Miftahus Sholehudin
- Latar Belakang
Kajian dengan tema al-Qur’ān merupakan kajian yang selalu berkembang dan menarik, baik bagi ilmuwan muslim maupun non muslim dengan berbagai motivasi yang ada baik motivasi ilmiyah maupun motivasi keagamaan masing-masing pengkaji. Hal ini dikarenakan al-Qur’ān merupakan kalam Allah yang dalam agama Islam menempati posisi sentral dalam peng-istinbāt[1]-an hokum.
Karena posisi al-Qur’ān yang sangat transcendental tersebut maka keberadaan tafsir terhadap ayat-ayat suci al-Qur’ān adalah suatu niscaya bagi umat muslim. Dengan penafsiran ini umat muslim memahami pesan dari ayat-ayat al-Qur’ān untuk kemudian di aplikasikan dalam berbagai dimensi kehidupan serta disiplin ilmu baik berupa fiqh, aqidah, akhlak, ilmu alam, ilmu bahasa, ilmu kesehatan, ilmu alam dan berbagai disiplin keilmuwan lain yang tujuan finalnya adalah untuk kemaslahatan manusia di bumi.
Guna mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap al-Qur’ān melalui tafsir tersebut maka kemudian muncul beberapa metode dan pendekatan dalam penafsiran al-Qur’ān dimulai dengan dua kalsifikasi besar yakni metode penafsiran bil ma’tsur dan metode penafsiran bil ra’yi. Kedua jenis metode ini memiliki argumen-argumen kuat sebagai legitimasi bahwa metode tersebut tepat guna menafsirkan pesan-pesan Allah dalam al-Qur’ān.
Dewasa ini kedua klasifikasi jenis tafsir diatas mengalami banyak pengembangan dan modifikasi terkait dengan perkembangan keilmuwan yang ada saat ini baik keilmuwan bahasa, filsafat/logika, sejarah, kesehatan, eksak dan ilmu-ilmu lain, yang kemudian tafsir dengan berbagai disiplin ilmu ini disebut dengan tafsir ilmiy atau tafsir bil ilmiy.
- Pembahasan
- Pengertian
Tafsir ilmiy (علمي) artinya adalah penafsiran dengan metode-metode ilmiyah, jadi dengan metode penafsiran ini mufasir berusaha memunculkan ilmu-ilmu empiris dengan sumber ayat-ayat al-Qur’ān. Terdapat kata lain yang muncul dalam varian tafsir ini yakni tafsir bil ilmiy (بالعلمي) untuk jenis yang kedua ini adalah tafsir yang menggunakan hasil penelitian ilmiah ataupun kajian ilmiah untuk menafsirkan al-Qur’ān atau dengan kata lain tafsir ini adalah tafsir yang memperbandingkan penafsiran dengan hasil penelitian[2].
Dilihat dari aspek epistemology banyak para mufasir berpendapat dalam memberikan pengertian jenis penafsiran ini diantaranya adalah al-Dzahabiy yang menyatakan bahwa
التفسير الذى يُحَكِّم الاصطلاحات العلمية فى عبارات القرآن، ويجتهد فى استخراج مختلف العلوم والآراء الفلسفية منها
“Tafsir al-ilmiy adalah tafsir yang menggunakan istilah-istilah ilmiyah dalam pengibaratan al-Qur’ān serta berusaha menghasilkan bermacam disiplin keilmuwan dan filosofi al-Qur’ān”[3]. Thabathabaiy memiliki pengertian yang berbeda tentang tafsir jenis ini, dengan mengatakan “Cara seperti ini dalam mengkaji lebih tepat disebut dengan aplikasi bukan tafsir[4]” sehingga orang yang berkecimpung dalam metode tafsir ini sebenarnya bukan hendak menafsirkan Qur’an namun hanya memberi pemoles terhadap isyarat-isyarat ilmiah yang terdapat dalam al-Qur’ān.
Amin al-Khûliy berpendapat bahwa tafsir ilmiah adalah sebuah tafsir yang penafsirnya berusaha menghasilkan sejumlah ilmu-ilmu lama dan baru dari al-Qur’ān. Sang penafsir melihat dalam al-Qur’ān ada wilayah yang memuat ilmu filsafat dan humaniora mengenai kedoteran, anatomi, bedah, astronomi, perbintangan, syaraf, dan tafsir yang menggunakan istilah-istilah ilmiah untuk ungkapan-ungkapan al-Qur’ān”.[5]
Menurut Andi Rosadisastra penafsiran al-Qur’ān dengan menggunakan metode ilmiah akan membantu proses internalisasi, eksternalisasi dan objketifasi al-Qur’ān. Internalisasi adalah proses peresapan, penghayatan, dan penanaman nilai moral dan spiritual, sedangkan eksternalisasi adalah pencurahan dan ekspresi nilai al-Qur’ān dalam realitas kehidupan baik aktifasi fisik maupun mental, sementara objektivasi al-Qur’ān adalah penerjemahan dan pelembagaan nilai Qur’ani kedalam kategori objektif berupa produk seperti undang-undang atau hukum[6].
Namun belakangan pengertian yang banyak digunakan adalah:
هو الكشف عن معاني الآية أو الحديث في ضوء ما ترجحت صحته من نظريات العلوم الكونية
Tafsir ilmiy adalah tafsir yang berusaha menyingkap makna ayat Qur’an maupun hadis dengan selalu memperhatikan koridor ilmu sains dan ilmu kauniyah[7].
Ayat-ayat yang dijadikan objek penafsiran jenis ini adalah ayat yang berhubungan dengan alam semesta atau ayat kauniyah, dalam penafsiran jenis ini seorang mufasir selain memiliki kapabelitas yang cukup dalam ilmu tafsir juga diharuskan menguasai teori-teori sains yang akan dibahas sehingga penafsiran yang dilakukan benar-benar sesuai koridor keilmiahan dan tidak keluar juga dari koridor tafsir.
Menurut penulis dari beberapa definisi yang ditawarkan diatas terdapat beberapa perbedaan yang kemudian mengakibatkan perselisihan yakni: adanya aspek pembebanan terhadap al-Qur’ān untuk menghasilkan ilmu empiris (استخراج مختلف العلوم), yang lain memberikan persyaratan ilmiah dalam membaca al-Qur’ān tersebut. Menurut hemat penulis sesungguhnya titik temu kedua kubu ini adalah tidak menjadi masalah ketika para mufasir melihat dari aspek penyingkapan makna berarti tidak mengharuskan munculnya sebuah ilmu empiris yang kemudian terkesan dipaksakan dan tidak sesuai koridor tafsir.
- Sejarah Kemunculan
Kemunculan tafsir jenis ini adalah berawal dari keyakinan umat muslim bahwa Al-Qur’ān merupakan mukjizat dalam segala hal dengan spirit firman Allah, untuk mengetahui dan mengenal, dan yang menyadarkan mereka dari kebodohan dan kealpaan. Para mufasir yang mengusung tafsir ini mengajak untuk merenungkan dan mendalami ayat-ayat Allah, penciptaan langit dan bumi serta yang lainnya.
Ketika kaum muslimin memulai melakukan penaklukan di abad pertama Hijriyah, mereka mengenali pikiran-pikiran baru dan berbagai agama. Mulailah interaksi budaya antara Islam dengan peradaban-peradaban lainnya seperti Romawi, Yunani dan Iran. Kaum Muslimin menerjemahkan berbagai ilmu di masa Harun al-Rasyid dan al-Ma’mun, seperti kedokteran, matematika, astronomi, ilmu-ilmu alam, filsafat, dari Yunani. Selama berabad-abad mereka dapat menghantarkan ilmu-ilmu tersebut mengalami perkembangan dan kemajuan yang tinggi.
Mereka menyusun buku-buku terbaik di abad III dan IV H, dalam berbagai bidang seperti kedokteran, Filsafat, matematika dan astronomi bahkan, bangsa Barat terpaksa mengambil ilmu-ilmu tersebut dari bangsa Arab, setelah sebelumnya asal-usul ilmu tersebut berasal dari Yunani. Hal tersebut terjadi setelah gerakan terjemah di abad ke 12 berhasil digiatkan dan teori-teori Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd dijadikan pegangan utama di universitas-universitas Eropa selama ratusan tahun.
Ditinjau dari beberapa hadis terdapat sinyal-sinyal ilmiah yang diriwayatkan oleh ahlulbait dalam penafsiran al-Qur’ān seperti hadis tentang jumlah al-masyariq wa al-magharib dalam menafsirkan ayat 40 dari surat al-Ma’arij, mengenai nama dari beberapa bintang dalam surat al-Takwir ayat 14-15, juga tentang hadis yang diriwayatkan oleh abu Dzar ketika ditanya oleh rasulullah tentang kemana terbenamnya matahari[8]. Akan tetapi model ini tidak termasuk dalam tafsir ilmiah secara epistemologi, sebab tafsir ini tidak memanfaatkan temuan-temuan ilmu dalam menafsirkan, melainkan termasuk bagian dari tafsir riwa’iy dan rahasia ilmiah dari ahlulbait.
Secara umum perkembangan tafsir jenis ini dapat di klasifikasikan menjadi tiga fase, yakni; Pertama, dimulai dari abad II H sampai V H. Pada fase ini dimulai penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Sebagian ulama Muslimin berusaha menerapkan beberapa ayat al-Qur’ān terhadap astronomi Ptolemeus, seperti Ibnu Sina. Kedua, fase ini dimulai pada abad VI H ketika sebagian ulama Muslim berusaha menghasilkan semua ilmu pengetahuan dari al-Qur’ān karena mereka meyakini adanya hal tersebut, Pioner dari kecenderungan ini adalah Abu Hamid al-Ghazali. Ketiga, Tafsir ilmiah di abad XV H seterusnya mencapai puncak perkembanganya ketika sains di Barat mengalami kemajuan dan berbagai buku di berbagai bidang diterjemahkan, seperti Fisika, Kimia, dan kedokteran. Periode ini memberikan pengaruh yang besar terhadap dunia Islam khususnya, di India dan Mesir di abad terakhir ini. Hal itu karena sebagian sarjama Muslim mengarahkan perhatian untuk mengaplikasikan al-Qur’ān terhadap ilmu-ilmu baru[9].
Perlu menjadi sebuah perhatian bahwa awal mula persoalan ini muncul di Eropa ketika muncul pertentangan antara sains dengan agama. Pertentangan ini menyebabkan terpinggirkannya kitab Suci dari pentas, sementara pemikiran-pemikiran ateis dengan bebas memegang alur perjalanannya di masyarakat. Pemikiran-pemikiran tersebut, di samping karena kemajuan teknologi Barat, menjadi sebab mengapa para pemuda Muslim terpikat dengan peradaban Barat yang menyebabkan para sarjana Muslim masuk ke dalam wilayah ini untuk membela al-Qur’ān.
Mereka masuk ke arena ini tidak hanya karena ingin menegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara sains dengan agama, akan tetapi temuan-temuan itu justru menjadi bukti nyata tentang kemukjizatan al-Qur’ān. Oleh karena itu sains dipakai dalam rangka memahami al-Qur’ān, dan tafsir-tafsir ilmiahpun banyak ditulis. Sebagian sarjana ada yang bersikap terlalu berlebihan berada dalam pengaruh budaya Barat, dan terjebak ke dalam interpretasi dan penafsiran yang menggunakan pendapat yang subyektif.
Hal ini menyebabkan reaksi masyarakat Muslim menjadi antipati dan mereka memberikan sikap yang negatif terhadap jenis tafsir ini, dan menganggap bahwa tafsir ini merupakan sejenis tafsir ra’yi (rasional) yang menurut sebagian mufasir adalah dilarang. Hal ini juga menyebabkan sebagian sarjana Muslim di Mesir dan Syam mengambil sikap moderat, dan membedakan antara tafsir ilmiah yang benar dengan tafsir yang yang dipakai oleh sebgian sarjana hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi semata.
Secara singkat dapat disebutkan bahwa beberapa motivasi munculnya jenis tafsir ilmiy ini adalah:
- Perhatian al-Qur’ān terhadap sains dengan berbagai indikasi dari ayat dan beberapa penafsiran yang disampaikan Rasul melalui hadis-hadis.
- Penerjemahan dan publikasi masal terhadap karya ilmiah, filsafat Yunani, dan Romawi di kalangan kaum muslim.
- Keyakinan bahwa segala keilmuwan tercakup dalam al-Qur’ān, dan dimungkinkan ilmu-ilmu itu dilahirkan darinya.
- Dominasi aliran empiris di Eropa yang berpengaruh terhadap pemikiran kaum muslimin.
- Adanya perasaan kaum muslimin bahwa untuk menghadapi keragu-karaguan Barat yang mengklaim adanya kontradiksi sains dengan agama adalah kewajiban guna menegaskan bahwa al-Qur’ān tidak bertentangan dengan sains.
Dari perkembangan yang ada terlepas dari berbagai pro dan kontra yang ada, tafsir jenis ilmiy lah yang berpeluang eksis dan bisa mengikuti perkembangan keilmuwan yang ada saat ini maupun nanti sehingga aplicable di setiap kondisi dan situasi yang terjadi dimana al-quran ditafsirkan, karena Qur’an bukan hanya mengajarkan tentang dogma namun lebih dari itu didalamnya juga terdapat ajaran-ajaran kehidupan tentang pola pengaturan kehidupan manusia.
- Pro Kontra tafsir ilmiy
Terdapat berbagai pendapat yang berbagai perspektif mengenai tafsir ilmiah. Di antara mereka ada yang menerimanya secara mutlak, dan ada yang menolak secara mutlak. Ada kelompok yang membedakan antara jenis-jenis tafsir tersebut. Sebagiannya diterima, sebagian lainnya ditolak.Dalam makalah ini akan penulis kemukakan beberapa pandangan ahli tafsir yang mendukung dan menentang metode penafisiran ilmiah dengan beberapa alasan diantaranya:
- Pendukung:
- Penggunaan sains dalam menafsirkan al-Qur’ān akan membuat pemahaman terhadap ayat-ayatnya menjadi lebih baik, dan dapat menjelaskan sinyal-sinyal ilmiahnya. Ketika al-Qur’ān berbicara mengenai hal-hal yang positif dan negatif dari minuman keras dalam ayat: “Qul fîhima itsmun kabirun wa manâfi’ li al-nâs”, untuk menjelaskan tentang ayat ini maka diharuskan adanya penjelasan dari aspek kedokteran.
- Tafsir memiliki sumbangsih dalam menetapkan kemukjizatan al-Qur’ān. Ketika sebagian persoalan ilmiah muncul di lingkungan jahiliyyah, dan kebenarannya baru terbukti setelah berabad-abad kemudian, ini berarti bahwa al-Qur’ān memang mukjizat ketuhanan, bukan ucapan manusia.
- Tafsir ilmiah memiliki daya pikat terhadap ilmuwan non-Muslim mempelajari al-Qur’ān, karena temuan-temuan ilmiah menegaskan kebenaran sinyal-sinyal yang disebutkan dalam al-Qur’ān. Sebagaimana diakui oleh Maurice Bucaille dalam bukunya “Taurat, Injil, al-Qur’ān dan Sains Modern, yang mengakui akan kebenaran dan kemukjizatan al-Qur’ān, dan penyimpangan Taurat dan Injil dari berbagai persoalan sains
- Sebagian sarjana mengklaim bahwa semua sains terdapat dalam al-Qur’ān. Mereka mendasarkan pada ayat: “Nazzalnâ alayka al-kitâb tibyânan likulli syai’” maka untuk menegaskan adanya ilmu-ilmu tersebut seperti kedokteran, arsitektur, astronomi dan lainnya dalam al-Qur’ān perlu adanya tafsir dengan metode ilmiyah.
Ulasan:
Pandangan yang terakhir sebenarnya adalah pandangan berdasar nash yang kurang karena, pertama; ada alasan yang mendasar mengenai maksud dari ayat “tibyâna likulli syai’”. Yang dimaksudkan pada ayat ini adalah menjelaskan segala sesuatu yang ditujukan untuk tujuan asli al-Qur’ān, yaitu hidayah. Logikanya jika seorang dokter menulis sebuah buku, kemudian dia mengatakan “tulisan itu memuat segala sesuatu”, itu tidak dimaksudkan bahwa semua ilmu Fisika, kimia dan yang lainnya tercakup, melainkan tulisan itu memuat semua masalah yang berkaitan dengan ilmu kedokteran. Demikian pula halnya dengan masalah ini, al-Qur’ān bukan menjelaskan masalah-masalah kedokteran, fisika dan lain-lain hingga mencakup semua persoalan kecil sains, melainkan maksudnya menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan petunjuk bagi manusia. Kedua, Adanya ayat ini dan ayat-ayat lain menolak pemahaman seperti itu. Kita semua tentu mengetahui bahwa semua ilmu memang tidak ada dalam al-Qur’ān. Oleh karena itu sebagian mufassir menolak lahiriyah ayat tersebut yang mengklaim adanya semua ilmu.
Sebenarnya yang paling mendasar dan tepat dijadikan alasan sebagai pendukung tafsir jenis ini adalah justeru pendapat yang pertama dan kedua, akan tetapi bukan dalam pengertian metode-metode yang lain tidak dibutuhkan. Sebagaimana kita menggunakan alasan-alasan rasional dan naqliyyah dalam tafsir demikian pula dapat dimungkinkan memanfaatkan alasan-alasan ilmiah.
- Kontra:
- al-Qur’ān tidak diturunkan untuk menjelaskan masalah-masalah sains, melainkan secara khusus untuk hukum dan masalah-masalah ibadah. Ayat-ayat mengenai hal ini sangat jelas. Sebagai contoh: “Nazzalnâ alaika al-kitâba tibyâna likulli syai’”. “Mâ farrathnâ fi al-kitâb min syai’”. Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah masalah-masalah ibadah, dan pengertian al-kitâb dalam ayat kedua adalah Lauh Mahfudz.
- Adanya semua ilmu dalam al-Qur’ān merupakan masalah yang penting. Semestinya kalau memang demikian, para sahabat dan tabi’in tentunya menyinggung hal tersebut. Oleh karena mereka tidak mengklaim demikian, jelas klain di atas keliru.
- Ilmu-ilmu empiris tidak pasti, dan teori-teori itu tidak tetap. Tidaklah benar menafsirkan al-Qur’ān dengan ilmu-ilmu tersebut, sebab ilmu-ilmu itu terus-menerus berubah. Hal ini menyebabkan munculnya keraguan manusia terhadap al-Qur’ān
- Tafsir Ilmiah dalam banyak hal hanya mengarah pada tafsir rasional yang dilarang berdasarkan banyak riwayat. Hal itu karena:
- Tidak adanya spesialisasi yang memadai bagi orang-orang yang melakukan penafsiran al-Qur’ān, dan tidak adanya syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir.
- Beberapa orang, dan dengan memanfaatkan ayat-ayat al-Qur’ān, berusaha memasarkan teori-teori mereka sendiri, yang barangkali bersifat ateistik. Ini dianggap sebagai salah satu kriteria tafsir rasional (ra’yi).
- Tidak ada aturan khusus untuk tafsir ilmiah sebab tafsir ini merupakan masalah rasa. Artinya setiap orang dapat menafsirkan al-Qur’ān menurut cita rasanya
- Menggunaan tafsir ilmiah dan menyebutkan berbagai masalah sains melalui tafsir ini menyebabkan tujuan asli dari al-Qur’ān menjadi hilang, yaitu tujuan untuk menyucikan dan memberi hidayah, seperti yang terjadi pada tafsir “al-Thatnthawi”
- Al-Qur’ān adalah buku petunjuk, cahaya dan penjelasan. Menggunakan tafsir ilmiah berarti menggunakan sesuatu yang lain untuk memahami al-Qur’ān
Ulasan:
Tanggapan terhadap argumen-argumen diatas dapat di rumuskan sebagaimana berikut: Pertama, memang benar bahwa tujuan al-Qur’ān bukan untuk menjelaskan sains dan menyebutkan rumus-rumus fisika, kimia dan semacamnya. Akan tetapi disebutkannya sinyal-sinyal ilmiah merupakan tujuan edukatif berjangka panjang dari al-Qur’ān. Kedua, apabila al-Qur’ān muncul untuk menjelaskan masalah-masalah akhirat semata, lantas apa fungsi disebutkannya contoh-contoh masalah ilmiah? Apakah itu tidak dianggap sebagai bagian dari al-Qur’ān? Apakah hal itu tidak diperlu ditafsirkan atau tidak?
Argumen ketiga, keempat dan kelima secara parsial dapat dibenarkan, apabila seorang individu menafsirkan dengan tidak adanya aturan yang tidak pasti atau terperangkap dalam penafsiran rasional (ra’yi) dengan tujuan jahat. Akan tetapi masalah ini berpulang pada mufassir sendiri, bukan pada metode. Permasalah seperti ini bisa saja terjadi pula pada metode “tafsir riwayah” dan “menafsirkan al-Qur’ān dengan al-Qur’ān”. Jika lahiriyah ayat sejalan dengan tuntutan ilmiah yang pasti, maka tidaklah mungkin menganggap hal itu hanya sebagai tafsir rasional semata, justru itu akan memberikan andil dalam menjelaskan dan memahami ayat secara lebih baik.
- Para tokoh tafsir ilmiy
Dikalangan para mufasir yang menerima dan pro terhadap jenis tafsir ini telah banyak menulis baik berupa kitab tafsir maupun dalam tulisan-tulisan ilmiyah mereka, diantara para mufasir yang menerima jenis tafsir ini adalah sebagai berikut:
- Abu Hamid al-Ghazali (505 H) ia meyakini adanya banyak ilmu dalam al-Qur’ān seperti yang ia sebutkan dalam buku “Ihyâ’ Ulûm al-Dîn”.
- al-Ra’îs Ibn Sina (270 – 428 H), seorang dokter dan filosof Iran
- al-Fakhr al-Râziy (m. 606 H). Ia mengaplikasikan masalah-masalah ilmiah terhadap al-Qur’ān. Mengenai bumi itu diam
- Ibn Abu al-Fadl al-Mursiy (570 – 655 H). ia berkeyakinan bahwa al-Qur’ān memuat ilmu-ilmu generasi awal dan belakang.
- Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi (m. 765 H), pengarang buku “al-Burhan fi Ulûm al-Qur’ân”. Ia berpendapat bahwa dimungkinkan menghasilkan semua ilmu dari al-Qur’ān.
- Jalâl al-Dîn al-Suyuthi (m. 911), pengarang buku al-Itqân fi Ulûm al-Qur’ān. Dia meyakini juga bahwa al-Qur’ān memuat seluruh sains.
- al-Majlisiy (m. 1111 H), pengarang buku “Bihâr al-Anwâr”. Ia berbicara sepintas tentang tafsir dalam beberapa juz dari buku tersebut.
- al-Mulla Sadr al-Syayrâziy (m. 1050 H), seorang filosof terkenal. Ia menegaskan adanya kemungkinan jenis tafsir tersebut
- Abd al-Rahman al-Kawâkibiy (m. 1320 H) menerapkan al-Qur’ān terhadap ilmu-ilmu empiris dalam banyak tempat dari buku “Thabâ’i’ al-istibdâd wa mashâri’ al-isti’bâd”.
- al-Sayyid Ahmad Khân al-Hindiy (1817 – 1898 M) dan al-Sayyid Amir Ali (1265 – 1367 H). Keduanya adalah ulama dari India. Keduanya menegaskan bahwa ada manfaat sosial dan fisik dari setiap shalat, puasa, zakat, dan haji.
- al-Thanthâwiy (m. 1862 M) terlalu berlebihan dalam memanfaatkan sains dalam tafsirnya “al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur’ân”[10].
- Abd al-Razzâq Nawfal, penulis al-Qur’ān wa al-Ilm al-Hadîts (Al-Qur’ān dan sains Modern), Islâm wa al-Ilm al-Hadîts (Islam dan sains Modern), Bayn al-Dîn wa al-Ilm (Antara Agama dan sains)
- Hibbah al-Dîn al-Syahrastâniy (1301 – 1369 H). Dalam bukunya “al-Islâm wa al-Hay’ah (Islam dan Astronomi)
- Dan lain-lain
- Para tokoh penentang tafsir ilmiy
Dari beberapa kitab dan tulisan yang ada terdapat beberapa nama mufasir yang memposisikan diri sebagai oposan terhadap jenis tafsir ini diantara dari mereka adalah:
- Abu Ishaq al-Syathibiy (790 H) dalam bukunya “al-Muwâfaqât” menolak tafsir ilmiah dan menyanggah argumen-argumen mereka yang mendukungnya[11].
- Mahmud Syaltut (1893 – 1963 M). Dia termasuk ulama al-Azhar. Ia menyerang dengan keras terhadap jenis tafsir ini dalam tulisan-tulisannya yang dimuat dalam majalah “al-Risâlah” yang terbit tahun 1941 M.
- al-Dzahabiy, termasuk salah satu guru besar dalam bidang Ulum al-Qur’ān wa al-Hadits di Universitar al-Azhar. Ia penulis buku “al-Tafsîr waal-Mufassir”. Ia mengikuti jejak al-Syathibiy dalam menolak tafsir ilmiah.
- Amin al-Khûli (1954 M).
- Mahmud al-Aqqâd (1964 M).
- Muhammad Azzah Darûzah (1888 M).
- Abd al-Adhim al-Zarqâniy, pengarang buku “Manâhil al-Irfân fi Ulûm al-Qur’ān.
Sebagian mufasir yang menolak keberadaan tafsir ilmiy ini adalah pengikut dari imam al-Syatibiy, namun para pengikut ini tidak memberikan banyak sumbangan dalam memberikan argumen penolakan tafsir ini, kebanyakan dari mereka mengulang kembali argumen al-Syathibiy dengan cara yang lain.
- Klasifikasi tafsir ilmiy
Ali Ridlai’i al-Asfahaniy memberikan klasifikasi dari aspek formal dan metodenya tentang tafsir ilmiy sebagai berikut:
- Menghasilkan semua sains dari al-Qur’ān
Sebagian para mufasir kuno menganut jenis klasifikasi yang ini seperti Abu Fadl al-Mursy, Abu Hamid Al-Ghazali dll. Mereka berusaha untuk menelorkan semua ilmu bersumber dari al-Qur’ān karena mereka berkeyakinan bahwa segala keilmuwan pasti terdapat dalam al-Qur’ān. Sebagai contoh mereka mengatakan bahwa ayat: “wa idzâ maridltu fahuwa yasyfîni” mengacu pada ilmu kedokteran. Huruf-huruf yang terpisah-pisah (dalam permulaan surat) pada al-Qur’ān dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan Aljabar dll.
- Menerapkan teori-teori ilmiah kepada al-Qur’ān
Jenis tafsir ini marak ditemukan di abad terakhir ini. Para penganutnya berusaha menerapkan ayat-ayat terhadap pendapat mereka mengenai beberapa hukum dan teori-teori ilmiah yang bagi mereka dapat diterima. Mereka memberikan interpretasi terhadap ayat-ayat yang berbeda. Seperti menafsirkan ayat “huwa al-ladzi khalaqakum min nafsin wahidatin wa ja’ala minha zawjaha”, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nafs adalah proton dan elektron, sehingga pengertian ayat tersebut adalah bahwa semua hal di alam dan kehidupan ini diciptakan dari partikel negatif dan positif. Tafsir ini tidak memperhatikan bahkan terhadap makna bahasa dan teknis dari kata nafs. Jenis tafsir seperti ini banyak ditemukan di Mesir dan Iran, dan mendorong sebagaian ulama memandang secara negatif terhadap tafsir ilmiah.
- Memanfaatkan sains untuk memahami dan menjelaskan al-Qur’ān
Dalam menjalankan metode tafsir ini harus diperhatikan rambu-rambu dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir, sebab ketika melakukan penafsiran ia memanfaatkan ilmu-ilmu yang pasti (yang didukung dengan metode naqli) dan gejala-gejala al-Qur’ān (sesuai dengan makna bahasanya) yang sejalan dengan ilmu pengetahuan[12].
Menurut penulis dari tiga klasifikasi di atas masih bisa ditambah dengan satu kalsifikasi lagi yakni menjadikan keilmuwan al-Qur’ān sebagai value dari keterbebasan nilai ilmu empiris. Sebagai contoh misalkan tentang fisika yang bisa menghitung kecepatan matahari dalam menyampaikan sinar UV ke bumi dengan cara menghitung kecepatan cahaya, maka al-Qur’ān sebagai value dari ini selalu memberi batasan bahwa yang dapat dihitung hanyalah hal-hal yang bersifat empiris sedangkan hal yang bersifat uluhiyah seperti masa yang dibutuhkan Allah dalam mencipta langit dan bumi serta isinya itu adalah ranah yang tidak bisa dijangkau kelimuwan empiris.
- Kesimpulan
Dari paparan dan pembahasan diatas sesungguhnya letak perselisihan antara mufasir yang membolehkan dan melarang adalah terletak pada aspek tafsir ilmiy yang tidak memenuhi syarat-syarat dalam koridor keilmuan al-Qur’ān. Jadi mereka yang menentang sesungguhnya tidak secara substansial menolak metode ini karena bagaimanapun perkembangan keilmuwan saat ini meniscayakan adanya tafsir dengan corak ini.
Lebih jauh lagi apa yang ditawarkan dalam tafsir ini menurut penulis adalah proses Islamisasi sains yang akhir-akhir ini banyak di usung oleh para cendekiawan muslim abad ini. Namun jika tidak hati-hati dan dengan keilmuwan yang mendalam apa yang dihasilkan dari metode tafsir ini tidak lebih adalah sebuah lipstikisasi terhadap karya keilmuwan para ilmuwan yang telah ada, sehingga kemudian al-Qur’ān dianggap hanya dompleng atas sebuah karya dan tidak pernah menghasilkan sebuah karya nyata yang ujung-ujungnya adalah penistaan al-Qur’ān secara akademis merajalela.
Sesungguhnya pada beberapa hal sains bisa berfungsi sebagai pintu gerbang memahami agama, sebaliknya relung sains hanya bisa didalami utuh dan bermartabat lewat pintu agama, bahkan optimalisasi keduanya mengantarkan ke peneguhan tauhid. Jadi menurut penulis keberadaan sains dalam fungsinya memahami al-Qur’ān merupakan hal yang urgent demi menjawab serangan ilmuwan non muslim yang mempertentangkan antara al-Qur’ān dan sains, namun seorang mufasir jangan sampai bersikap arogan dan tidak ilmiyah sehingga cenderung mengada-ngada sehingga kontraproduktif terhadap keilmuwan Islam.
---- والله أعلم بالصواب ----
Daftar Pustaka
al-Bukhariy, Abdullah, Shahih al-Bukhariy Juz 3 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987)
al-Dhahabiy, Muhamad Husein, al-Tafsir wal-Mufasirun Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr)
Al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur’ân, juz I, hlm. 86-89 )
al-Khulli, M. Amin, Al-Mizân fi tafsîr al-Mîzân, juz I, (Beirut: Dar al-Fikr)
---------------, Manahij al-Tajdid, (Beirut: Dar al-Fikr)
http://www.nooran.org/ar/d/d.htm
Rosadisastra, Andi, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial, (Jakarta: Amzah,2007)
Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002)
[1] Upaya mengambil hukum dari sumbernya baik al-qur’an maupun hadits
[2] Revisi hasil perkuliahan
[3] Muhamad Husein al-Dhahabiy, al-Tafsir wal-Mufasirun Juz 2 (Beirut: Dar al-Fikr) 508-509
[4] M. Amin al-Khulli, Al-Mizân fi tafsîr al-Mîzân, juz I, (Beirut: Dar al-Fikr) hlm. 7-8.
[5] Amin al-Khuli, Manahij al-Tajdid, (Beirut: Dar al-Fikr) hlm. 287
[6] Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial, (Jakarta: Amzah,2007) vii
[7] http://www.nooran.org/ar/d/d.htm
[8] حدثنا محمد بن يوسف حدثنا سفيان عن الأعمش عن إبراهيم التيمي عن أبيه عن أبي ذر رضي الله عنه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم لأبي ذر حين غربت الشمس ثم تدري أين تذهب قلت الله ورسوله أعلم قال فإنها تذهب حتى تسجد تحت العرش فتستأذن فيؤذن لها ويوشك أن تسجد فلا يقبل منها وتستأذن فلا يؤذن لها يقال لها ارجعي من حيث جئت فتطلع من مغربها فذلك قوله تعالى والشمس تجري لمستقر لها ذلك تقدير العزيز العلم (Abdullah al-Bukhariy, Shahih al-Bukhariy Juz 3 (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987) 1170)
[9] Tulisan M. Ali Ridha al-Asfahany, Tafsir Ilmiah Terhadap Al-qur’an di publish di www.baytalhikmah.com maret 2008
[10] Ia berusaha menghasilkan ilmu menghadirkan ruh dari ayat-ayat (67 – 72) dari surat al-Baqarah. Ia membicarakan banyak ilmu di sela-sela pembiraan tafsirnya.(Lihat: Al-Jawâhir fi Tafsîr al-Qur’ân, juz I, hlm. 86-89 )
[11] Ia mengatakan: Bangsa Arab ketika al-Qur’an turun memiliki ilmu pengethauan seperti perbintangan, pengetahuan tentang waktu-waktu turunnya hujan, pengobatan, retorika, eloquen, perdukunan, geomansi, ramalan, dan lain sebagainya. Islam telah mengklasifikasikan ilmu-ilmu tersebut menjadi dua, ilmu yang benar, dan Islam memberikan modifikasi terhadap ilmu-ilmu itu, dan ilmu yang tidak benar (perdukunan, ramalan dan lain-lain). Islam menjelaskan manfaat dan bahaya dari masing-masing ilmu tersebut, kemudian Islam memberikan contoh-contohnya dalam al-Qur’an (lihat al-Dhahabiy, Tafsir Wal Mufasirun juz 2) 658
[12] www.baytalhikmah.com diakses pada 11 Nov 2009
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H