Penampilannya kali ini Mas Deni mencoba menceritakan seseorang yang bernama Suwung yang menggugat takdir. Suwung hidup dipasung karena dianggap gila. Padahal, kata Mas Deni sang aktor sekaligus sutradara. Suwung itu dianggap gila hanya karena memiliki prespektif yang berbeda tentang kehidupan. Di dalam pertunjukannya Suwung adalah anak jalang hasil persetubuhan haram. Ia ditelantarkan oleh ibu bapaknya, walaupun begitu Suwung tetap Bekerja keras namun naas hidupnya tidak pernah ada perubahan dan dalam dimensi ke-frustasian hidupnya itu Suwung juga ditolak cintanya oleh seorang yang benar-benar ia damba. Suwung semakin frustrasi kemudian ia menyantet wanita yang ia cintai itu dan pada akhirnya oleh masyarakat kaki Suwung di pasung. Suwung dianggap gila. Ia tak bisa pergi kemana-mana dan dalam sisa-sisa hidupnya hanya ada sepi dan nyanyian seruling menjadi satu-satu teman karibnya.
Walaupun di tengah pertunjukan "Suwung" terdapat hujan yang cukup deras namun penonton tetap khidmat menyaksikan pertunjukan dari Mas Deni. Dan ketika pertunjukan dari Mas Deni selesai menandakan selesainya juga Acara dalam rangka memperingati Hari Teater Dunia yang dilaksanakan oleh Sanggar Pasir pada malam itu. Kemudian kegiatan ditutup Doa oleh Mas.Lutfi dan prosesi selanjutnya penyerahan cinderamata dari Sanggar Pasir ke pihak-pihak yang telah men-support kegiatan dan kegiatan dilanjutkan dengan Sarasehan di pendopo Sanggar Pasir.
Mas Egik dari Teater Cepak berbicara sedikit mengenai Apa Makna Hari Teater Dunia. Apakah hanya sebuah rutinitas yang yah, begitu-begitu saja ataukah ada sesuatu yang harus disuarakan ketika momentum itu datang. Mas Egik melanjutkan dengan membaca satu pesan Hari Teater Dunia dari PBB.Â
Beberapa keresahan seniman-seniman terkait juga dengan era digitalisasi saat ini dan juga desakan kondisi pandemi. Di masa pandemi ini banyak sekali komunitas teater yang menyelenggarakan pentas online.Â
Mas Lutfi menambahkan bahwa memang benar kita juga harus belajar tentang media dan Pandemi tidak menghalangi kreativitas kita sebagai seorang pegiat seni.
Mengenai perubahan-perubahan motode berkesenian ketika Pandemi, Saat ini walaupun dalam situasi pandemi memang benar dalam ranah kreatifitas tidak akan pernah bisa menghalangi karena pada dasarnya teater itu bukan panggung atau gedung tetapi orang-orangnya. Tegas Mas Egik. Ia menambahkan juga bahwa hidup itu tidak hanya harus dijalani tetapi hidup itu juga harus dihidupi. Kedepan itu ingin apa, Mau jadi apa kita harus memiliki Peta dan Kompas, Peta itu gambaran semesta ilmu. Tetapi jangan banyak peta jika tidak ada kompas. Kita juga harus tau arah, makanya juga perlu kompas, tau petunjuk arah.
Mengenai Hal ini juga ditanggapi beberapa seniman di sana, salah satunya Mas Pandu yang mempunyai gaya berteater independen nya. Ia mengatakan bahwa Intisari ketersumbatan kesenian salah satunya ialah keegoisan.Â
Pak. Ali topan juga mengatakan di dalam diskusi malam itu mengenai pentingnya Pengangkatan konflik dan permasalahan lokal. Seperti bukit kapur yang ada di sini yang mungkin 5 tahun kedepan sudah rata dengan tanah. Pengangkatan konflik ini juga sangat baik untuk penyadaran-penyadatan masyarakat tentang permasalahan sekitar.
Di tengah keseruan diskusi malam itu harus dengan terpaksa dihentikan karena mengingat waktu yang sudah cukup larut, sarasehan di tutup kemudian kegiatan selanjutnya makan bersama. Semuanya berjalan dengan lancar dan khidmat.