Ah, semua itu hanya permainan semusim, mungkin itulah jawabannya..Â
Selepasnya aku berpikir kembali dan menyadari bahwa sepakbola tak ubahnya hanyalah sebuah pabrik yang didirikan di suatu tempat dan karyawannya datang dan pergi, jika perlu pabriknya sendiri bisa berpindah tempat. Dan sebagaimana pabrik, ia terbuka dimasuki siapa pun tenaga yang dianggap lebih baik. Tak peduli "pribumi", asing atau naturalisasi, semua bisa bersaing sejauh perusahaan butuh. Dan boleh jadi pula suatu ketika perusahaan terbelit hutang, pailit dan para karyawan lepas tunjangan bahkan tak makan gaji.  pemain perantau dari Paraguay, yang gajinya tertunggak di Club' F, itu sebagai contohnya, dan Masih banyak kesedihan lain yang diperlihatkan di berbagai tim, tak pandang klub besar atau kecil. Itu sebuah resiko. Maksudku, sepakbola adalah industri, dan sebagaimana industri yang bertumbuh tak hanya di kota besar, kota-kota kecil pun tak luput tersentuh. Lalu, masihkah ia menyisakan ruang piknik bagi segenap warga kota jika aroma industri lebih mengemuka, juga tangan panjang kekuasaan?
Sekali lagi tak bisa kujawab. Apakah kau bisa menjawab?Â
Apapun itu, ada banyak cara bagi sebuah kota untuk membangun eksistensinya. Membangun gedung, jalan dan jembatan, meresmikan mall, merebut Adipura, itu sudah hal biasa. Tapi yang tidak biasa adalah membangun dan merawat klub sepakbola. sepakbola mampu membuat sebuah kota tinggal dalam ingatan orang orang, dan  anak-anak yang berangkat remaja atau siapa pun yang bersentuhan dengannya.Â
Jauh dari pusat kota kecil tempatku tinggal, di stadion tengah sawah dalam kepungan kebun tebu, aku duduk mengenang kota-kota kecil yang membangun impian dan eksistensinya lewat sebuah bola kaki. Bola yang sebagaimana kusaksikan, mulai bergulir dari kaki ke kaki, dari dada ke dada, dan sesekali jatuh dalam tangkapan kiper. Lalu ditendang lagi, digiring, dioper ke sana kemari, makin kencang dan liar seiring arena yang membahana dengan nyanyian nyanyian, yel-yel dan teriakan tiada habis. Tak pernah habis. Perpaduan industri dan hasrat menegakkan jatidiri membuat kota-kota kecil sepakbola di negeri Nusa Raya seakan abadi dalam musim-musim kompetisi yang tak pasti memberi janji
Tapi sekarang aku tak bisa kembali mengulangi cerita itu kembali, karena aku sekarang telah berada jauh di luar negeri. Negerinya Michael Ballack. Tentu aku akan rindu dengan sepakbola negeri Nusa raya
Akhir kata, mungkin empat atau lima tahun lagi kita bisa bertemu kembali"
Seusai membaca suratnya, kemudian aku letakkan surat itu di atas meja. Dan akan membalasnya suatu hari nanti. Aku juga berencana untuk menuliskan kedalam suratku nantinya bahwa sepakbola di negeri Nusa raya tak ada yang berubah, apalagi soal TimNas. Sekarang TimNas semakin terpuruk keadaannya semenjak mencapai final piala Asia Pada beberapa tahun yang lalu. dan harus kalah dengan Timnas negeri sebelah untuk kesekian kalinya. Meskipun bergonta-ganti pemimpin tak juga memberikan perubahan.
Dan di akhir kalimat juga akan saya tuliskan lebih baik Sepakbola negeri Nusa Raya di bubarkan saja, karena menguras energi tapi minim prestasi, toh negeri Nusa raya tidak ada apa apa tanpa sepakbola.
Namun niat untuk menulis surat seperti itu aku urungkan. Dan mengganti kalimat terakhirnya dengan menulis kan tetap cinta sepakbola negeri Nusa raya meskipun penuh prahara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H