Mohon tunggu...
Miftahudin
Miftahudin Mohon Tunggu... Swasta -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Surat dari Jerman

31 Januari 2019   13:23 Diperbarui: 31 Januari 2019   14:29 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu Aku mendapatkan sepucuk surat dari sahabat lamaku yang sekarang telah berada di luar negeri. Pelan pelan ku buka dan mulai membacanya. Ia menuliskan kerinduannya pada sepakbola negeri Nusa Raya. Isi suratnya sangat lengkap yang mengulas tentang sepakbola dan segala macam hal yang berada di dalamnya.

"Untuk sahabat lamaku tercinta, Di negeri Nusa Raya gairah sepakbolanya tak pernah padam. Dalam musim-musim kompetisi yang tak pasti memberi janji, di setiap kota-kota di negeri Nusa raya tetap hidup dalam tempaan keringat, semangat dan kaki-kaki yang berlari

Aku telah banyak menyaksikan bagaimana ketika musim kompetisi yang serba sulit, kota-kotanya tetap datang bertandang. Dengan semua pilihan pemain yang di miliki, sepakbola kota-kota itu bisa datang lewat siaran langsung televisi, radio atau terbaca di surat kabar esok hari. Suasana Di dalam Stadion selalu terdengar bunyi Terompet dengan nada terseret-seret, lagu-lagu "kebangsaan" sebuah kota, yel-yel kemenangan, dan akan selalu ada kubu yang bernyanyi dan kubu lain meradang dalam caci-maki. 

Aku juga sudah fahami betul bahwa Di negeri ini ada banyak kota dengan klub sepakbola, di saat itu lalu aku bertanya, apakah mimpi itu teramat sulit Jika hasrat memunculkan kota ke tengah masyarakat lewat sepakbola.

Aku tak mendapat jawaban soal ini, karena dalam banyak kasus memang sering dijumpai hal-hal tak wajar. Dana APBD yang terkuras untuk membiayai tim, gaji pelatih, dan transfer pemain. Sponsor mendadak kabur atau tak ada sama sekali. Prestasi kadang berhenti di tengah jalan. 

Fans yang fanatik mengamuk, merusak rambu dan pertokoan, saling lempar dari kereta api. Untuk yang fanatik, tiap kali nama klub sebuah kota bertanding, mereka seperti punya ikatan, dan akan segera ambil posisi di depan tivi yang menayangkan siaran langsung pertarungan klub itu, atau sejak jauh-jauh hari membuat agenda bahwa ia akan menuju ke stadion kota tercinta. Sebagian yang lain, untuk sekali seumur hidup akan berdoa buat kemenangan salah satu klub yang dibelanya

Begitulah yang aku rasakan tiap kali menonton televisi yang menayangkan pertandingan bola dalam negeri Nusa raya. Selalu ada perasaan ajaib datang menghampiri. Jauh Berbeda jika menonton liga-liga benua seberang yang hanya membawaku menyaksikan sembari berdecak kagum pada bintang bintang lapangan seperti Ronaldo dan Messi, menonton liga di negeri Nusa raya (yang kala itu bercabang dua). Bahkan tak jarang aku menyempatkan diri datang ke stadion kota kecilku yang baru selesai dibangun di tengah sawah, dalam kepungan kebun tebu 

Suatu sore, peluit wasit melengking membuka pertandingan antara A A A fc vs B B B fc di Stadion Agung. Sebagaimana tadi kusebutkan, stadion itu berada di tengah sawah. Selain dikepung kebun tebu, jalan menuju ke stadion diteduhi barisan pohon jati. ketika Samsul Arif berkejaran dengan Ugik Sugiyanto dan kawan-kawan, yang diiringi dengan yel-yel dari kedua tim, ingatanku justru melayang ke timur

Bersama ingatan yang tak lekang oleh waktu, aku masuki kota B, setelah perjalanan panjang menyusuri hamparan pohon jati dari N, ke punggung Pegunungan K, sampai di P dan Ku. Kumasuki jalannya yang lebar, bersisian dengan rel kereta api jalur P yang sesekali menderu sampai jauh. Tak jauh dari gerbang kota terdapat sebuah terminal yang gampang tergenang di musim hujan. Di sana aku pernah turun, lalu menyambung perjalanan ke salah satu sudut kota, ke tempatnya paman. 

Kau dan aku tahu bahwa Sebuah tim sepakbola di sebuah kota tak hanya milik warga setempat, melainkan semua orang di sekitarnya. Berapa banyak para pecinta tim unggulan yang menemukan ruang tamasya di klub itu? Berapa banyak yang menggantungkan hidup dari penjualan mercandhise, kaos dan bendera? Ketika Kabupaten A A A membangun klub sendiri yang bermarkas di Stadion K.

Satu hal yang lebih menarik lagi adalah ketika para pemain datang dan pergi, Bukankah di tiap penghujung musim, ada banyak pemain yang bertukar tempat, berpindah klub, Mereka berpindah dari satu kota kecil ke kota kecil lain, Ada dari kota besar ke kota kecil. Tidak jarang pemain luar pulang ke negaranya dan bomber lain datang, sebagian dikontrak klub dari negara lain. Bagaimanakah para pemain itu menukar pembelaan, dari klub yang dulu ia bela mati-matian, kemudian ditinggalkan

Ah, semua itu hanya permainan semusim, mungkin itulah jawabannya.. 

Selepasnya aku berpikir kembali dan menyadari bahwa sepakbola tak ubahnya hanyalah sebuah pabrik yang didirikan di suatu tempat dan karyawannya datang dan pergi, jika perlu pabriknya sendiri bisa berpindah tempat. Dan sebagaimana pabrik, ia terbuka dimasuki siapa pun tenaga yang dianggap lebih baik. Tak peduli "pribumi", asing atau naturalisasi, semua bisa bersaing sejauh perusahaan butuh. Dan boleh jadi pula suatu ketika perusahaan terbelit hutang, pailit dan para karyawan lepas tunjangan bahkan tak makan gaji.  pemain perantau dari Paraguay, yang gajinya tertunggak di Club' F, itu sebagai contohnya, dan Masih banyak kesedihan lain yang diperlihatkan di berbagai tim, tak pandang klub besar atau kecil. Itu sebuah resiko. Maksudku, sepakbola adalah industri, dan sebagaimana industri yang bertumbuh tak hanya di kota besar, kota-kota kecil pun tak luput tersentuh. Lalu, masihkah ia menyisakan ruang piknik bagi segenap warga kota jika aroma industri lebih mengemuka, juga tangan panjang kekuasaan?

Sekali lagi tak bisa kujawab. Apakah kau bisa menjawab? 

Apapun itu, ada banyak cara bagi sebuah kota untuk membangun eksistensinya. Membangun gedung, jalan dan jembatan, meresmikan mall, merebut Adipura, itu sudah hal biasa. Tapi yang tidak biasa adalah membangun dan merawat klub sepakbola. sepakbola mampu membuat sebuah kota tinggal dalam ingatan orang orang, dan  anak-anak yang berangkat remaja atau siapa pun yang bersentuhan dengannya. 

Jauh dari pusat kota kecil tempatku tinggal, di stadion tengah sawah dalam kepungan kebun tebu, aku duduk mengenang kota-kota kecil yang membangun impian dan eksistensinya lewat sebuah bola kaki. Bola yang sebagaimana kusaksikan, mulai bergulir dari kaki ke kaki, dari dada ke dada, dan sesekali jatuh dalam tangkapan kiper. Lalu ditendang lagi, digiring, dioper ke sana kemari, makin kencang dan liar seiring arena yang membahana dengan nyanyian nyanyian, yel-yel dan teriakan tiada habis. Tak pernah habis. Perpaduan industri dan hasrat menegakkan jatidiri membuat kota-kota kecil sepakbola di negeri Nusa Raya seakan abadi dalam musim-musim kompetisi yang tak pasti memberi janji

Tapi sekarang aku tak bisa kembali mengulangi cerita itu kembali, karena aku sekarang telah berada jauh di luar negeri. Negerinya Michael Ballack. Tentu aku akan rindu dengan sepakbola negeri Nusa raya

Akhir kata, mungkin empat atau lima tahun lagi kita bisa bertemu kembali"

Seusai membaca suratnya, kemudian aku letakkan surat itu di atas meja. Dan akan membalasnya suatu hari nanti. Aku juga berencana untuk menuliskan kedalam suratku nantinya bahwa sepakbola di negeri Nusa raya tak ada yang berubah, apalagi soal TimNas. Sekarang TimNas semakin terpuruk keadaannya semenjak mencapai final piala Asia Pada beberapa tahun yang lalu. dan harus kalah dengan Timnas negeri sebelah untuk kesekian kalinya. Meskipun bergonta-ganti pemimpin tak juga memberikan perubahan.

Dan di akhir kalimat juga akan saya tuliskan lebih baik Sepakbola negeri Nusa Raya di bubarkan saja, karena menguras energi tapi minim prestasi, toh negeri Nusa raya tidak ada apa apa tanpa sepakbola.

Namun niat untuk menulis surat seperti itu aku urungkan. Dan mengganti kalimat terakhirnya dengan menulis kan tetap cinta sepakbola negeri Nusa raya meskipun penuh prahara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun