Lebih lanjut menurut Imam Nakhai, perdebatan panjang terjadi tentang usia berapa perempun dan laki laki boleh menikah.  Umumnya kitab kitab fiqih klasik,  menyatakan bahwa tidak ada usia minimal untuk menikah,  bahkan usia 1 tahun pun sudah boleh dinikahkan, sekalipun dengan syarat  tidak boleh digauli sampai dalam tahap mampu dan layak di dan melakukannya. Disamping itu anak yang telah dinikahkan, khususnya perempuan diberi kesempatan untuk membatalkan perkawinannya ketika sudah baliq.
Pandangan fiqih semacam ini, walaupun ada sisi kemanusiaannya, tetapi telah membuka ruang terjadinya perkawinan  anak di seluruh dunia,  disamping faktor faktor pemicu lainnya. Jika kita bertanya pada hati terdalam,  dan apalagi mereka adalah anak kita,  "relakah jika anak anak kita dinikahi ketika masih anak anak,  apalagi dibawah usia 12 tahun misalnya "? Saya yakin, jawabannya "tidak rela", persis dengan pertayaan kepada istri "bersediakah dipoligami? Jawabannya jelas tidak rela.  Kalau ada yg rela,  mungkin terlalu besar cintanya kepada "surga", dan tidak punya jalan lain kecuali itu.
Kita pasti yakin bahwa "agama" hadir untuk memanusiakan manusia dan memberikan jaminan kemaslahan/kebahagian kini dan esok  hari.  Jika ada agama yg tidak memberikan kebahagian dan justru bertentangan  dangan nurani kemanusiaan,  pastilah bukan karena agamanya,  melainkan tafsir agamanya yg bermasalah. Agama adalah apa yg tertulis dalam al Qur'an  dan as Sunnah yg shahihah, sementara pemahaman terhadap keduanya yang menjelma dalam kitab kitab fiqih dan tafsir adalah produk tafsir manusia  atas firman dan sabda itu.
Usia anak dan usia perkawinan adalah tafsir terhadap agama dan bukan agama itu sendiri. Sebab di dalam al Qur'an  tidak ada satupun ayat yg menjelaskan "batas" usia anak dan usia perkawinan. Al Qur'an  hanya menjelaskan kriteria kapan seorang layak melangsungkan perkawinan.
Memang ada informasi dalam hadis  shahih bahwa Rasul menikah dengan Aisyah ra,  ketika berusia 6 atau 7 tahun, dan baru hidup serumah ketika berusia 9 tahun.  Hidup serumah itu tidak berarti melakukan hubungan seksual seperti  sering dibayangkan oleh orang yang kotor pikirannya.  Sekalipun ada satu hadis ini,  tetapi sangat tidak Rasional jika kita meninggalkan puluhan hadist nabi tentang perlunya mempersiapkan kematangan dalam perkawinan.
Maraknya kawin anak saat ini disebabkan antara lain oleh tafsir  yang salah terhadap agama.  Tafsir seperti apa yg mendekati tujuan agama yang memanusiakan manusia dan menjamin  kebahagian manusia?
Pandangan Pemerintah dan Panja DPR
Dalam prosesnya pemerintah diwakili Kementerian Agama RI melalui Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mendukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan DPR merevisi batas pernikahan anak yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1). MK menilai batas usia pernikahan perempuan dengan laki-laki yang berbeda bersifat diskriminatif. Putusan itu memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Karena itu, ia menilai tak perlu ada perbedaan usia minimal pernikahan untuk laki-laki maupun perempuan.
Menag RI menilai putusan MK itu adil. Saat ini memang tidak perlu ada pembedaan batas minimal usia perkawinan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Artinya, batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun, dengan syarat mendapat izin dari orang tua. Klausul mendapat izin dari orang tua harus digarisbawahi karena UU No 1 Tahun 1974 mengatur usia perkawinan dalam tiga level sebagaimana diatur dalam Bab II tentang Syarat-Syarat Perkawinan. Â
Level pertama diatur dalam Pasal 6 ayat (2) bahwa untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. "Artinya, pada level pertama, pada dasarnya batas minimal usia perkawinan adalah 21 tahun. Boleh menikah di bawah 21 tahun dengan syarat mendapat izin orang tua.
Level kedua, perkawinan di bawah usia 21 tahun hanya dimungkinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun, dan keduanya mendapat izin dari kedua orang tua. Ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Perkawinan.