Mohon tunggu...
Miftahussururi
Miftahussururi Mohon Tunggu... Konsultan - Praktisi Pendidikan

Show, Don't Tell

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Paulo Freire dan Pendidikan Guru Penggerak

19 Juni 2024   01:39 Diperbarui: 19 Juni 2024   01:45 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paulo Freire merupakan tokoh pendidikan dunia yang pemikiran-pemikirannya masih dinikmati dan dipelajari lintas generasi. Seorang guru dan pembaharu yang dikenal dengan gagasan dan upayanya untuk menyadarkan manusia/ peserta didik bahwa setiap diri memiliki potensi, nilai, dan kekuatan untuk dapat berkontribusi dan peduli dengan lingkungan sekitarnya.


Freire yang lahir dan besar di kondisi daerah yang mengalami depresi karena belenggu kemiskinan dan kelaparan waktu itu menilai kondisi sosial ekstrem tersebut membentuk mental dan cara pandang masyarakat yang pesimis dan tidak berdaya. Kaum-kaum tertindas yang merasa bahwa realitas yang terjadi merupakan pemberian dan tidak dapat diubah dengan aset-aset yang mereka miliki.


Ia memiliki human solidarity untuk membangkitkan dan menyadarkan kelompok atau sebagian rakyat yang tertindas untuk ingat bahwa mereka adalah manusia yang memiliki kekuatan serta mempunyai keberanian menjadi manusia yang utuh dan bebas dari belenggu ketakutan dan rasa rendah diri. Freire menginginkan kaum-kaum tertindas tersebut dapat sadar bahwa mereka punya kemampuan dan kapasitas baik secara individu maupun kelompok dapat merubah realitas kultural tersebut. Proses atau upaya penyadaran tersebut Freire sebut dengan conscientization atau konsientisasi.


Bagi pria kelahiran Brasil yang juga merupakan suami seorang guru tersebut mendorong masyarakat yang "teraniaya dan tercekik" akan kondisi sosial, budaya, ekonomi harus terus berjuang dan melawan kelaparan serta meraih kebebasan sebagai manusia yang dapat berkarya dan memperbaiki kehidupannya.


Perjuangan Freire dalam mengubah kesadaran individu dan kolektif masyarakat tersebut adalah melalui jalan pendidikan dan pembelajaran dengan menekankan pada metode dialogis. Ia percaya bahwa pendidikan dapat menjadi gerakan pembebasan dan membentuk gerakan kolektif untuk mentransformasi keadaan dan budaya setempat.


Freire menyadari bahwa proses penyadaran-pembebasan masyarakat tertindas tersebut tidak pernah terwujud tanpa bantuan dan kehadiran dari pemimpin-pemimpin yang menuntun mereka memperoleh kemerdekaan dan mengembalikan fitrah mereka sebagai manusia yang utuh dan memiliki daya juang dan energi untuk merubah kondisi mereka.


Bagi Freire pemimpin yang memiliki keberpihakan kepada kaum-kaum tertindas merupakan syarat utama untuk menggapai cita-cita mulia merubah kondisi masyarakat  tertindas. Pemimpin yang memiliki sikap rendah hati, percaya akan perubahan, rasa cinta sesama serta mengutamakan dialog antar manusia yang setara. Pelopor perubahan yang membantu proses pembebasan atau upaya penyadaran sehingga humanisasi terhadap masyarakat dapat terwujud.


Nilai, semangat, dan prasyarat pemimpin untuk perubahan seperti perjuangan Paulo Freire di atas mengingatkan kita pada kebijakan Merdeka Belajar Episode 5 yang diluncurkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim pada 3 Juli 2021 yakni Pendidikan Guru Penggerak (PGP) yang merupakan program pendidikan untuk mencetak calon pemimpin pembelajaran (instructional leadership) sekaligus calon kepala sekolah dan pengawas sekolah yang didesain untuk menjadi pemimpin perubahan di satuan pendidikan atau serta menjadi teladan dan agen transformasi bagi ekosistem pendidikan.


Dalam konteks Freire, PGP merupakan kebijakan revolusioner yang menjadi prioritas dan prasyarat untuk menyelesaikan krisis pembelajaran demi meningkatkan kualitas hasil belajar di Indonesia. Data Asesmen Nasional (AN) tahun 2021 menunjukkan bahwa 1 dari 2 peserta didik belum mencapai kompetensi minimum literasi. Sedangkan dalam numerasi, 2 dari 3 peserta didik belum mencapai kompetensi minimum. Skor sikap, nilai, dan kebiasaan peserta didik pada aspek kemandirian dan kebhinekaan global relatif paling rendah. Krisis pembelajaran tersebut bukan hanya dari skor literasi, numerasi, dan karakter, namun hasil AN mencatat 24,4% peserta didik berpotensi mengalami perundungan dan 22,4% menjawab 'pernah' mengalami kekerasan seksual. (Kemdikbudristek, 2022)


Dengan kondisi krisis pembelajaran di atas serta kondisi geografis, sosial, ekonomi, budaya, serta demografi negara Indonesia maka menyiapkan pemimpin-pemimpin satuan pendidikan yang mampu mengembangkan visi-misi dan program-kebijakan satuan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak, memiliki budaya belajar, berbagi, dan berkolaborasi, serta memiliki kemampuan merencanakan, melaksanakan, menilai, dan merefleksikan pembelajaran merupakan langkah strategis yang dibuat oleh Nadiem dan jajaran dalam masa jabatan yang sangat terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun