Cheng Ho dalam pelayarannya itu telah lima kali mengunjungi kawasan Nusantara, singgah di pulau Sumatra dan pulau Jawa. Lokasi yang dikunjunginya, antara lain Samudra Pasei (Aceh), Palembang, konon Semarang, dan Cirebon. Misi yang dibawa Cheng Ho tidak hanya memamerkan kekuatan militer kekaisaran Ming, namun ia memperlihatkan keluhuran kebudayaan China, membina hubungan dengan negara-negara di wilayah selatan, yang sempat terputus, dan ia berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di berbagai wilayah yang dikunjunginya itu.
Meskipun ada juga cerita bahwa Cheng Ho disebut penganut Budha, hal ini dapat di lihat dengan diberikannya julukan oleh Kaisar Yung Lo sebagai Ma San Bao (Ma Si Tiga Permata). Pada masyarakat santun, julukan itu menunjuk pada Tri Ratna dalam Buddhisme. Sementara pada lingkungan yang lain (maaf sebut saja-bejat), julukan itu berarti bahwa Ma seorang prajurit jempolan meski tak punya zakar dan penis, julukan Ma San Bao yang merujuk pada Tri Ratna (Buddha, Dharma, dan Sangha) seakan menyiratkan agama yang dianut Cheng Ho. Buddha adalah guru, Dharma adalah ajaran dan Sangha adalah para pendeta dan. Kendati dijuluki Ma San Bao, mengutip Sumanto Alqurthuby bahwa menurutnya ia tetap yakin Cheng Ho adalah seorang muslim yang melakukan Islamisasi. Menyebut Cheng Ho bukan muslim bahkan dijadikan dewa yang disembah di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong oleh penganut Konfusianis di Tiongkok adalah sebuah anakronisme atau hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu.
Masyarakat Indonesia begitu menghormati Laksamana Cheng Ho sebagai seorang muslim yang melakukan Islamisasi di Nusantara. Karenanya nama ia diabadikan sebagai nama masjid di berbagai daerah di Indonesia. Diplomasi politik dari jalur darat menjadi jalur laut yang mengerahkan kapal-kapal berisi 27.550 orang perwira dan prajurit  itu meliputi politisi, juru tulis, pembuat peta, tabib, ahli astronomi, ahli bahasa, ahli geografi, dan ahli agama, sebagai commander in chief-nya diserahkan kepada Cheng Ho lewat sebuah Dekrit Kerajaan dengan wakil Laksamana Muda Heo Shien (Husain), sekretaris Haji Ma Huan dan Fei Shin (Faisal), juru bahasa Arab selain Ma Huan adalah Hassan, seorang imam pada bekas ibukota Sin An (Changan), bahkan sang Kaisar yang mengutus Cheng Ho memberikan banyak gulungan kertas bersegel kaisar dinasti kala itu, itu artinya Cheng Ho diberikan kewenangan penuh -jika dibutuhkan- dapat mengeluarkan dekrit selama dalam perjalanan pelayaran.
Dijelaskan selain mengemban misi menjalin persahabatan dengan negara-negara lain serta menunjukkan supremasi politik dan ekonomi bangsa Tiongkok, ekspedisi Cheng Ho juga membawa agenda tersembunyi (hidden agenda). Penempatan konsul, diplomat, dan duta keliling mesti dibaca dalam penegakan otoritas politik. Demikian pula penempatan konsul dagang mesti dilihat dari aspek ekonomi. Juga persebaran para juru dakwah Islam di hampir setiap kota yang disinggahi adalah upaya melakukan misionarisme Islam (Islamisasi). Singkatnya, ekspedisi besar itu menyimpan hidden agenda baik untuk kepentingan pragmatis Kekaisaran Ming maupun kepentingan 'primordial Islam' Cheng Ho, menurut Sumanto lagi. Di Palembang, Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang sudah sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang-orang Tionghoa. Dari situ, Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa Islam di Sambas. "Barangkali di Palembang-lah masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan di Jawa, Semenanjung dan Filipina, kehadiran armada Cheng Ho di pesisir Jawa, terutama pada pelayaran pertama tahun 1405 dan ketiga tahun 1413, disambut cukup antusias oleh masyarakat Islam setempat terlebih para pemuka agamanya. Seperti Maulana Malik Ibrahim, tokoh muslim awal di Gresik, yang menyambut baik rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho kemudian meninggalkan juru dakwah Tionghoa dan pengikutnya yang berhasrat tinggal di Jawa untuk berbaur dengan komunitas Islam guna menyebarkan Islam. Hampir di setiap pesisir Jawa sejak Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara sampai Tuban, Gresik dan Surabaya, Cheng Ho selalu menempatkan orang-orang Islam dari Tiongkok. Sebagian dari anak buah Cheng Ho tetap tinggal di pantai utara Jawa. Bagaimanapun juga ada diaspora Muslim Tionghoa pada periode itu untuk berdagang. Para pedagang ini yang mungkin menyebarkan Islam, karena tiap muslim punya kewajiban dakwah meski hanya satu ayat. Mereka berasal dari Mazhab Hanafi. Dengan demikian mereka berkontestasi dengan Mazhab Syafi'i yang dibawa dari India dan Timur Tengah. Lalu kalah.
Islam Nusantara, NU dan  Gus Muhaimin
Setelah armada Cheng Ho beberapa kali ke Nusantara dalam periode yang relatif berdekatan, yakni pada 1408, 1409, 1413, dan 1416. Kunjungan terakhir Cheng Ho ke Nusantara adalah pada 1430, ketika usianya sudah hampir mencapai 60 tahun. Tiga warsa berselang, sang laksamana meninggal dunia. Cheng Ho datang ketika Nusantara, terutama di Jawa dan Sumatera, sedang menatap masa peralihan dari era kerajaan Hindu-Buddha ke Islam. Cheng Ho disebut-sebut berperan penting dalam penyebaran ajaran Islam di Nusantara yang nantinya menjadi agama mayoritas di Indonesia meskipun ia adalah orang asli Cina, bahkan duta resmi Dinasti Ming. Di Jepara beberapa ornamen di Masjid Astana Sultan Hadirin Mantingan juga banyak dijumpai ornamen-ornamen khas China, ada banyak sekali masjid-masjid di Indonesia yang mempunyai ciri China, mulai dari bentuk bangunannya hingga ornamen-ornamen yang ada di dalam dan di luar masjid, di Tuban dan Pati juga terdapat lingga dan yoni, sebuah simbol yang erat dengan China. Begitu pun dengan motif ukiran yang menyerupai naga.
Perjalanan Cheng Ho di Nusantara, melalui jalur sutra memiliki posisi strategis masuknya islam di Indonesia, Cheng Ho dianggap pembuka jalur sutra baru dari China ke Asia Tenggara melalui jalur laut. Islam yang berkembang di Indonesia adalah islam yang dipengaruhi masuknya perdagangan para saudagar Arab, China  dan persia, termasuk didalamnya pelayaran Laksamana Cheng Ho, yang kemudian juga penyebaran islam ini dikembangkan oleh para wali songo, islam yang tidak menghapus kebudayaan dan adat nusantara, namun para wali kala itu secara perlahan dan penuh kasih sayang, secara bertahap memasukan ruh ajaran islam ke dalam setiap sendi kehidupan termasuk ke dalam adat, budaya nusantara, ini sangat sesuai dengan ajaran kaidah Fiqhiyyah, almuhafadzaatu alalqadimisshalih wal akhdzu biljadidil ashlah (mengambil atau membiarkan tradisi lama yang baik dan mencari dan menemukan sesuatu yang baru yang lebih baik).
Perkembangan Islam di Nusantara, seperti yang telah tercatat dalam sejarah, kaya akan budaya, adat istiadat yang terdiri dari banyak suku, ras dan golongan. Islam nusantara yang berkembang di Indonesia adalah islam rahmatan lil alamin, islam yang menjadi rahmat bagi alam semesta raya dan seisinya. Oleh karena itu, tidak bisa dipertentangkan antara budaya dan agama, selama tidak bertentangan dengan akidah Islam. Dakwah islam nusantara mendahulukan aspek manusiawi, mendahulukan keamanan dan kenyamanan masyarakat baru kemudian menyentuh aspek agama. Dalam sejarah dakwah di nusantara yang harus didahulukan adalah memenuhi kebutuhan dasar manusia, salah satunya rasa aman dan nyaman.
Islam Nusantara yang merupakan manifestasi ajaran islam rahmatan lil alamin inilah islam yang hari ini dikembangkan oleh Nahdlatul Ulama. Nahdlatul Ulama sebagai salah satu ormas islam terbesar di Indonesia yang berdiri pada 31 Januari 1926 bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial dan ekonomi berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, yang masa itu berdirinya NU dipengaruhi kondisi sosial politik dalam dan luar negeri, yang kala itu masa perlawanan terhadap penjajah sekaligus merupakan kebangkitan politik dalam menjawab kepentingan nasional dan dunia islam, Nahdlatul ulama dalam derap langkah organisasinya berprinsip tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), tawasuth (tengah/moderat) dan taaddul (adil). Dalam sejarahnya untuk memenuhi aspirasi politik kaumnya, NU sendiri pernah terjun ke politik praktis dengan memisahkan diri dari Masyumi sehingga menjadi partai NU mengikuti pemilu pada tahun 1955 dengan perolehan 45 kursi DPR dari 91 kursi konstituante, menggabungkan diri dengan PPP pada tahun 1973 dan kemudian pada muktamar NU di Situbondo, NU mendeklarasikan tidak berpolitik praktis lagi atau sering kita kenal kembali ke Khittah 1926, fokus berkhidmat kepada ummat dan bangsa.
Selanjutnya pada masa reformasi NU yang dipelopori para kyai terutama 5 deklarator yaitu KH. Munasir Ali, KH Ilyas Ruhiyat, KH. Muhit Muzadi, KH. Mustofa Bisri dan KH Abdurrahman Wahid melahirkan Partai kebangkitan Bangsa, dan langsung mengikuti pemilu pada tahun 1999 dengan perolehan kursi sebanyak 51 kursi DPR dan menghantarkan KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI. Selanjutnya, Islam rahmatan lil alamin hadir sebagai fondasi kehidupan manusia, agama sebagai rahmah bagi seluruh umat manusia, agama dengan konsep kemanusiaan. Karena konsep kemanusiaan tidak memandang manusia atas dasar harta, jabatan, warna kulit, suku, ras dan lain sebagainya yang bersifat fisik, baik secara individu maupun kelompok, hal ini sesuai (QS. Al Hujurat [49]:13 disebutkan "Inna akramakum 'indallahi atqaakum" bahwa semua manusia adalah sama dengan berbagai adat, suku, kelompok dan embel-embel lainnya, yang menjadi pembeda dan  semulia-mulia manusia adalah taqwanya. Sebagaimana Ubay bin Kaab, yang juga dikenal sebagai Abu Mundhir, salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal dan terpandang di antara komunitas kaum Muslim awal. Ubay bin Ka'ab mengenai takwa. Ubay bertanya, "Pernahkah kamu berjalan di jalan yang penuh dengan duri?" Umar menjawab, "Ya." Ubay bertanya lagi, "Apa yang engkau lakukan?" Umar menjawab, "Aku menggulung lengan bajuku dan berusaha (melintasinya)." Ubay berkata, "Inilah (makna) takwa, melindungi seseorang dari dosa dalam perjalanan kehidupan yang berbahaya sehingga ia mampu melewati jalan itu tanpa terkena dosa, inilah defenisi takwa lebih menekankan sisi kemanusiaan, sholeh secara sosial. Â
Gus Muhaimin nakhoda dakwah islam nusantara perspektif politik