Dalam perjalanan pulang, aku berpikir didalam hati dan bertekad untuk menjadi orang yang sukses kelak. Sesampainya dirumah, bibiku terkejut melihatku berlumur lumpur, ia berusaha meraih tanganku dan bertanya tentang keadaanku, aku berusaha menjelaskan apa yang terjadi kepadaku dan menyerahkan uang hasil dagangan tapi tidak menceritakan apa yang dilakukan oleh perempuan paruh baya yang telah menolongku waktu masih dipasar.
Aku mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Saat membersihkan badan, kata-kata Robi masih terngiang jelas ditelingaku. Kembali aku menangis dan juga masih belum percaya bahwa dia itu adalah sahabatku.
Tok…tok..tok, “Andre, kamu baik-baik sajakan?” tanya bibiku didepan kamar mandi sambil mengetok.
Rupanya dia cemas karena aku terlalu lama didalam kamar mandi dan terlihat aneh baginya melihat tingkahku yang seperti terjadi seuatu.
“Kamu baik sajakan, bibi merasa aneh dengan sikapmu hari ini, selain kamu pulang dengan lumpur, kamu juga terlihat bersedih. Apakah kamu diganggu oleh orang?” tegas bibiku dengan hati-hati sambil melihat wajahku yang masih terlihat sedih.
“Mengapa matamu merah,” lanjutnya. Kali ini aku tidak bisa menyembunyikan semuanya ini terhadap bibiku, lagipula dari awal bibiku sudah banyak bertanya tentang apa yang aku alami.
Aku menceritakan semuanya kepada bibi dengan mata berkaca-kaca, saat aku menoleh kearah bibiku, aku kaget karena sejak aku cerita tentang hubungan persahabatanku dengan Robi hingga aku terjatuh menjajakan kue dan ditolong oleh seorang ibu yang baik hati, rupanya bibiku dengan seksama mendengar ceritaku dan ikut menangis setelah aku selesai bercerita.
Bibi memelukku dia mencium pipiku dengan kasih sayang, dia memberikan motivasi kepadaku dan menguatkan aku dengan kata-kata bijaknya. “Kelak, kamu akan menjadi orang sukses, janganlah melupakan jasa orang yang telah menolongmu, temanmu yang berlagak sombong terhadapmu, janganlah kamu membencinya, melainkan kamu berdoa untuknya agar ia menjadi pribadi yang tidak sombong lagi,” kata bibi menasehatiku.
“Aku mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada bibi lantaran tidak memarahiku karena kue itu terjatuh. “Bibi tidak marah sama kamu, karena itukan kecelakaan, sekalipun orang yang menolongmu tidak membeli kue tersebut bibi tidak akan marah, justru bibi merasa bersalah mengapa ibu itu harus membeli kue yang sudah jatuh ditanah,” timpal bibi. “Ya, sudahlah, kamu istirahat ya, kamu tidak jualan dulu beberap hari ini, soalnya bibi dan paman besok ke kota untuk mengurus urusan paman.
“Baik bi,” jawabku sambil menuju kekamar dan beristirahat karena waktu sudah menunjukan pukul 9 malam.
---Satu Tahun Kemudian---