Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tax Haven Country: Transparansi dan Pertukaran Informasi

11 April 2023   22:03 Diperbarui: 11 April 2023   22:49 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengelakan pajak atau yang lebih lazim disebut tax evasion merupakan suatu aktivitas penghindaran pembayaran kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh entitas, baik individu maupun badan usaha dengan sengaja. Berbeda dari penghindaran pajak atau tax avoidance yang terkesan lebih 'legal', tax evasion ini tergolong illegal atau dilakukan dengan melanggar aturan atau ketentuan pajak yang ada. Pelanggaran ini biasanya tidak hanya melibatkan sanksi adaministrasi namun juga sanksi pidana.

Pengelakan pajak tentunya bukan hal yang diharapkan karena aktivitas ini dapat menggerus basis pajak suatu negara. Matthias Wrede (1995) dalam penelitiannya berjudul Tax Evasion and Growth meneliti mengenai efek jangka panjang dari pengelakan pajak terhadap pajak atas pendapatan modal. Menurut penelitian tersebut, dalam jangka panjang pengelakan pajak dapat menurunkan tingkat akumulasi modal.

Sedangkan Allingham dan Sanmo (1972) dalam penelitian teoritisnya menyusun suatu model dimana alat kebijakan yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk menangkal tax evasion adalah tarif pajak, tarif sanksi, pengeluaran untuk pemeriksaan, yang akan menentukan kemungkinan bahwa aktivitas pengelakan pajak ini dapat terdeteksi.

Alih-alih menggunakan skema transaksi domestik yang lebih mudah terdeteksi, praktik tax evasion lebih sering memanfaatkan cross border transaction atau setidaknya melibatkan teritori pajak lain. Mengapa bukan skema domestik? Adanya asimetri informasi antarotoritas pajak memudahkan pengelak pajak untuk melakukan tax evasion. Seperti yang disampaikan oleh Allingham dan Sanmo (1972), bila probabilitas deteksi pengelakan pajak rendah maka Wajib Pajak cenderung untuk mengelak pajak.

Asimetri informasi ini terus menerus melebar karena tiap negara memiliki otoritas pajak dan ketentuan pajak domestik masing-masing. OECD (1998) dalam publikasinya berjudul Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue menyatakan bahwa salah satu penyebab dari rezim pajak dunia yang berbahaya adalah kurangnya transparansi dan kurangnya pertukaran informasi yang efektif.

Untuk bertukar informasi, otoritas pajak dipayungi oleh perjanjian dengan negara atau yurisdiksi mitra, baik melalui perjanjian bilateral maupun multilateral. Perjanjian bilateral yang dimaksud disini adalah tax treaty. Dalam judul P3B sendiri dicantumkan tujuan disusunnya perjanjian penghindaran pajak berganda tersebut. Selain ditujukan untuk menghindari pajak berganda, P3B juga dinegosiasikan dengan tujuan untuk mencegah pengelakan pajak. Salah satu cara yang tercantum dalam P3B tersebut adalah dengan pertukaran informasi untuk tujuan perpajakan atau exchange of information.

Namun, ada negara-negara yang dikenal memiliki transparansi yang rendah dan bahkan tidak mau melakukan pertukaran informasi perpajakan. Tax haven country atau surga pajak didefinisikan sebagai negara atau yurisdiksi yang memberikan tarif pajak yang cukup rendah bagi individu atau perusahaan asing yang masuk dengan iming-iming berupa pemberian keuntungan dengan beban pajak yang lebih rendah daripada negara asal yang sesungguhnya (negara domisili).

Tidak ada definisi yang jelas mengenai tax haven ini. Dan tidak ada parameter mutlak untuk suatu negara dapat dikategorikan sebagai tax haven. Beberapa organisasi di dunia memiliki kriteria tertentu tersendiri untuk menilai suatu negara sebagai surga pajak atau bukan. Bahkan daftar tax haven  ini dapat berubah dan diperbaharui setiap tahunnya. Negara manapun dapat masuk dalam kategori surga pajak. Sebagai contoh, salah satu indikator dari tax haven adalah kerahasiaan bank yang sangat kuat, seperti Swiss. Financial Secrecy Index (FSI) pada tahun 2022 mengukur efektivitas kerahasiaan data perbankan dan jumlah uang yang masuk ke negara-negara tersebut dalam kaitannya dengan pasar keuangan global dan didapatkan beberapa negara yang masuk dalam daftar teratas seperti Amerika Serikat di peringkat pertama dan Jerman di peringkat ke 7.

OECD (1998) menyebutkan beberapa faktor untuk mengidentifikasi suatu tax haven, diantaranya:

  • Tarif pajak yang cukup rendah atau bahkan 0%
  • Tidak adanya pertukaran informasi yang efektif
  • Tidak adanya transparansi
  • Tidak ada persyratan bahwa kegiatan bersifat substansial sehingga terkesan bahwa tax haven tersebut menarik dana hanya untuk motif pengelakan pajak atau menjadi tempat untuk 'memarkir' dana.

Seiring berjalannya waktu, OECD tidak lagi menggunakan kata tax haven dan menggantinya dengan unco-operative tax haven. Hal ini berkaitan dengan isu politis dimana tax haven sendiri ada yang telah berkomitmen untuk bekerjasama dalam transparansi perpajakan dan pertuakran informasi pajak. Negara-negara yang akhirnya mau bekerjasama akan dihilangkan dari daftar uncooperative tax haven tadi. Hingga akhirnya pada 2009 OECD sudah tidak memiliki daftar unco-operative tax haven. Organisasi lain seperti IMF dan European Union sampai saat ini masih terus mengeluarkan daftar negara-negara surga pajak.

Bagaimana hubungan Indonesia dengan negara-negara tax haven ini? Saat ini bahkan hampir semua tax haven country mau melakukan kerjasama perpajakan bilateral maupun multilateral. Perjanjian bilateral yang dilakukan Indonesia dengan beberapa negara tax haven ini diantaranya adalah dengan negara Belanda, Swiss, Singapura, dan HongKong. Beberapa tax treaty ini telah memasukkan klausul mengenai pertukaran informasi terutama untuk treaty dengan negara mitra yang baru dinegosiasi atau direnegosiasi.

Pada 2011, Indonesia telah melakukan perjanjian dengan beberapa yurisdiksi yang dikenal sebagai tax haven melalui suatu perjanjian yang disebut Tax Information Exchange Agreement (TIEA). Yurisdiksi tersebut antara lain Jersey, Isle of Man, Guernsey, Cayman Island, Bahamas, Costa Rica, Bermuda, San Marino, British Virgin Island dan Panama.

Saat ini pembahasan mengenai keterbukaan akses informasi perbankan untuk kepentingan perpajakan dan pertukaran informasi perpajakan yang efektif antarnegara atau yurisdiksi menjadi hal yang gencar diperjuangkan. Sehingga seharusnya tidak ada alasan lagi mengenai keterbatasan otoritas pajak untuk mendapatkan informasi dari luar negeri atau dari otoritas pajak negara mitra. Kendala selanjutnya adalah pengimplementasian pertukaran informasi tersebut, supaya subjek pajak yang mencoba menggeser harta dan penghasilannya ke tax haven country tidak menggerus basis pajak nasional terus-menerus.

Referensi:

Allingham, M.G. and Sandmo, A. (1972) Income Tax Evasion: A Theoretical Analysis. Journal of Public Economics, 1, 323-338

OECD (1998). Harmful Tax Competition: An Emerging Global Issue .

Wrede, M. (1995). Tax Evasion and Growth. Finnish Economic Papers, 8 (2), 82-90

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun