Aku hanya diam dan bernafas.
Ketika kemarau memang kurasa, haus dan terhempas.
Daratan kurang layak dengan retakan kering berbekas.
Tak bisa bohongi perasaan, aku tatap awan serupa lembutnya kapas.
Aku juga butuh siraman air.
Dari awan yang senantiasa membagi kandungan cair.
Membasuh sang daratan yang nyaris mencapai titik nadir.
Kekeringan, tak layak huni, dan hampir terusir.
Aku harus jujur pada waktu yang terus bergulir.
Awan.. adalah tempat daratan bernaung.
Mungkin takdirku adalah awan yang terjunjung.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!