Mulai kelas 3 SD aku sudah dicekokin oleh minuman keras oleh pelaku maksiat tak bertanggung jawab.Â
Mereka menipuku dengan mengatakan, minuman dalam plastik bening itu adalah jasjus rasa sirsak.Â
Dengan polos, Miftahul Huda kecil langsung meminum air itu, rasa panas dan mencekik seketika berada di kerongkongan.Â
Setelah itu, saat SMP aku yang sebulan sekali pulang dari pesantren, ditawari paksa minuman keras berjenis anggur merah.Â
Pertama, aku, Miftahul Huda tentu menolak dengan dalih hal itu dilarang agama. Seolah tak ingin menyerah, remaja remaja yang sudah terkontaminasi lingkungan maksiat itu, terus mengajak untuk minum minuman keras.Â
Bodohnya, di satu momen aku termakan gojlokan dari mereka, "Dasar cupu! Laki-laki kok nggak minum".
Kata-kata itu berulang kali terlontar dari mulut mereka, sampai-sampai aku menyerah dan terpaksa menemani mereka menghabiskan satu botol miras.Â
Hal itu menjadi awal diriku terjerumus dan mengikuti arus. Miftahul Huda yang sudah mulai aktif minum miras selama dua tahun kemudian mendapat eksperimen baru.Â
Yaps, obat-obatan terlarang mulai mereka sodorkan secara gratis kehadapanku. Badan yang sudah kalut karena terus menerus mabuk, langsung saja menenggak beberapa butir.Â
Hingga umur 19 tahun, Miftahul Huda seolah tak bisa lepas dari hal-hal terlarang itu. Sampai satu ketika, aku memutuskan untuk keluar dari zona nyaman dengan merantau ke Yogyakarta.Â
Aku, Miftahul Huda mulai mencari pekerjaan tetap dengan bermodal ijazah Paket C, tentu banyak perusahaan menolak mentah-mentah lamaranku.Â