Dalam fiqih seputar dana haji terkonsentrasi pada pembahasan seputar kejelasan  akad hak milik dana haji tersebut apakah milik Negara ataukah milik umat, akad dalam dana haji dan kejelasan penggunaan dana haji untuk diinvestasikan ke sektor yang menghasilkan keuntungan (bisnis oriented).
Sedangkan dari sisi psikologis berhubungan dengan dinamika antara umat dengan pemerintah, di mana umat memandang kepemimpinan nasional saat ini yang cenderung tidak akomodatif terhadap kepentingan umat, dan malah menjadikan umat sebagai sasaran isu radikalisme dan anti NKRI.
Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan reaksi keras umat terhadap wacana pemanfaatan dana haji untuk pembangunan infrastruktur.
Berkenaan permasalahan hak milik dana haji untuk di investasikan, dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, Permasalahan Akad. Harus diakui sampai saat ini kejelasan akad antara pemilik dana (calon Jemaah Haji) dengan pengelola dana (BPKH) masih belum terlihat jelas, walau pemerintah mengatakan menggunakan akad wakalah.
Akan tetapi, akad tersebut belum tertuang pada fatwa atau aturan tertentu. sehingga perlu kiranya BPKH meminta fatwa kepada DSN MUI untuk membuat skema baru berkaitan tentang akad tersebut. Yaitu akad yang memastikan kenyamanan dan kepastian dari sisi calon jamaah.
Kedua, berkaitan kebolehan menggunakan dana Haji, sebenarnya status kepemilikan dana setoran BPIH yang masuk dalam daftar tunggu (waiting list) sudah diatur dalam Hasil Ijtima' Ulama IV tahun 2012 tentang Status kepemilikan dana setoran BPIH.
Pada Pasal 1 Dana setoran haji yang ditampung dalam rekening Menteri Agama yang pendaftarnya termasuk daftar tunggu (waiting list) secara syar'i adalah milik pendaftar (calon jamaah haji); oleh sebab itu, apabila yang bersangkutan meninggal atau ada halangan syar'i yang membuat calon jamaah haji yang bersangkutan gagal berangkat, maka dana setoran haji wajib dikembalikan kepada calon jama'ah haji atau ahli warisnya. (Ijtima Ulama IV tahun 2012).
Dan pasal 2 dana setoran haji calon jamaah yang termasuk daftar tunggu yang terdapat dalam rekening Menteri Agama, selayaknya ditasharrufkan untuk hal-hal yang produktif serta dikelola dengan mitigasi risiko yang tinggi; oleh karena itu, atas nama pemilik, pemerintah disilakan mentasharrufkan dana tersebut pada sektor yang halal; yaitu sektor yang terhindar dari maisir, gharar, riba, dan lain-lain; membiarkan dana tersebut mengendap dalam rekening pemerintah tidaklah termasuk perbuatan bijak dan baik. (Ijtima Ulama IV tahun 2012).
Sehingga, berdasaran penjelasan pasal 2 fatwa MUI Tahun 2012. membolehkan dana haji tersebutkan ditassarufkan kepada sektor produktif salah satunya infrastruktur, asalkan sektor tersebut halal dan terhindar dari maisir, gharar, riba dan lain-lain.
Hal ini juga mengacu pada pasal 3 UU No. 34 tahun 2014 tentang penggunaan dana haji adalah untuk kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji, rasionalitas dan efisiensi penggunaan BPIH dan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.
Hal serupa disampaikan oleh Dr. Erwandi Tarmizi (pakar Muamalat Kontemporer) bahwa Dana Haji itu boleh digunakan oleh pemerintah untuk pembangunan infrastruktur karena pada hakikatnya akad yang terjadi antara umat Islam yang mau menunaikan ibadah haji adalah akad jual-beli, yaitu jual beli jasa.