Mohon tunggu...
MIKAEL MILANG
MIKAEL MILANG Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Berita Mahulu

Seorang Jurnalis didaerah Pelosok Kalimantan Timur, Mahakam Ulu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Aku Adalah Dia Bab 1

24 April 2024   21:56 Diperbarui: 24 April 2024   22:08 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Oh, iya aku hanya ingin menawarkan kue siapa tau ingin beli,” kataku sambil menunduk malu berjalan berlawanan arah dari mereka, aku mencari tempat yang agak sunyi, tak terasa air mataku menetes selain merasa tak percaya akan ucapan sahabatku yang sejak SD hingga SMP menjadi sahabatku yang kesehariannya aku tahu, tiba-tiba menjadi orang asing yang aku kenal.

Aku menangis bukan karena aku miskin tapi karena merasa terhina sebagai seorang sahabat. Jika orang yang tidak mengenalku melontarkan kata-kata hinaan, masih dapat ku terima. Tapi ini, adalah sahabat dekatku dikampung, kami berpisah baru saja 2 tahun karena harus menempuh pendidikan masing-masing.

“Jika dia sahabatku, dia tidak akan melukai perasaanku”, kataku masih tak percaya. Aku mengusap air mataku menggunakan kerah bajuku yang mulai kedodoran karena tidak mampu membeli baju yang baru untuk dipakai. Baju yang aku gunakan inipun baju bekas layak pakai sumbangan dari seorang misionaris gereja didesaku.

Aku coba melangkah kembali masuk pasar yang sedikit ramai dan berjualan disana, namun sial kakiku tersandung karung sayur-sayuran salah satu penjual dipasar tersebut.

Jajanan yang aku jinjing diatas kepalaku terjatuh dan bercampur lumpur tanah didalam pasar. Mataku membelalak dan mukaku memerah karena malu dilihat banyak orang, selain itu aku merasa takut dimarahi bibi lantaran membuatnya rugi karena kue yang aku jajakan semua terjatuh.

“Waduh nak, hati-hati”, kata seorang ibu paruh baya yang berusaha menolongku berdiri dan mengumpulkan kue daganganku. “Sini, ibu bantu kumpulkan kuenya, aduh kasihannya,” lanjutnya.

“Makasih bu, sudah membantuku, aku pamit pulang dulu ya, kuenya juga tidak bisa dijual lagi,” kataku dengan wajah yang lesu.

Tapi ibu itu bertanya aku berasal darimana, aku menceritakan bahwa aku berasal dari desa Mekar yang terletak kurang lebih 20 kilometer dari pasar. Dia tersentak dan berkata, “Wah, jauhnya, jadi kamu berjualan dari desa Mekar ke pasar ini?” tanyanya.

“Tidak bu, aku tinggal bersama-sama dengan bibiku tidak jauh darisini sekitar 4 kilometer saja. Kue ini milik bibiku, dia pasti marah kepadaku karena aku sudah menjatuhkan kue ini dan belum sempat ada yang terjual,” kataku sambil menutup kotak daganganku.

Ibu itu memandangku dengan penuh iba. “Begini aja, ibu beli semua kue ini ya, biar kamu tidak dimarahi bibimu,” katanya. Sentak aku menolak dan berkata, “Tidak bu, jangan ini kesalahanku, kue ini juga sudah kotor”. Dia berusaha menenangkanku, “Tidak apa-apa nak, selain ibu membantumu, ibu juga menginginkan kue itu dan nanti ibu bersihkan dan menggoreng ulang,” kata ibu itu sambil berusaha memaksaku.

Aku tau ibu ini hanya merasa kasihan kepadaku karena selain kue jajananku yang kotor karena lumpur, pakaianku pun dipenuhi lumpur. Usahaku sia-sia untuk menolak niat baik ibu ini, akhirnya akupun menurutinya walaupun dengan berat hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun