Politik perjalanan yang merangkul, memberikan hadiah kepada daerah-daerah yang disinggahinya ini juga dilakukan ketika singgah di Samudera Pasai ia menghadiahkan sultan aceh sebuah lonceng raksasa, Cakra Donya yang hingga kini tersimpan di museum Aceh. Tahun 1415 Cheng Ho berlabuh di Muara jati (Cirebon) dan menghadiahkan beberapa Cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon, salah satunya piring keramik yang bertuliskan ayat kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon, pernah dalam perjalanannya melalui laut Jawa, Wang Jinghong orang kedua dalam ekspedisi sakit keras, Wang akhirnya turun dan menetap di Semarang dan salah satu bukti peninggalangannya adalah Klenteng Sam Poo Kong (gedung batu), sebagaimana dijelaskan Profesor di atas, sam Poo adalah nama julukan yang disematkan bagi Cheng Ho yang artinya Pembantu Allah. Dan peninggalan Wang Jinghong yang lain adalah patung yang disebut mbah Ladekar juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa raja Wikramawardhana.
Sedangkan keterkaitan Syekh Quro dan Syekh Datuk Kahfi adalah saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan laut China dari dinasti Ming yang ketiga dengan kaisarnya Yunglo. Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M mereka semua telah masuk islam, armada tersebut hendak melakukan melawat ke majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang, syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro akhirnya tinggal dan menyebarkan agama islam, kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat, Syekh Qura di Karawang dan Syekh Nur Jati di Cirebon  Â
Bagaimana peran Cheng Ho terhadap islam di Nusantara?
Cheng Ho dalam pelayarannya itu telah lima kali mengunjungi kawasan Nusantara, singgah di pulau Sumatra dan pulau Jawa. Lokasi yang dikunjunginya, antara lain Samudra Pasei (Aceh), Palembang, konon Semarang, dan Cirebon. Misi yang dibawa Cheng Ho tidak hanya memamerkan kekuatan militer kekaisaran Ming, namun ia memperlihatkan keluhuran kebudayaan China, membina hubungan dengan negara-negara di wilayah selatan, yang sempat terputus, dan ia berperan penting dalam menyebarkan agama Islam di berbagai wilayah yang dikunjunginya itu.
Meskipun ada juga cerita bahwa Cheng Ho disebut penganut Budha, hal ini dapat di lihat dengan diberikannya julukan oleh Kaisar Yung Lo sebagai Ma San Bao (Ma Si Tiga Permata). Pada masyarakat santun, julukan itu menunjuk pada Tri Ratna dalam Buddhisme. Sementara pada lingkungan yang lain (maaf sebut saja-bejat), julukan itu berarti bahwa Ma seorang prajurit jempolan meski tak punya zakar dan penis, julukan Ma San Bao yang merujuk pada Tri Ratna (Buddha, Dharma, dan Sangha) seakan menyiratkan agama yang dianut Cheng Ho. Buddha adalah guru, Dharma adalah ajaran dan Sangha adalah para pendeta dan. Kendati dijuluki Ma San Bao, mengutip Sumanto Alqurthuby bahwa menurutnya ia tetap yakin Cheng Ho adalah seorang muslim yang melakukan Islamisasi. Menyebut Cheng Ho bukan muslim bahkan dijadikan dewa yang disembah di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong oleh penganut Konfusianis di Tiongkok adalah sebuah anakronisme atau hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu.
Masyarakat Indonesia begitu menghormati Laksamana Cheng Ho sebagai seorang muslim yang melakukan Islamisasi di Nusantara. Karenanya nama ia diabadikan sebagai nama masjid di berbagai daerah di Indonesia. Diplomasi politik dari jalur darat menjadi jalur laut yang mengerahkan kapal-kapal berisi 27.550 orang perwira dan prajurit  itu meliputi politisi, juru tulis, pembuat peta, tabib, ahli astronomi, ahli bahasa, ahli geografi, dan ahli agama, sebagai commander in chief-nya diserahkan kepada Cheng Ho lewat sebuah Dekrit Kerajaan dengan wakil Laksamana Muda Heo Shien (Husain), sekretaris Haji Ma Huan dan Fei Shin (Faisal), juru bahasa Arab selain Ma Huan adalah Hassan, seorang imam pada bekas ibukota Sin An (Changan), bahkan sang Kaisar yang mengutus Cheng Ho memberikan banyak gulungan kertas bersegel kaisar dinasti kala itu, itu artinya Cheng Ho diberikan kewenangan penuh -jika dibutuhkan- dapat mengeluarkan dekrit selama dalam perjalanan pelayaran.
Dijelaskan selain mengemban misi menjalin persahabatan dengan negara-negara lain serta menunjukkan supremasi politik dan ekonomi bangsa Tiongkok, ekspedisi Cheng Ho juga membawa agenda tersembunyi (hidden agenda). Penempatan konsul, diplomat, dan duta keliling mesti dibaca dalam penegakan otoritas politik.Â
Demikian pula penempatan konsul dagang mesti dilihat dari aspek ekonomi. Juga persebaran para juru dakwah Islam di hampir setiap kota yang disinggahi adalah upaya melakukan misionarisme Islam (Islamisasi). Singkatnya, ekspedisi besar itu menyimpan hidden agenda baik untuk kepentingan pragmatis Kekaisaran Ming maupun kepentingan 'primordial Islam' Cheng Ho, menurut Sumanto lagi.Â
Di Palembang, Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang sudah sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang-orang Tionghoa. Dari situ, Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa Islam di Sambas. "Barangkali di Palembang-lah masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan di Jawa, Semenanjung dan Filipina, kehadiran armada Cheng Ho di pesisir Jawa, terutama pada pelayaran pertama tahun 1405 dan ketiga tahun 1413, disambut cukup antusias oleh masyarakat Islam setempat terlebih para pemuka agamanya. Seperti Maulana Malik Ibrahim, tokoh muslim awal di Gresik, yang menyambut baik rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho kemudian meninggalkan juru dakwah Tionghoa dan pengikutnya yang berhasrat tinggal di Jawa untuk berbaur dengan komunitas Islam guna menyebarkan Islam.Â
Hampir di setiap pesisir Jawa sejak Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara sampai Tuban, Gresik dan Surabaya, Cheng Ho selalu menempatkan orang-orang Islam dari Tiongkok. Sebagian dari anak buah Cheng Ho tetap tinggal di pantai utara Jawa. Bagaimanapun juga ada diaspora Muslim Tionghoa pada periode itu untuk berdagang. Para pedagang ini yang mungkin menyebarkan Islam, karena tiap muslim punya kewajiban dakwah meski hanya satu ayat. Mereka berasal dari Mazhab Hanafi. Dengan demikian mereka berkontestasi dengan Mazhab Syafi'i yang dibawa dari India dan Timur Tengah. Lalu kalah.
Islam Nusantara, NU dan  Gus Muhaimin