiction. Journal of Neurology & Neurophysiology, 2020(7), 507.
Howe, S. (2023). Social Media Statistics for Indonesia [Updated 2023]. Meltwater. https://www.meltwater.com/en/blog/social-media-statistics-indonesia
Macit, H. B., Macit, G., & Güngör, O. (2018). A RESEARCH ON SOCIAL MEDIA ADDICTION AND DOPAMINE DRIVEN FEEDBACK. Mehmet Akif Ersoy Üniversitesi İktisadi ve İdari Bilimler Fakültesi Dergisi, 5(3), 882–897. https://doi.org/10.30798/makuiibf.435845
Rizaty, M. A. (2023). Survei: Gen Z Paling Banyak Merasakan Masalah Kesehatan Mental. DataIndonesia.Id. https://dataindonesia.id/varia/detail/survei-gen-z-paling-banyak-merasakan-masalah-kesehatan-mental
Rugova, B., & Prenaj, B. (2016). Social Media as a Marketing Tool: Opportunities and Challenges. Indian Journal of Marketing, 2(3), 85–97. https://doi.org/10.17010/ijom/2017/v47/i3/111420
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H