Mohon tunggu...
MIKAEL MILANG
MIKAEL MILANG Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Berita Mahulu

Seorang Jurnalis didaerah Pelosok Kalimantan Timur, Mahakam Ulu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku Adalah Dia Bab 1

24 April 2024   21:56 Diperbarui: 24 April 2024   22:08 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andre, seorang anak kecil dari kampung itu/dokpri

Namaku adalah Andre aku  berasal dari salah satu desa yang terisolir didaerah pedalaman Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan negara tentangga, Malaysia. Papa dan mamaku berasal dari keluarga yang sederhana dan keseharian mereka bekerja sebagai petani. Ya, aku terlahir sebagai seorang anak petani.

Kami sangat bahagia dengan kehidupan kami yang sederhana walapun kami hanya makan berlaukkan sayur daun singkong saja kami merasa makanan itu sangatlah istimewa karena kami diajarkan oleh kedua orang tua yang selalu bersyukur setiap harinya.

Saat lulus SMP aku dibawa bibiku tinggal bersamanya dan melanjutkan sekolah di SMA karena jarak desa tempat tinggalku dengan sekolah sangatlah jauh sehingga kedua orangtuaku memutuskan untuk menitipkanku bersama bibi.

Keseharianku sepulang sekolah menjajakan kue dagangan buatan bibi. Awalnya aku sangat merasa malu dan minder menjajakan kue lantaran aku anak laki-laki yang beranjak remaja apalagi berstatus sebagai pelajar SMA. Tapi, papa pernah berpesan bahwa tidak boleh minder ataupun malu saat berjualan karena kita tidak mencuri, katanya, yang selalu terngiang diingatanku sehingga aku bertekad untuk menjadi anak yang ber-mental.

Pada suatu hari aku berjualan kue dipasar yang agak sedikit jauh dari rumah bibi, aku bertemu dengan anak tetangga didesaku yang melanjutkan sekolahnya dikota kecil didaerahku, namanya Robi.

Robi adalah teman sekelasku waktu masih di SMP, dia teman yang baik dan tidak pelit. Tapi karena ia bersekolah dikota membuat sikapnya agak sombong dan kekotaan padahal semenjak bersama-sama didesa, kami sering ke kebun papa dan mama untuk mencabut singkong untuk digoreng dan dimakan.

Entahlah, sikapnya begitu dingin bahkan dia seolah tidak ingin mengenalku apalagi dia melihat aku menjajakan kue bahkan dia berusaha menjauh karena dia tidak ingin aku mendekatinya.

Ada beberapa teman laki-laki bersamanya, nampaknya mereka adalah segerombolan anak orang kaya, berpakaian necis dan terlihat memborong banyak barang yang dibelanja.

“Robi,” kataku. Robi hanya melangkah memandangku seolah tidak mengenalku, tapi temannya yang disampingnya menoleh kearahku dan memberikan isyarat kepada Robi kalau aku memanggilnya, Robi berusaha melangkah agak cepat dan berkata kepada temannya tersebut, “Ayo, itu anak tetanggaku waktu dikampung, dia anak orang miskin dan dia sering menawarkanku kue yang dia jajakan”.

Aku tersentak seakan tidak percaya apa yang telah diucapkan oleh sahabatku ini, aku langsung menyadari seketika bahwa dia merasa malu memiliki teman sepertiku.

“Oh, iya aku hanya ingin menawarkan kue siapa tau ingin beli,” kataku sambil menunduk malu berjalan berlawanan arah dari mereka, aku mencari tempat yang agak sunyi, tak terasa air mataku menetes selain merasa tak percaya akan ucapan sahabatku yang sejak SD hingga SMP menjadi sahabatku yang kesehariannya aku tahu, tiba-tiba menjadi orang asing yang aku kenal.

Aku menangis bukan karena aku miskin tapi karena merasa terhina sebagai seorang sahabat. Jika orang yang tidak mengenalku melontarkan kata-kata hinaan, masih dapat ku terima. Tapi ini, adalah sahabat dekatku dikampung, kami berpisah baru saja 2 tahun karena harus menempuh pendidikan masing-masing.

“Jika dia sahabatku, dia tidak akan melukai perasaanku”, kataku masih tak percaya. Aku mengusap air mataku menggunakan kerah bajuku yang mulai kedodoran karena tidak mampu membeli baju yang baru untuk dipakai. Baju yang aku gunakan inipun baju bekas layak pakai sumbangan dari seorang misionaris gereja didesaku.

Aku coba melangkah kembali masuk pasar yang sedikit ramai dan berjualan disana, namun sial kakiku tersandung karung sayur-sayuran salah satu penjual dipasar tersebut.

Jajanan yang aku jinjing diatas kepalaku terjatuh dan bercampur lumpur tanah didalam pasar. Mataku membelalak dan mukaku memerah karena malu dilihat banyak orang, selain itu aku merasa takut dimarahi bibi lantaran membuatnya rugi karena kue yang aku jajakan semua terjatuh.

“Waduh nak, hati-hati”, kata seorang ibu paruh baya yang berusaha menolongku berdiri dan mengumpulkan kue daganganku. “Sini, ibu bantu kumpulkan kuenya, aduh kasihannya,” lanjutnya.

“Makasih bu, sudah membantuku, aku pamit pulang dulu ya, kuenya juga tidak bisa dijual lagi,” kataku dengan wajah yang lesu.

Tapi ibu itu bertanya aku berasal darimana, aku menceritakan bahwa aku berasal dari desa Mekar yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari pasar. Dia tersentak dan berkata, “Wah, jauhnya, jadi kamu berjualan dari desa Mekar ke pasar ini?” tanyanya.

“Tidak bu, aku tinggal bersama-sama dengan bibiku tidak jauh darisini sekitar 4 kilometer saja. Kue ini milik bibiku, dia pasti marah kepadaku karena aku sudah menjatuhkan kue ini dan belum sempat ada yang terjual,” kataku sambil menutup kotak daganganku.

Ibu itu memandangku dengan penuh iba. “Begini aja, ibu beli semua kue ini ya, biar kamu tidak dimarahi bibimu,” katanya. Sentak aku menolak dan berkata, “Tidak bu, jangan ini kesalahanku, kue ini juga sudah kotor”. Dia berusaha menenangkanku, “Tidak apa-apa nak, selain ibu membantumu, ibu juga menginginkan kue itu dan nanti ibu bersihkan dan menggoreng ulang,” kata ibu itu sambil berusaha memaksaku.

Aku tau ibu ini hanya merasa kasihan kepadaku karena selain kue jajananku yang kotor karena lumpur, pakaianku pun dipenuhi lumpur. Usahaku sia-sia untuk menolak niat baik ibu ini, akhirnya akupun menurutinya walaupun dengan berat hati.

Dalam perjalanan pulang, aku berpikir didalam hati dan bertekad untuk menjadi orang yang sukses kelak. Sesampainya dirumah, bibiku terkejut melihatku berlumur lumpur, ia berusaha meraih tanganku dan bertanya tentang keadaanku, aku berusaha menjelaskan apa yang terjadi kepadaku dan menyerahkan uang hasil dagangan tapi tidak menceritakan apa yang dilakukan oleh perempuan paruh baya yang telah menolongku waktu masih dipasar.

Aku mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Saat membersihkan badan, kata-kata Robi masih terngiang jelas ditelingaku. Kembali aku menangis dan juga masih belum percaya bahwa dia itu adalah sahabatku.

Tok…tok..tok, “Andre, kamu baik-baik sajakan?” tanya bibiku didepan kamar mandi sambil mengetok.

Rupanya dia cemas karena aku terlalu lama didalam kamar mandi dan terlihat aneh baginya melihat tingkahku yang seperti terjadi seuatu.

“Kamu baik sajakan, bibi merasa aneh dengan sikapmu hari ini, selain kamu pulang dengan lumpur, kamu juga terlihat bersedih. Apakah kamu diganggu oleh orang?” tegas bibiku dengan hati-hati sambil melihat wajahku yang masih terlihat sedih.

“Mengapa matamu merah,” lanjutnya. Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan semuanya ini terhadap bibiku, lagipula dari awal bibiku sudah banyak bertanya tentang apa yang aku alami.

Aku menceritakan semuanya kepada bibi dengan mata berkaca-kaca, saat aku menoleh kearah bibiku, aku kaget karena sejak aku cerita tentang hubungan persahabatanku dengan Robi hingga aku terjatuh menjajakan kue dan ditolong oleh seorang ibu yang baik hati, rupanya bibiku dengan seksama mendengar ceritaku dan ikut menangis setelah aku selesai bercerita.

Bibi memelukku dia mencium pipiku dengan kasih sayang, dia memberikan motivasi kepadaku dan menguatkan aku dengan kata-kata bijaknya. “Kelak, kamu akan menjadi orang sukses, janganlah melupakan jasa orang yang telah menolongmu, temanmu yang berlagak sombong terhadapmu, janganlah kamu membencinya, melainkan kamu berdoa untuknya agar ia menjadi pribadi yang tidak sombong lagi,” kata bibi menasehatiku.

“Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada bibi lantaran tidak memarahiku karena kue itu terjatuh. “Bibi tidak marah sama kamu, karena itukan kecelakaan, sekalipun orang yang menolongmu tidak membeli kue tersebut bibi tidak akan marah, justru bibi merasa bersalah mengapa ibu itu harus membeli kue yang sudah jatuh ditanah,” timpal bibi. “Ya, sudahlah, kamu istirahat ya, kamu tidak jualan dulu beberap hari ini, soalnya bibi dan paman besok ke kota untuk mengurus urusan paman.

“Baik bi,” jawabku sambil menuju kekamar dan beristirahat karena waktu sudah menunjukan pukul 9 malam.

---Satu Tahun Kemudian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun