Mohon tunggu...
Alfa Mightyn
Alfa Mightyn Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047

Universitas Mercu Buana | Dosen: Prof. Dr. Apollo, M.Si, Ak. | NIM: 55521120047 | Magister Akuntansi | Manajemen Perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa P3B Diperlukan?

11 April 2023   12:28 Diperbarui: 11 April 2023   12:32 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyebab Pajak Berganda (dokumen pribadi)

Perkembangan teknologi mendorong pesatnya kegiatan ekonomi yang melewati batas negara. Cross border transaction menjadi hal yang sangat lazim dilakukan saat ini, bukan hanya oleh perusahaan multinasional namun dilakukan pula oleh individu atau perorangan.

Sedangkan, masing-masing negara memiliki ketentuan pajak domestik yang berbeda. Aturan domestik ini disusun tentunya untuk melindungi basis pajak masing-masing negara.

Terdapat tiga asas pemajakan yang saat ini dikenal, yaitu:

  • Asas tempat tinggal, pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tempat tinggal atau domisili subjek pajak.
  • Asas kebangsaan, pemungutan pajak didasarkan pada kebangsaan subjek pajak.
  • Asas sumber, pemungutan pajak dilakukan berdasarkan tempat penghasilan diperoleh.

Tiap negara di dunia bebas menetukan asas mana yang mereka pilih. Seperti Indonesia misalnya, menerapkan world wide income atau asas domisili, yang berarti orang atau badan usaha yang berdomisili di Indonesia akan dikenakan pajak di Indonesia atas penghasilan yang didapatkan dari seluruh negara tanpa memperhatikan kewarganegaraan individu atua badan tersebut.

Perbedaan asas ini yang memungkinkan suatu penghasilan dipajaki di dua negara atau yurisdiksi yang berbeda. Hal ini tentunya akan mengganggu iklim usaha dan menciptakan ketidakadilan. Untuk itulah P3B dilakukan antardua negara yang berbeda ketentuan pajak domestiknya.

P3B merupakan perjanjian antara dua negara yang dilakukan dengan prosedur dan langkah yang cukup panjang. Mulai dari tahap penjajakan, perundingan, penandatanganan, ratifikasi, pertukaran ratifikasi, hingga pemberlakuan efektif. Perundingan pun juga bisa dilakukan berkali-kali, sehingga tak jarang bila satu treaty bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Untuk itu, penting bagi masing-masing otoritas pajak memahami dengan baik menagapa tax trety harus dilakukan dengan negara atau yurisdiksi mitra tertentu. Perhitungan cost and benefit harus dilakukan dengan baik. Bagi sesama negara maju misalnya dimana arus investasi dari kedua pihak sama sehingga tax treaty tentu memberi manfaat yang jelas bagi kedua negara.

Berbeda dengan treaty yang dilakukan antara negara berkembang dan negara maju. Negara berkembang biasanya tertarik melakukan treaty untuk menarik investasi asing. Namun dengan negosiasi yang salah, tax treaty malah bisa menggerus basis pajak terlalu dalam, karena sebagai negara berkembang, posisi tawarnya pasti akan berada di bawah negara maju. Negosiasi yang dilakukan harus dapat menguntungkan kedua pihak, seperti pengurangan basis pajak sumber mungkin bisa diimbangi dengan peningkatan basis pajak domisili.

Bagi sesama negara berkembang, walaupun mungkin manfaat yang didapatkan dalam penghindaran pajak berganda tidak terlalu besar, namun tax treaty ini dapat manjadi alat pencegahan penghindaran atau pengelakakan pajak yang efektif. Tax treaty juga bisa memberikan manfaat politis dalam dunia internasional.

Beberapa alasan negara melakukan tax treaty antara lain:

  • Mendorong investasi keluar oleh residen
  • Memfasilitasi dan mendorong investasi masuk dan transfer keahlian dan teknologi masuk dari residen negara mitra.
  • Mengurangi penghindaran dan pengelakan pajak yang melibatkan cross border transaction.
  • Alasan politis seperti memperkuat hubungan diplomatis dengan negara mitra atau untuk mematuhi kewajiban internasional.

Terdapat beberapa jenis pajak berganda yang dikenal di dunia internasional, yaitu source-source conflict, source-residence conflict, residence-residence conflict, dan characterization of income conflict.

Source-Source Conflict

Pajak berganda dapat timbul bila atas suatu penghasilan yang sama diklaim bersumber dari dua atau lebih negera berdasarkan ketentuan domestik masing-masing.

Sebagai contoh, negara A menganggap penghasilan atas pemberian jasa tertentu bersumber dari negara tersebut karena kegiatannya dilakukan di negara A. Sementara negara B menganggap penghasilan atas jasa tersebut bersumber dari negara mereka karena pembayaran dilakukan dari negara B.

Melalui tax treaty, konflik penentuan negara sumber ini bisa dihindari. Tax treaty memberikan pengaturan melalui source rule, yang biasanya berbeda-beda sesuai dengan jenis penghasilannya, misal dividen, bunga, royalti. Source rule tidak hanya memberi panduan penentuan source country, namun juga memastikan bahwa negara yang bukan merupakan negara sumber harus memberikan keringanan agar tidak terjadi pemajakan berganda.

Sedangkan untuk keuntungan bisnis, source rule ini memberikan panduan mengenai kapan kondisi bentuk usaha tetap dipenuhi sehingga dapat dipajaki di negara sumber.

Source-Residence Conflict

Bagi negara yang menerapkan asas domisili, penghasilan yang diterima residennya yang berasal dari negara manapun akan ikut dihitung untuk mendapatkan berapa pajak yang terutang. Suatu pengasilan sewa property  di luar negeri misalnya, negara domisili akan meminta penghasilan tersebut untuk ikut dihitung sebagai penghasilan (karena menerapkan asas domisili). Padahal negara sumber telah mengenakan pajak lebih dulu atas penghasilan sewa proporti tersebut.

Hal ini tentu dapat dihindari dengan adanya tax treaty. Terdapat batasan yang jelas kondisi apa yang membolehkan negara sumber memungut pajak dan memastikan bahwa negara domisili memberikan keringanan berupa kredit pajak pada ketentuan domestik atas pajak yang sudah dibayarkan subjek pajak di negara sumber.

Residence-Residence Conflict

Dua negara atau yurisdiksi mungkin saja memiliki aturan domestik yang jauh berbeda untuk menentukan tempat tinggal atau residen suatu subjek pajak. Misalnya, suatu negara memiliki time test 183 hari yang mana berarti orang pribadi yang melebihi time test akan menjadi SPDN di negara tersebut. Sedangkan negara lain berdasarkan ketentuan domestik menganggap suatu subjek pajak yang sama merupakan residen di negara tersebut karena tinggal menetap dan memiliki hubungan keunagan dan sosial yang erat dengan negara tersebut.

Tax treaty memiliki tie breaker rule untuk membantu menentukan negara mana yang berhak memajaki atas penghasilan yang diterima subjek pajak tersebut. Tie breaker rule ini juga bermanfaat bagi kasus dual residence.

Characterization of Income Conflict

Suatu penghasilan bisa dikategorikan atau diperlakukan berbeda dalam hal pemajakannya di dua negara berdasarkan ketentuan pajak domestiknya masing-masing. Sebagai contoh adalah saat pengakuan penghasilan dividen. Suatu negara mungkin mengakui bahwa dividen diterima oleh residennya atas dividen yang dibayarkan di negara sumber saat disediakan untuk dibayar. Sedangkan menurut ketentuan domestik negara sumber, dividen diakui sebagai penghasilan (dalam konteks pajak) adalah saat dibayarkan. Hal ini menyebabkan perbedaan waktu pengakuan pendapatan. Apabila hal ini melewati batas tahun pajak, akan ada perbedaan pengakuan penghasilan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun