Mohon tunggu...
Eriza Fudlah
Eriza Fudlah Mohon Tunggu... Bankir - karyawan swasta

Ordinary people but have great dream n wish..

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anomali (II)

5 November 2012   08:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:57 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memang benar-benar negeri Anomali

Di tengah-tengah perekonomian dunia yang memburuk dan tidak berkembang

Namun Indonesia, negeri yang saya selalu kritisi namun tetap saya cintai, perekonomiannya tetap tumbuh.

Hari ini, BPS mengumumkan Ekonomi Indonesia pada triwulan III-2012 tumbuh sebesar 6,17 persen jika dibandingkan periode sama tahun lalu. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi kuartal III dibandingkan kuarta II-2012 tumbuh sebesar 3,21 persen.

Beberapa hari lalu Legatum Institute menyatakan tingkat kemakmuran negara kita ini naik 7 level ke posisi 63 dari 144 negara di dunia. Hal ini dipicu kuatnya daya tarik Asia Tenggara di mata investor dunia. (*sumber: www.bisnis.com)

Indeks Kemakmuran Legatum menentukan tingkat kesejahteraan yang dinilai dalam delapan kategori yang berbeda, yakni ekonomi, pendidikan, kesempatan dan kewirausahaan, pemerintahan, kesehatan, kebebasan pribadi, keamanan, dan kekeluargaan. Legatum Institute adalah sebuah badan pene¬lian kebijakan publik yang bermarkas di London.

Ada benang merah yang saya lihat dari pujian atau apapun istilahnya dari hasil riset dan apapun istilahnya. Masih tingginya pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang kuatnya konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tumbuh 5,1 persen pada kwartal III 2012, sementara investasi tumbuh 10,9 persen. Kalau saya boleh mengartikan, Indonesia adalah negara konsumtif.

Masih ingat pada tahun 1993? Saat itu, Bank Dunia  pernah menyebut Indonesia sebagai ‘Macan Baru Asia’. Selanjutnya menjelang beberapa bulan sebelum era reformasi, Bank Dunia kembali memuji perekonomian Indonesia dalam sebuah laporan bertajuk: Indonesia, Sustaining Growth with Equity.

Namun dalam hitungan bulan, pujian Bank Dunia itu bagaikan kalimat yang dikutip dari scenario film atau sinetron. Ternyata fundamental perekonomian Indonesia sangat rapuh dan tidak ‘kinclong’ seperti yang dinyatakan oleh statistik-statistik lembaga internasional itu.

Contoh kongkrit, ketika kita jalan ke Grand Indonesia, Plaza Indonesia, dua mall yang sungguh megah dengan isi outlet atau merchant yang menawarkan barang-barang branded. Bahkan seorang Paris Hilton pun mempercayai outlet dagangannya buka di Grand Indonesia. Kesemuanya itu menunjukkan, Indonesia adalah negara  yang “potensial”.

Kenapa kata “potensial”? Karena yang saya maksud potensial disini adalah konsumtif. Lihat betapa laris manisnya Iphone, Blackberry, dan android yang harganya terbilang bukan murah di Indonesia.

Tapi…

Mari kita berjalan kaki sedikit terus beberapa ratus meter ke arah belakang, tepatnya setelah kali atau sungai yang terletak di belakang Plaza Indonesia. Di sana kita bisa melihat betapa perekonomian Indonesia memang tumbuh namun tidak untuk semua rakyat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Anomali?

Anomalikah jika pertumbuhan Indonesia secara kumulatif, hingga triwulan III-2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,29 persen. Namun masih banyak rakyat yang kelaparan? Rakyat yang tidak bisa menikmati pendidikan karena tak sanggup membayar uang sekolah. Bahkan di era modern seperti ini, masih ada rakyat yang tak mendapatkan aliran listrik.

Uang sekolah gratis. Ya! Tapi siswa mesti membayar uang sumbangan wajib, sumbangan sukarela, uang seragam, uang POMG, uang bangunan, uang buku, dan uang yang bernama lain selain SPP. Orang tua lebih memilih meng-kuliahkan anaknya ke kampus swasta yang mutunya belum tentu bagus. Karena kampus seperti UI, ITB, UGM dan kampus negeri lainnya sungguh mahal hingga tak terjangkau oleh rakyat biasa.

Saat ini, masih banyak rakyat yang memilih pergi ke ‘orang pintar’ ketimbang ke dokter karena mahalnya biaya kesehatan. Kartu miskin untuk kesehatan ‘gratis’ tidak mudah dan murah di dapat. Seandainya dapat dibuat tak gampang dipergunakan. Sungguh ironis.

BBM disubsidi. Sementara subsisidi pendidikan dan kesehatan sungguh kecil. Pemerintah justru memilih mensubsidi orang kaya melalui subsidi BBM.

Anomali?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun