Mohon tunggu...
Miftahul Jannah
Miftahul Jannah Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni UIN Sunan Kalijaga - Kajian Gender

Semesta berbisik bahwa yang dibutuhkan oleh manusia adalah kesimbangan hidup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sangkar Keperawanan dalam Tradisi Islam Fundamentalis, Menutup Jalan Kemerdekaan Perempuan

31 Oktober 2024   06:59 Diperbarui: 31 Oktober 2024   07:05 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tulisan ini terinspirasi dari buku "Belalah Hak-Hakmu! Perempuan dalam Islam" karya Ayaan Hirsi Ali. Dalam buku tersebut, sebenarnya mengandung hal-hal yang dapat menimbulkan kontroversial, utamanya yang menyoroti persoalan ajaran ke-Islaman yang bersifat fundamental. Akan tetapi, dalam tulisan ini, penulis memfokuskan pada persoalan yang berkaitan dengan "Sangkar Keperawanan dalam Tradisi Islam Fundamentalis". 

Suatu persoalan yang kemudian berkaitan tentang kemerdekaan hidup perempuan, yang pada akhirnya menjadi penghalang atas perempuan dalam melihat dunia dengan pengetahuan. Meskipun karya Hirsi Ali mengandung hal-hal yang bersifat kontroversial, tetapi penulis meyakini kita dapat mengambil manfaat dari karya tersebut sebagai bahan refleksi sebagaimana yang akan penulis fokuskan dalam tulisan ini.

Buku "Belalah Hak-Hakmu! Perempuan dalam Islam", karya dari Ayaan Hirsi Ali merupakan sebuah karya yang lahir dari pengalaman hidupnya, serta kesaksiannya terhadap kehidupan perempuan-perempuan dalam tradisi keislaman. 

Hirsi Ali terbilang sebagai perempuan yang kritis, dan pemberani. Hal tersebut ditandai dengan sikap Hirsi Ali yang melakukan perlawanan saat ingin dijodohkan dengan sepupu dari ayahnya. 

Hirsi Ali melakukan perlawanan dengan melarikan diri ke Belanda. Di sana Ia merasa telah menjadi dirinya sendiri, meraih kemerdekaan hidup dengan belajar dan bekerja. Ia melanjutkan Pendidikan hingga akhirnya meraih gelar sarjana, Ia juga belajar bahasa dan bekerja sebagai penerjemah di sejumlah tempat. Andaikan Hirsi Ali menikah, Ia akan menjalani hari-harinya menjadi Ibu rumah tangga dan seorang Ibu dengan pengetahuan seadaanya.

Sikap kritis dan keberanian Hirsi Ali juga terlihat dari tindakannya yang aktif menyuarakan pendapat melalui surat kabar, majalah, televisi, dan radio. Tentunya perhatian Hirsi Ali tersebut diarahkan pada hal-hal yang berkaitan dengan perempuan-perempuan Muslim di Belanda dan Eropa Barat. 

Keaktifan Hirsi Ali dalam menyuarakan nasip perempuan Muslim menyebabkan dirinya menjadi perwakilan parlemen bagi Partai Buruh, meskipun akhirnya beralih ke Partai Liberal, karena menganggap dalam partai tersebut lebih banyak mendapatkan dukungan untuk membantu Perempuan-perempuan Muslim.

Membaca buku Hirsi Ali seolah mengajak kita berdialog tentang pentingnya menjadi Perempuan Muslim yang merdeka. Terdapat pernyataan yang menarik dalam buku Hirsi Ali, yang menyatakan bahwa; akibat dari "Kultur Keperawanan" tidak hanya menjadikan Perempuan sebagai korban, tetapi laki-laki pun menjadi korban yang sama banyaknya dengan Perempuan.  

Adapun hasil dari kultur tersebut, laki-laki tidak dibesarkan oleh Ibu yang sehat, seimbang dan Pendidikan yang baik. Penekanan yang kuat atas "kejantanan" dalam pengasuhan mengakibatkan laki-laki tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi yang tentunya sangat dibutuhkan untuk kehidupan yang harmonis dalam keluarga.

Persoalan moralitas seksual menjadi salah satu persoalan yang diangkat menjadi dogma, moralitas yang dibangun dalam Islam terekspresikan melalui sebuah obsesi atas keperawanan. Moralitas seksual ini hanya digunakan pada Perempuan, sedangkan laki-laki tak dilatih untuk menyikapi dengan baik seksualitasnya. Seorang Perempuan lebih ditekankan untuk menutup dirinya dibandingkan dengan laki-laki. 

Akibat dari obsesi tersebut Perempuan Muslim seringkali diberitahu bahwa seorang gadis  dengan selaput darah yang pecah, seperti objek bekas dan objek yang telah digunakan sebelum menikah. Sehingga, Perempuan tidak dianggap berharga secara permanen karena kehilangan segel, Ia tidak akan menemukan pasangan dan akan mendapatkan kutukan dari orang sekitarnya.

Ada beberapa cara yang dilakukan dalam Islam untuk menjaga keperawanan Perempuan, yaitu Pertama, dengan memerintahkan Perempuan menggunakan jilbab untuk mencegah laki-laki bertindak buruk terhadapnya. Kedua, memisahkan ruangan antara laki-laki dan Perempuan, atau menjadikan Perempuan tahanan rumah yang bermula pada masa pubertas, dan Ketiga, yang paling ekstrim yaitu tradisi khitan Perempuan. 

Suatu proses pemotongan klitoris Perempuan, yang juga mengikis dinding vagina dengan objek yang tajam. Meskipun praktik tersebut tidak ditentukan dalam al-qur'an, adat yang asalnya dari kesukuan tersebut dijadikan sebagai dogma religious. Keempat, Perempuan sebelum menikah berada di bawah kekuasaan orangtuanya, kemudian setelah Ia menikah kekuasaan beralih kepada suaminya, sehingga ketika Ia hendak keluar rumah harus mendapatkan izin terlebih dahulu, hal ini sebagai upaya menjaga perempuan dari tindakan seksual.

Persoalan moralitas seksual ini menjadi problem, karena terdapat pengekangan pada pihak Perempuan, ada banyak sekali aturan terhadap Perempuan hanya untuk menjaga keperawanannya, sehingga Perempuan dibentuk berdasarkan pada penjagaan atas keperawanan. Hal inilah kemudian yang menjadi alasan disebut sebagai sangkar keperawanan. 

Ketika Perempuan hanya dipersepsi dengan kacamata keperawanan, maka akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap generasinya, mengingat perempuan sebagian besar dikecualikan dari Pendidikan dan dengan sengaja dijaga untuk tetap bodoh, karenanya ketika perempuan menjaga anak-anaknya, maka mereka hanya akan bisa menurunkan pengetahuan yang terbatas dan akan mengekalkan lingkaran setan kebodohan dari generasi ke generasi. 

Hal inilah yang kemudian menjadi kritikan dari Hirsi Ali terhadap Muslim (kelompok fundamentalis). Ia menganggap seorang Muslim kehilangan pandangan tentang keseimbangan antara agama dan rasio. Oleh karenanya, kemiskinan, kekerasan, ketidakstabilan politik, dan penderitaan manusia adalah hasilnya. 

Tidak adanya keseimbangan antara agama dan rasio pada akhirnya juga membuat Muslim tidak mampu membuka ruang pengetahuan, sebagai contoh persoalan seksualitas, atau Pendidikan seksual, yang tabu untuk dibicarakan dalam Islam, karena hanya berfokus pada persoalan sangkar keperawanan. 

Dalam hal ini, Hirsi Ali menceritakan tentang apa yang telah Ia saksikan terkait perempuan Muslim di Barat, yang tidak memiliki cukup pengetahuan terkait seksualitas. Ia menceritakan kisah seorang Ibu yang terdeteksi positif-HIV, yang tidak percaya akan apa yang Ia alami. 

Ia menganggap bahwa penyakit HIV tidak mungkin dialami oleh seorang Muslim, menurutnya penyakit itu hanya akan ditimpa oleh orang-orang di luar agamanya, utamanya kaum homoseksual. Ia menganggap dirinya sudah menjalani kehidupan yang berbudi luhur dan suci, dan ternyata penyakit HIV itu hadir dari suaminya yang telah melakukan hubungan seksual dengan perempuan lainnya.

Selain itu, Hirsi Ali juga menceritakan kisah seorang perempuan imigran pencari suaka yang masih di bawah umur, namanya Anab. Di Belanda Anab tinggal bersama kakak tirinya, Saied, yang telah memiliki istri. Anab tentu tidak sendiri, ia bersama adiknya Shukri. Mereka memiliki nasip yang buruk akibat mendapatkan pelecehan seksual dari kakak tirinya.

 Shukri dengan keberaniannya melaporkan tindakan kekerasan tersebut kepada pihak yang berwenang. Akhirnya, Saied ditangkap oleh polisi dan dipenjarakan. Namun, nasip buruk Anab tidak berakhir di situ. Pihak keluarga Anab mengupayakan untuk menemukan sepupu yang siap menikahi Anab untuk membersihkan nama keluarga. 

Akhirnya, Anab dinikahkan dengan sepupu yang juga kesusahan mencari istri. Keluarga Anab berkata kepadanya, "Kami memiliki istri untukmu, tetapi kamu harus menjaga mulutmu tentang apa yang telah menimpanya". 

Suatu hari, Hirsi Ali menemani adik sepupunya mengunjungi rumah temannya, yaitu rumah Anab. Hirsi Ali menemukan kekacauan yang luar biasa di rumah tersebut. Rumah tersebut keseluruhan berbau air kencing, terdapat dua balita yang berkeliaran memakai popok yang telah lama digunakan. Hirsi Ali dan sepupunya, Maryan, duduk di sofa sembari menunggu Anab membuatkan teh untuk mereka.

 Maryan tiba-tiba berkata "kamu lihat rekaman video itu? Itu semua pornografi. Suami Anab memaksanya untuk menonton video-video itu dan melakukan hal-hal gila yang ditunjukkan video itu dan Anab diperkosa secara anal. Suaminya bersikap demikian, karena menganggap Anab telah kehilangan keperawanannya, yang sama halnya dengan pelacur.

Kisah Anab memberikan gambaran kepada kita tentang seorang gadis yang dikorbankan atas nama kultur sakral keperawanan, yang dilakukan untuk menjaga kehormatan keluarga. Berbeda dengan adik Anab, Shukri lebih memilih untuk pergi dan tak pernah berharap memiliki hubungan apapun dengan keluarganya. 

Doktrin tersebut tidak hanya merugikan Anab, tetapi anak-anaknya serta suaminya pun menjadi korban atas mitos keperawanan tersebut, dan yang terlebih merasakan derita itu adalah anak-anaknya, yang telah dibesarkan dalam tempat sampah. Akan seperti apakah nasip mereka?.

Oleh karena itu, Hirsi Ali mengajak umat Muslim untuk kembali dan tidak takut untuk memberikan kritikan terhadap ajaran-ajaran agamanya, agar tidak hidup dalam sebuah ilusi. Karenanya, kesimbangan antara agama dan rasio itu sangat penting. 

Selain itu, umat Muslim harus terbuka terhadap nilai-nilai universal, kebebasan individual, kesetaraan laki-laki dan perempuan dan tidak menganggap bahwa nilai-nilai tersebuat secara eksklusif adalah milik barat. Umat Muslim penting untuk terlibat dalam analisis rasional dan ilmiah. Meskipun nilai dan metode-metode tersebut lahir dari tradisi keilmuan barat, namun tidak berarti metode tersebut kurang relevan untuk digunakan.

Dalam buku Hirsi Ali pada dasarnya juga mengajak pembaca untuk melihat penderitaan-penderitaan yang dialami oleh perempuan Muslim, sebagai akibat dari ilusi ajaran agama yang dianggap sebagai kebenaran, namun justru menjadi penyebab akan penderitaan dan kehancuran peradaban perempuan Muslim.

 Tidak adanya kebebasan pada perempuan, serta kehidupan yang hanya dibentuk dalam ruang keperawanan perempuan membuat perempuan Muslim terbatas dalam meraih pengetahuan. Sehingga, menutup diri perempuan untuk melihat dunia dengan pengetahuan, membatasi ruang gerak perempuan, yang pada akhirnya kehidupan perempuan berakhir pada kebodohan.

Hal inilah yang diperjuangkan oleh Hirsi Ali sebagai bagian dari anggota parlemen. Ia juga mengajak barat untuk membantu Muslim dan tidak mendukung mereka dalam ilusi ajaran agamanya. Hirsi Ali juga melakukan kritik terhadap pemerintah barat yang sejauh ini mempertahankan satu masyarakat terbuka dan toleran berdasarkan pada gagasan hak dan memerangi ekstrimisme. 

Namun, di sisi lain membantu para Muslim dalam proses penyebaran ajarannya. Artinya, pemerintah Barat juga memiliki kepentingan politik dengan kelompok-kelompok ekstrim lainnya. Buku ini memang tidak hanya membahas tentang kehidupan perempuan, tetapi juga mengaitkannya pada persoalan politik, karena mengingat Hirsi Ali selain seorang penerjemah, dan penulis, Ia juga seorang politikus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun