Kita tidak bisa memungkiri tingginya suhu politik di Indonesia baru-baru ini. Kebanyakan kita secara rutin menerima, membaca, atau bahkan ikut membagikan beragam artikel, analisa, komentar, dan foto-foto yang bereaksi terhadap apa yang sudah (dan mungkin akan) terjadi di Indonesia. Mengurai persoalan politik di negara mana pun memang tidak sesederhana memperbaiki perangkat elektronik. Kita tidak bisa sekedar mencabut komponen tertentu, dan berharap dengan adanya komponen yang baru secara otomatis semua berjalan mulus. Terlebih lagi dengan negara yang alur sejarah dan tatanan masyarakatnya sekompleks Indonesia. Itu sebabnya, Michael Gerson dan Peter Wehner di dalam bukunya City of Man: Religion and Politics in a New Era mengatakan bahwa ketegangan politik adalah kompleksitas yang tak terhindarkan. Terlebih lagi begitu agama masuk ke dalam ketegangan itu maka ada dua bahaya yang mungkin terjadi: agama menjadi kendaraan untuk mencapai maksud politis, atau agama sama sekali lepas tangan tanpa mencari kesempatan untuk bertindak apa-apa.
Politik
Istilah politik berasal dari bahasa Yunani yakni polis yang berarti kota atau suatu Komunitas. Istilah lain dalam bahasa Yunani ialah politeia yang berarti warga. Jadi politik pada mulanya berarti suatu masyarakat yang berdiam di suatu kota. 11 Dalam mendefenisikan mengenai politik Oscar Cullman, yang dikutip oleh Gunche Lugo, membedakan antara politeia dan politeuma. Politeia berarti politik dalam arti merebut kekuasaan atau kedudukan dalam pemerintahan. Sedangkan politeuma adalah politik yang menekankan tegaknya nilai-nilai kerajaan Allah di dunia ini misalnya: keadilan, kebenaran, kesejahteraan dan mewujudkan peradaban baru yang mengangkat harkat dan martabat manusia sebagai gamar dan rupa Allah (Kej. 1:26-28). 12 Dalam teori politik modern, politik diasumsikan sebagai kekuasaan Negara, yang diwakili oleh partai politik untuk mewakili aspirasi masyarakat, khususnya dalam konteks Negara demokrasi. Dengan demikian dalam konteks Negara demokrasi, politik didefenisikan sebagai kekuasaan menduduki parlemen atau pemerintahan.
Saya sering mengartikan politik dalam dua pengertian. Pertama, sebagai kemampuan untuk hidup bersama dalam dan membangun polis (kota) di mana kita hidup di dalamnya dengan siapa pun. Dalam pengertian kedua, politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuatan politik (Belanda; politieke machtstrijd) Setiap partai politik tentu merumuskan tujuannya berpolitik, yaitu sebagai upaya mewujudkan kesejahteraan bersama (dan kesejahteraan anggota-anggotanya) Guna mencapai tujuan ini, maka program politik dirumuskan di mana kekuasaan dipakai untuk mencapainya. Diharapkan partisipasi masyarakat dalam pencapaian tujuan itu yang diindikasikan melalui persetujuan di dalam pemilihan umum.
Bagaimana gereja (baca; orang-orang Kristen) menginterpretasikan program politik yang ditawarkan oleh partai-partai politik? Andaikata program politik itu ditafsirkan sebagai ungkapan kasih terhadap sesama, di mana keadilan dan kesejahteraan bersama diperlihatkan, maka gereja bisa memahaminya sebagai juga ungkapan dari imannya. Maka terhadap program politik seperti ini, pantaslah gereja (dan anggotanya) ikut serta. Program politik itu sekaligus merupakan ukuran untuk menilai apakah suatu pemegang kekuasaan masih bertindak atas dasar itu, atau sudah menyimpang. Kalau menyimpang, maka gereja mesti memberikan teguran.
Apa yang dikatakan ini kedengarannya sederhana, tetapi di dalam prakteknya tidak sesederhana itu. Mengapa? Karena berpolitik membutuhkan ´seni´ yang tidak jarang bisa ke luar dari koridor moral dan etika (Kristen dan Politik) Kita teringat kepada ungkapan: "Tidak ada kawan dan atau seteru abadi dalam (ber)politik. Kawan hari ini, besok bisa menjadi lawan." Dan seterusnya. Memberikan bantuan kepada orang yang dilanda banjir, bisa merupakan tindakan kasih terhadap yang bermalapetaka. Ini bisa merupakan tindakan iman dari si pemberi bantuan. Tetapi apabila sebuah partai politik melakukan hal itu, apalagi dengan membawa bendera partai (dengan publikasi luas) maka hal itu bisa merupakan tindakan politik sebagai salah satu upaya memperoleh dukungan politik. Interesnya belum tentu merupakan pengungkapan iman, tetapi sungguh-sungguh bertujuan politik.
Di dalam berpolitik, paling tidak dibutuhkan hal-hal;
a. Prinsip-prinsip berpolitik,
b. Analisis terhadap situasi di mana prinsip ini dioperasionalisasikan,
c. Dugaan (prediksi) mengenai akibat dari operasionalisasi prinsip tersebut.
Tidak jarang pada prinsip-prinsip itu dikompromikan dengan ´pihak lain´ yang belum tentu selalu sejalan dengan apa yang dipikirkan semula. Bukan tidak mungkin pula apa yang dijanjikan dalam pemilu tidak bisa dilaksanakan sepenuhnya karena berbagai alasan. Maka dalam keadaan seperti ini gereja (dan umat Kristen) mesti sungguh-sungguh jeli menyiasati, apakah yang sedang berjalan itu sesuai dengan imannya atu tidak. Panggilan seorang politisi Kristen, dengan demikian tidaklah mudah dalam hal ini.
Iman
Mengenai iman, rasanya kita semua sudah memahaminya. Memang iman bukan sekedar persoalan pemahaman, tetapi penghayatan. Sebagai umat Kristen, kita beriman kepada Allah sebagaimana diungkapkan di dalam Yesus Kristus dan secara terus-menerus diaktualisasikan melalui perbuatan kita oleh bantuan Roh Kudus. Ini berarti bahwa perbuatan politik kita pun mestinya merupakan aktualisasi iman tersebut. Bagaimana? Karl Barth, dalam bukunya yang berjudul Rechtfertigung und Recht mengindikasikan bahwa kekristenan hanya mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap politik. Ia kurang lebih mengatakan; "Bukan dengan melakukan politik, tetapi dengan menjadi gereja pun, maka gereja telah melakukan politik." Bagaimana memahami ungkapan ini? Ini berarti gereja mestilah sungguh-sungguh gereja, committed terhadap panggilannya, sehingga ia terpercaya dan credible di tengah-tengah dunia di mana ia berada melalui pelayanan dan kesaksiannya. Apabila ia terpercaya , tidak dicurigai oleh lingkungannya, maka gereja telah ikut berpolitik, artinya telah ikut serta membangun polis di mana gereja berada.
Persoalannya adalah bahwa keadaan yang kita hadapi tidak selalu demikian. Ini bias ditinjau dari dua sudut pandang. Sudut pandang pertama, dari sudut pandang gereja, di mana gereja tidak selalu menduduki kedudukan ideal. Sebaliknya gereja juga dikondisikan secara historis. Jadi apa yang dianggap ideal hari ini sebagai ukuran dalam berpolitik, belum tentu besok akan tetap demikian, seperti juga halnya dengan keadaan yang dihadapi dahulu oleh jemaat pertama terhadap lingkungannya. Sudut pandang kedua, dari masyarakat, belum tentu gereja selalu dianggap sebagai partisipan penuh dalam membangun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ada saatnya ketika gereja, ketimbang mitra dianggap sebagai ´gangguan´ dalam kehidupan bersama.
Politik itu berbicara masalah tentang kebijakan untuk mencapai kebaikan. Politik itu tidak hanya berbicara tentang penyelenggaraan bangsa dan negara saja. Politik juga ada di dalam organisasi dan komunitas. Di dalam tingkat terkecil pun, manusia juga melakukan politik. Tingkat terkecil itu adalah keluarga. Dalam sebuah keluarga kecil, ada ayah, ibu, dan seorang anak. Ayah sebagai kepala keluarga, ibu sebagai pendamping ayah, dan anak sebagai anggota keluarganya.
Dalam keluarga, ayah, ibu, dan anak juga melakukan kebijakan. Setiap anggota keluarga memiliki tugas masing-masing. Ayah mencari nafkah untuk keluarga. Ibu mengurus urusan rumah tangga dan keuangan. Sementara itu, anak membantu ibu mengurus rumah tangga. Apabila ada kekurangan uang, ibu melakukan manuver dengan ikut mencari nafkah. Jadi, politik itu adalah tentang kebijakan dalam komunitas, organisasi, dan tingkat paling tinggi, yaitu negara.
Politik ada dalam semua lingkup, baik itu unsur-unsur liturgi dan keluarga. Namun, bukan begitu kita harus memegang kendali penuh atas politik atau kebijakan. Hal ini tentu akan membuat kita menjadi seorang yang diktator. Lalu, bagaimanakah kita melakukan sifat politik yang baik dan benar dalam tanggung jawabnya menurut etika Kristen? Berikut ini penjelasannya:
1. Pemimpin Tertinggi Alam Semesta itu Allah
Hai segala bangsa, bertepuktanganlah, elu-elukanlah Allah dengan sorak-sorai! Sebab TUHAN, Yang Mahatinggi, adalah dahsyat, Raja yang besar atas seluruh bumi. Ia menaklukkan bangsa-bangsa ke bawah kuasa kita, suku-suku bangsa ke bawah kaki kita. (Mazmur 47: 2-3)
Ini adalah hukum yang utama dan terutama. Pemimpin dan anggota sebuah komunitas tidak boleh mengabaikan hal ini. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Allah itu adalah penguasa atas surga dan dunia. Kita tidak boleh melupakan hal ini. Dalam melakukan kebijakan, anggota tidak hanya bertanggungjawab terhadap pemimpinnya di dunia, dia juga akan bertanggungjawab kepada Allah. Begitupula dengan pemimpin di dunia, segala perbuatannya tersebut juga harus dipertanggungjawabkan kepada Bapa sebagai pemimpin alam semesta yang bertahta di surga.
2. Kejujuran dalam Berpolitik
Kekayaan yang diperoleh dengan tidak jujur cepat hilang dan membawa orang ke liang kubur (Amsal 21:6)
Banyak orang yang melakukan aktivitas dengan tidak jujur. Kita tidak perlu berbicara tentang korupsi dalam pemerintahan. Contoh paling nyata adalah politik di dalam keluarga. Sebuah keluarga tentu juga memiliki keuangan dan dikelola oleh seorang ibu. Tidak jarang, ada anak yang rela membohongi ibunya untuk mendapatkan jajan lebih dengan alasan uang SPP naik dan uang buku. Namun ternyata, sang anak justru berfoya-foya dengan temannya.
Lho? Kenapa hal seperti itu dikatakan politik? Karena hal tersebut menyangkut kebijakan di dalam keluarga. Seperti yang sudah dijelaskan hubungan Iman Kristen dan politik di atas, politik itu berbicara tentang kebijakan. Sebuah kebijakan akan memengaruhi masa depan sebuah komunitas atau organisasi. Anak yang berbohong kepada ibunya itu tidak sadar kalau uang yang dipakai anaknya untuk berfoya-foya justru bisa dipakai untuk membeli keperluan lain, seperti alat makan, alat tulis, tidur, bahkan uang tersebut bisa saja ditabung untuk melakukan rekreasi keluarga.
3. Sosialisasi itu Penting
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.” (Amsal 17:17) Orang yang mencintai kesucian hati dan yang manis bicaranya menjadi sahabat raja. (Amsal 22:11)”
Dalam melakukan sebuah kebijakan, komunikasi adalah hal yang penting supaya kesalahan bisa diminimalisir. Seorang pemimpin akan tahu masalah yang dialami oleh anggotanya bila melakukan komunikasi yang intensif dengan anggotanya. Pemimpin juga merasa terbantu juga apabila anggota rajin memberikan saran yang baik dan efektif kepada pemimpinnya. Tanpa itu semua, hal tersebut tidak akan menyelesaikan masalah yang sedang terjadi. Masalah justru semakin rumit apabila tidak ada komunikasi yang terjadi di dalam sebuah komunitas atau organisasi.
4. Melayanilah dengan Ikhlas
“Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu; sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang.” (Matius 20:25-28)
Seorang pemimpin harus melayani anggotanya dengan baik. Meskipun begitu, bukan berarti hubungan Iman Kristen dan politik sebagai anggota harus duduk manis saja di bangku untuk dapat pelayanan dari pemimpin. Anggota sebuah komunitas atau organisasi tentu harus ikut membantu pemimpin dalam melakukan kebijakan. Contohnya adalah seorang pemimpin menginisiasi pembersihan sungai yang menjadi problem dalam masyarakat karena sungai tersebut menjadi sumber penyakit dan banjir. Masyarakat harus ikut antusias dengan gerakan yang diselenggarakan sang pemimpin dengan ikut membantu dalam membersihkan sungai baik dalam bentuk fisik dan materi. Toh, apa yang dikerjakan tersebut juga akan menguntungkan semua masyarakat sehingga terbebas banjir dan penyakit.
5. Jangan Bawa Nama TUHAN demi Kepentingan Pribadi
“Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut nama-Nya dengan sembarangan.” (Keluaran 20:7)
Banyak pihak yang menggunakan agama dan nama Tuhan demi kepentingan pribadinya saja. Kemunculan gereja-gereja dan aliran-aliran baru tidak jarang berujung kepada pengultusan. Pengultusan juga tidak jarang akan jatuh menjadi penyembahan berhala dalam iman Kristen. Contohnya adalah Lia Eden dan Joseph Smith dengan Kristen Mormon sesatnya. Hal ini dimanfaatkan hubungan Iman Kristen dan politik untuk memperkaya diri sendiri. Brand-brand pakaian juga sering menggunakan nama Tuhan dan agama. Tidak hanya itu saja, banyak pemimpin yang menggunakan agama dan nama Tuhan demi mendapatkan kekuasaan semata. Setelah kekuasaan didapatkan, mereka melupakan Tuhan. Hal ini sering terjadi dari tingkat negara sampai yang paling kecil, yaitu keluarga.
Mungkin, begitu sulit kita menerima fakta bahwa apa yang kita lakukan itu semuanya adalah politik. Politik itu adalah kebijakan. Apa yang kita lakukan akan mempengaruhi masa depan. Oleh sebab itu, berhati-hatilah dalam melakukan kebijakan karena apa yang kamu lakukan itu bisa saja merugikan orang lain dalam hukum tabur tuai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H