Terkait dengan kebijakan melakukan perubahan UU. No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perlu dilakukan pembahasan secara komprehensif, dengan memperhatikan aspek filosofis, sosio kultural, dan pertimbangan yuridis. Memang, Mahkamah Konstitusi beberapa kali menguji Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melalui putusannya, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017 mengenai batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015.
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi 13 Desember 2018, dalam amar putusan mengabulkan sebagian dari gugatan uji materi terkait pembedaan usia perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. MK menyatakan perbedaan batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan dalam UU tersebut menimbulkan diskriminasi.
Pembedaan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan sebelumnya digugat oleh sekelompok orang yang menunjuk beberapa kuasa hukum, yang menyoal pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan yang mengatur batas minimal usia perkawinan 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan.
Kaidah hukum mengajarkan bahwa dar u al-mafasid muqoddamun 'ala jalbi al-mashalih (mencegah madharat lebih diutamakan dibanding upaya perbaikan). Dengan demikian, maka dalam rangka melindungi anak-anak Indonesia dari kemadaratan yang dapat ditimbulkan oleh pernikahan dibawah umur dewasa mengakibatkan terhalang hak-hak azasinya, termasuk hak mendapat pendidikan, sebagaimana dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 C "Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia," maka tidak patut menikah bagi anak dibawah umur dewasa.
Usia Anak vs Usia Kawin (Memahami konsep Balig-Aqil-Rasyid)
Mengutip Imam Nakha'i, salah seorang Komisioner Anti Kekerasan terhadap Perempuan bahwa maraknya perkawinan anak, yaitu seorang yang belum mencapai usia 18 tahun,  disebabkan antara lain oleh tafsir agama. Di dalam kehidupan masyarakat sering kita dengar istilah "akil balig"  sebagai petanda bahwa orang telah dewasa,  layak menerima beban kewajiban,  termasuk boleh menikah.  Istilah akil balig adalah istilah yg tidak tepat,  kebolak balik,  akibatnya seringkali melahirkan cara pandang yang kebalik balik juga. Sebab itu,  penting kembali lagi kepada al Qur'an,  untuk memahami konsep balig.  Di dalam al Qur'an  ada 3 pengertian balig.  Pertama: balagha al hulum,  kedua balaghu an nikah,  dan ketiga balaghu asyuddah.
Balagha artinya "sampai-mencapai". Sampai kemana? Â Menurut al Qur'an, Â seorang yg telah mencapai mimpi basah (hulum), Â ada yg telah mencapai usia perkawinan (an nikah) dan ada yg sampai kematangan (syiddah). Balagha al hulum difirmankan dalam konteks berfungsinya alat seksualitas dan reproduksi. Â Sebab itu disaat ini, Â anak yg sudah mimpi basah wajib diajari meminta izin ketika akan memasuki ruang keluarga, Â khususnya di tiga waktu dimana ayah ibu dan keluarga lain biasa membuka aurat. Â Mengapa? Agar anak tidak melihat aurat keluarga yang telah mereka mengerti.
Balaghu an nikah difirmankan dalam konteks kapan seorang anak telah bisa diberi beban mengelola harta.  Al Qur'an menyatakan  bahwa seorang mampu mengelola harta ketika ia telah dewasa (ar rusydu),  menurut ahli tafsir ar rusydu adalah kedewasaan yg ditandai dengan kecakapan mengelola harta dan memiliki spiritualitas yg baik (shalahu al mal wa ad din).  Menarik mengamati mengapa al Qur'an  menyebut kedewasaan mengelola harta dan spiritualitas dengan istilah "balaghun nikah". Bagi yg mempelajari usul fiqih akan segera menangkap bahwa al Qur'an mengisyarahkan (isyaratun nash) bahwa usia nikah itu adalah usia kedewasaan mengelola harta dan kedewasaan spiritualitas.  Bukan usia balagha al hulum.
Kapan seorang dianggap dewasa?  Al Qur'an  tidak memberi angka,  ia hanya memberi tanda.  Siapa yang bisa membaca tanda itu?  Jika yg dimaksud  kedewasaan alat reproduksi,  maka ahli medis yg memutuskan.  Jika kematangan emosional,  maka ahli psikologi.  Jika kedewasaan sosial,  maka ahli sosiologi. Jika mereka menetapkan 20 tahun,  misalnya,  maka itulah usia dewasa itu.
Sedang balagha asyuddah, bermakna sampai pada usia keras, usia matang. Â Ini difirmankan dalam konteks kecakapan seorang untuk menjadi pemimpin atau mengambil kebijakan penting (atainahu hukman wa ilman). Inilah usia kenabian. Jadi jelas, Â bahwa usia berfungsinya alat reprodruksi, bukan usia nikah, Â dan bukan pula usia syiddah. Usia nikah adalah usia dimana seorang dewasa secara finansial, Â spiritualitas, Â emosional dan sosial. Â Berapa itu? Serahkan kepada ahlinya. Â selanjutnya serahkan kepada ahli medis, Â sosial, Â psikis dan ahli lain dibidangnya.
Usia Anak vs Usia Perkawinan