Ditinjau dari beberapa hadis terdapat sinyal-sinyal ilmiah yang diriwayatkan oleh ahlulbait dalam penafsiran al-Qur’ān seperti hadis tentang jumlah al-masyariq wa al-magharib dalam menafsirkan ayat 40 dari surat al-Ma’arij, mengenai nama dari beberapa bintang dalam surat al-Takwir ayat 14-15, juga tentang hadis yang diriwayatkan oleh abu Dzar ketika ditanya oleh rasulullah tentang kemana terbenamnya matahari[8]. Akan tetapi model ini tidak termasuk dalam tafsir ilmiah secara epistemologi, sebab tafsir ini tidak memanfaatkan temuan-temuan ilmu dalam menafsirkan, melainkan termasuk bagian dari tafsir riwa’iy dan rahasia ilmiah dari ahlulbait.
Secara umum perkembangan tafsir jenis ini dapat di klasifikasikan menjadi tiga fase, yakni; Pertama, dimulai dari abad II H sampai V H. Pada fase ini dimulai penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Sebagian ulama Muslimin berusaha menerapkan beberapa ayat al-Qur’ān terhadap astronomi Ptolemeus, seperti Ibnu Sina. Kedua, fase ini dimulai pada abad VI H ketika sebagian ulama Muslim berusaha menghasilkan semua ilmu pengetahuan dari al-Qur’ān karena mereka meyakini adanya hal tersebut, Pioner dari kecenderungan ini adalah Abu Hamid al-Ghazali. Ketiga, Tafsir ilmiah di abad XV H seterusnya mencapai puncak perkembanganya ketika sains di Barat mengalami kemajuan dan berbagai buku di berbagai bidang diterjemahkan, seperti Fisika, Kimia, dan kedokteran. Periode ini memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam khususnya, di India dan Mesir di abad terakhir ini. Hal itu karena sebagian sarjama Muslim mengarahkan perhatian untuk mengaplikasikan al-Qur’ān terhadap ilmu-ilmu baru[9].
Perlu menjadi sebuah perhatian bahwa awal mula persoalan ini muncul di Eropa ketika muncul pertentangan antara sains dengan agama. Pertentangan ini menyebabkan terpinggirkannya kitab Suci dari pentas, sementara pemikiran-pemikiran ateis dengan bebas memegang alur perjalanannya di masyarakat. Pemikiran-pemikiran tersebut, di samping karena kemajuan teknologi Barat, menjadi sebab mengapa para pemuda Muslim terpikat dengan peradaban Barat yang menyebabkan para sarjana Muslim masuk ke dalam wilayah ini untuk membela al-Qur’ān.
Mereka masuk ke arena ini tidak hanya karena ingin menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara sains dengan agama, akan tetapi temuan-temuan itu justru menjadi bukti nyata tentang kemukjizatan al-Qur’ān. Oleh karena itu sains dipakai dalam rangka memahami al-Qur’ān, dan tafsir-tafsir ilmiahpun banyak ditulis. Sebagian sarjana ada yang bersikap terlalu berlebihan berada dalam pengaruh budaya Barat, dan terjebak ke dalam interpretasi dan penafsiran yang menggunakan pendapat yang subyektif.
Hal ini menyebabkan reaksi masyarakat Muslim menjadi antipati dan mereka memberikan sikap yang negatif terhadap jenis tafsir ini, dan menganggap bahwa tafsir ini merupakan sejenis tafsir ra’yi (rasional) yang menurut sebagian mufasir adalah dilarang. Hal ini juga menyebabkan sebagian sarjana Muslim di Mesir dan Syam mengambil sikap moderat, dan membedakan antara tafsir ilmiah yang benar dengan tafsir yang yang dipakai oleh sebgian sarjana hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi semata.
Secara singkat dapat disebutkan bahwa beberapa motivasi munculnya jenis tafsir ilmiy ini adalah:
- Perhatian al-Qur’ān terhadap sains dengan berbagai indikasi dari ayat dan beberapa penafsiran yang disampaikan Rasul melalui hadis-hadis.
- Penerjemahan dan publikasi masal terhadap karya ilmiah, filsafat Yunani, dan Romawi di kalangan kaum muslim.
- Keyakinan bahwa segala keilmuwan tercakup dalam al-Qur’ān, dan dimungkinkan ilmu-ilmu itu dilahirkan darinya.
- Dominasi aliran empiris di Eropa yang berpengaruh terhadap pemikiran kaum muslimin.
- Adanya perasaan kaum muslimin bahwa untuk menghadapi keragu-karaguan Barat yang mengklaim adanya kontradiksi sains dengan agama adalah kewajiban guna menegaskan bahwa al-Qur’ān tidak bertentangan dengan sains.
Dari perkembangan yang ada terlepas dari berbagai pro dan kontra yang ada, tafsir jenis ilmiy lah yang berpeluang eksis dan bisa mengikuti perkembangan keilmuwan yang ada saat ini maupun nanti sehingga aplicable di setiap kondisi dan situasi yang terjadi dimana al-quran ditafsirkan, karena Qur’an bukan hanya mengajarkan tentang dogma namun lebih dari itu didalamnya juga terdapat ajaran-ajaran kehidupan tentang pola pengaturan kehidupan manusia.
- Pro Kontra tafsir ilmiy
Terdapat berbagai pendapat yang berbagai perspektif mengenai tafsir ilmiah. Di antara mereka ada yang menerimanya secara mutlak, dan ada yang menolak secara mutlak. Ada kelompok yang membedakan antara jenis-jenis tafsir tersebut. Sebagiannya diterima, sebagian lainnya ditolak.Dalam makalah ini akan penulis kemukakan beberapa pandangan ahli tafsir yang mendukung dan menentang metode penafisiran ilmiah dengan beberapa alasan diantaranya:
- Pendukung:
- Penggunaan sains dalam menafsirkan al-Qur’ān akan membuat pemahaman terhadap ayat-ayatnya menjadi lebih baik, dan dapat menjelaskan sinyal-sinyal ilmiahnya. Ketika al-Qur’ān berbicara mengenai hal-hal yang positif dan negatif dari minuman keras dalam ayat: “Qul fîhima itsmun kabirun wa manâfi’ li al-nâs”, untuk menjelaskan tentang ayat ini maka diharuskan adanya penjelasan dari aspek kedokteran.
- Tafsir memiliki sumbangsih dalam menetapkan kemukjizatan al-Qur’ān. Ketika sebagian persoalan ilmiah muncul di lingkungan jahiliyyah, dan kebenarannya baru terbukti setelah berabad-abad kemudian, ini berarti bahwa al-Qur’ān memang mukjizat ketuhanan, bukan ucapan manusia.
- Tafsir ilmiah memiliki daya pikat terhadap ilmuwan non-Muslim mempelajari al-Qur’ān, karena temuan-temuan ilmiah menegaskan kebenaran sinyal-sinyal yang disebutkan dalam al-Qur’ān. Sebagaimana diakui oleh Maurice Bucaille dalam bukunya “Taurat, Injil, al-Qur’ān dan Sains Modern, yang mengakui akan kebenaran dan kemukjizatan al-Qur’ān, dan penyimpangan Taurat dan Injil dari berbagai persoalan sains
- Sebagian sarjana mengklaim bahwa semua sains terdapat dalam al-Qur’ān. Mereka mendasarkan pada ayat: “Nazzalnâ alayka al-kitâb tibyânan likulli syai’” maka untuk menegaskan adanya ilmu-ilmu tersebut seperti kedokteran, arsitektur, astronomi dan lainnya dalam al-Qur’ān perlu adanya tafsir dengan metode ilmiyah.
Ulasan:
Pandangan yang terakhir sebenarnya adalah pandangan berdasar nash yang kurang karena, pertama; ada alasan yang mendasar mengenai maksud dari ayat “tibyâna likulli syai’”. Yang dimaksudkan pada ayat ini adalah menjelaskan segala sesuatu yang ditujukan untuk tujuan asli al-Qur’ān, yaitu hidayah. Logikanya jika seorang dokter menulis sebuah buku, kemudian dia mengatakan “tulisan itu memuat segala sesuatu”, itu tidak dimaksudkan bahwa semua ilmu Fisika, kimia dan yang lainnya tercakup, melainkan tulisan itu memuat semua masalah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran. Demikian pula halnya dengan masalah ini, al-Qur’ān bukan menjelaskan masalah-masalah kedokteran, fisika dan lain-lain hingga mencakup semua persoalan kecil sains, melainkan maksudnya menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan petunjuk bagi manusia. Kedua, Adanya ayat ini dan ayat-ayat lain menolak pemahaman seperti itu. Kita semua tentu mengetahui bahwa semua ilmu memang tidak ada dalam al-Qur’ān. Oleh karena itu sebagian mufassir menolak lahiriyah ayat tersebut yang mengklaim adanya semua ilmu.