Awan, memang hanyalah segerombol benda langit.
Gumpalan putih yang tak saling berhimpit.
Begitu gagah terpandang dari bukit.
Ingin ku intip sedikit.
Namun rasanya berbelit-belit.
Untuk apa aku mengikutinya.
Aku hanyalah daratan yang tak berarti apa-apa.
Membentang luas namun masih gersang adanya.
Tak ada tumbuhan yang berdiri tegak di atasnya.
Aku dan awan begitu jauh derajatnya.
Ia terjunjung tinggi di atas.
Aku hanya diam dan bernafas.
Ketika kemarau memang kurasa, haus dan terhempas.
Daratan kurang layak dengan retakan kering berbekas.
Tak bisa bohongi perasaan, aku tatap awan serupa lembutnya kapas.
Aku juga butuh siraman air.
Dari awan yang senantiasa membagi kandungan cair.
Membasuh sang daratan yang nyaris mencapai titik nadir.
Kekeringan, tak layak huni, dan hampir terusir.
Aku harus jujur pada waktu yang terus bergulir.
Awan.. adalah tempat daratan bernaung.
Mungkin takdirku adalah awan yang terjunjung.
Yang melindungiku dari teriknya cahaya matahari yang membumbung.
Meskipun jika terlalu menutupi, akhirnya mendung.
Namun, aku memang membutuhkan hujanmu, tak dapat ku bendung!
Memang tak bisa diterima akal.
Tapi.. memang awan adalah pilihanku dari awal.
Aku sangat menantikan jalinan benang cinta yang 'kan terpintal.
Antara awan dan daratan agar selamanya kekal.
Tak dapat kupungkiri, apa yang kurasakan padamu.. sang PROFESIONAL!
Nb : Untuk kau yang tak bisa bohongi perasaanmu sendiri. Jangan menghindar akan hal itu! Rasakanlah.. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H