Suatu hari, Hirsi Ali menemani adik sepupunya mengunjungi rumah temannya, yaitu rumah Anab. Hirsi Ali menemukan kekacauan yang luar biasa di rumah tersebut. Rumah tersebut keseluruhan berbau air kencing, terdapat dua balita yang berkeliaran memakai popok yang telah lama digunakan. Hirsi Ali dan sepupunya, Maryan, duduk di sofa sembari menunggu Anab membuatkan teh untuk mereka.
 Maryan tiba-tiba berkata "kamu lihat rekaman video itu? Itu semua pornografi. Suami Anab memaksanya untuk menonton video-video itu dan melakukan hal-hal gila yang ditunjukkan video itu dan Anab diperkosa secara anal. Suaminya bersikap demikian, karena menganggap Anab telah kehilangan keperawanannya, yang sama halnya dengan pelacur.
Kisah Anab memberikan gambaran kepada kita tentang seorang gadis yang dikorbankan atas nama kultur sakral keperawanan, yang dilakukan untuk menjaga kehormatan keluarga. Berbeda dengan adik Anab, Shukri lebih memilih untuk pergi dan tak pernah berharap memiliki hubungan apapun dengan keluarganya.Â
Doktrin tersebut tidak hanya merugikan Anab, tetapi anak-anaknya serta suaminya pun menjadi korban atas mitos keperawanan tersebut, dan yang terlebih merasakan derita itu adalah anak-anaknya, yang telah dibesarkan dalam tempat sampah. Akan seperti apakah nasip mereka?.
Oleh karena itu, Hirsi Ali mengajak umat Muslim untuk kembali dan tidak takut untuk memberikan kritikan terhadap ajaran-ajaran agamanya, agar tidak hidup dalam sebuah ilusi. Karenanya, kesimbangan antara agama dan rasio itu sangat penting.Â
Selain itu, umat Muslim harus terbuka terhadap nilai-nilai universal, kebebasan individual, kesetaraan laki-laki dan perempuan dan tidak menganggap bahwa nilai-nilai tersebuat secara eksklusif adalah milik barat. Umat Muslim penting untuk terlibat dalam analisis rasional dan ilmiah. Meskipun nilai dan metode-metode tersebut lahir dari tradisi keilmuan barat, namun tidak berarti metode tersebut kurang relevan untuk digunakan.
Dalam buku Hirsi Ali pada dasarnya juga mengajak pembaca untuk melihat penderitaan-penderitaan yang dialami oleh perempuan Muslim, sebagai akibat dari ilusi ajaran agama yang dianggap sebagai kebenaran, namun justru menjadi penyebab akan penderitaan dan kehancuran peradaban perempuan Muslim.
 Tidak adanya kebebasan pada perempuan, serta kehidupan yang hanya dibentuk dalam ruang keperawanan perempuan membuat perempuan Muslim terbatas dalam meraih pengetahuan. Sehingga, menutup diri perempuan untuk melihat dunia dengan pengetahuan, membatasi ruang gerak perempuan, yang pada akhirnya kehidupan perempuan berakhir pada kebodohan.
Hal inilah yang diperjuangkan oleh Hirsi Ali sebagai bagian dari anggota parlemen. Ia juga mengajak barat untuk membantu Muslim dan tidak mendukung mereka dalam ilusi ajaran agamanya. Hirsi Ali juga melakukan kritik terhadap pemerintah barat yang sejauh ini mempertahankan satu masyarakat terbuka dan toleran berdasarkan pada gagasan hak dan memerangi ekstrimisme.Â
Namun, di sisi lain membantu para Muslim dalam proses penyebaran ajarannya. Artinya, pemerintah Barat juga memiliki kepentingan politik dengan kelompok-kelompok ekstrim lainnya. Buku ini memang tidak hanya membahas tentang kehidupan perempuan, tetapi juga mengaitkannya pada persoalan politik, karena mengingat Hirsi Ali selain seorang penerjemah, dan penulis, Ia juga seorang politikus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H