Pagi ini Angin bertiup sepoi-sepoi. Membuat Mata Mbah Surip berangsur-angsur menjadi meredup. Kambing-kambing gembalaannya juga tampak tenang dan ayem mengunyah rumput segar nan gemuk yang  tumbuh di Balai Pertanian. Para penduduk biasa menyebutnya dengan balitan. Balitan milik pemerintah itu membentang luas dan ditanami bermacam macam jenis ubi, bunga, sampai padi berkualitas tinggi. sekeliling kawasan itu dipagari kawat berduri.
Dahulu, hanya Mbah Surip dan Mbah Kasan yang boleh menggembalakan hewan ternaknya di tempat itu, karena pasangan suami-istri ini memang telah dekat dengan pemimpin Balai Pertanian. Misalnya saja Mbah Kasan, pada tiap bulan ia tidak pernah absen membersihkan selokan rumah dan kebun pribadi milik sang pemimpin, apabila suatu saat ada orang lain yang nekat atau secara diam-diam menggembalakan hewan ternak di sana, maka Pak Wayan, pemimpin balitan, yang bertubuh tambun, berkepala botak, dan berjenggot tebal, tak akan segan-segan membawa senapan burung untuk mengusir mereka semua.
Satu orang yang pernah sial terkena pelor burung Pak Wayan, ditembak dari jarak sepuluh meter dan mengenai tepat di bagian kanan kakinya. Orang itu mengerang kesakitan. Ia lalu lari tunggang langgang membawa sabit sambil mencangklongkan karung berisi rumput ke bahunya yang kurus tinggal tulang.
Sejak setahun setelah kepala negara yang baru saja didapuk untuk memimpin negeri ini, Pak Wayan meninggal akibat kecelakaan beruntun. Daihatsu Xenia yang ia kendarai hancur tak berbentuk lagi.Â
Pada saat itu Ada sekitar tiga atau empat kendaraan yang beruntun bertabrakan. Tak tahu pasti berapakah jumlah korban dari kecelakaan maut ini, tapi yang pasti, Pak Wayan meninggal seketika di tempat kejadian. Semenjak itulah, orang-orang jadi merasa bebas menggembalakan atau mencarikan rumput untuk hewan ternaknya di balitan.
"Sudah tidak ada lagi yang membawa senapan burung sambil berteriak lantang," ujar para penggembala kepada penggembala lainnya.
Tapi hal itu berbeda buat Mbah Surip. Mbah kesayanganku itu merasa kehilangan bosnya. Mbah Surip juga yang paling kencang menangis saat orang-orang datang melayat di rumah duka. Mbah Surip memelukku erat waktu dirinya menangis. Ketika itu, aku iseng-iseng mengintip dari celah ketiak Mbah, kulihat Bu Wayan dan Mas Agus menangis sewajarnya. Tak berlebihan seperti Mbah Surip. Ibuku juga biasa saja, menghapus air matanya dengan ujung kausnya tanpa mengeluarkan suara. Padahal kalau dipikir-pikir, ibulah yang setiap hari tinggal di rumah itu. Sebab Ibu adalah seorang pembantu di rumah Pak Wayan. Mbah Surip dipanggil hanya jika Pak Wayan atau istrinya minta dipijat atau dikerik.
Mbah adalah dukun pijat paling handal dan terkenal di kampungku. Ada yang menjulukinya dukun serbabisa. Malahan Mbah pernah dipanggil sebagai pawang hujan saat ada hajatan pernikahan. Mbah sangat handal menyembuhkan kaki orang yang keseleo, tapi Mbah tak pernah mampu menghilangkan nyeri di kaki kiriku yang pincang ini. Tetapi, walaupun begitu, aku tetap dibawa ke mana pun Mbah pergi. Meskipun jalanku lambat, Mbah tidak pernah marah. Ia tetap menuntunku ke tempat orang yang minta diobati. Mbah lebih senang mendatangi daripada didatangi pasiennya.
Mengenai upah, Mbah tak pernah mematok tarif khusus. Ia terima berapa pun jumlah upahnya. Kalaupun tidak memberikan uang, biasanya mereka memberikan barang. Beras dan juga gula yang paling sering Mbah terima. Dulu, orang juga sering memberi sebungkus rokok kretek semasa Mbah Kirut masih hidup. Tetapi sejak istri tercintanya itu meninggal karena penyakit asma, tak ada lagi sebungkus rokok yang Mbah Surip terima.
***
"Rizki itu sudah ditakar, jadi tidak mungkin tertukar. Gusti Allah Mahaadil, Din" katanya pada suatu malam. Meskipun Mbah Kirut sudah meninggal, tapi buktinya Mbah tetap tegar menghadapi kenyataan. Ibumu juga begitu. Bu Wayan kan sudah pindah ke Yogya. Pimpinan pertanian juga telah diganti orang lain. Mau tidak mau ibumu harus cari usaha sendiri," Mbah berkata panjang lebar sambil menghapus air mata di pipiku. Aku mendongak ke atas dan melihat wajah Mbah yang sudah banyak keriput. Mbah tersenyum dengan bibirnya yang sumbing.
Aku tidak boleh minder. Tidak boleh marah dan mudah tersinggung. Itu semua sudah di gariskan oleh Tuhan, Mbah menasihatiku waktu anak Pak Bono mengejekku habis-habisan.
Aku memang cacat sedari lahir. Aku tak mau sekolah lantaran teman-teman sekolah sering menghinaku. Itu yang membuat sekolahku hanya bertahan sampai kelas III SD. Padahal sebenarnya aku ingin sekolah sampai perguruan tinggi seperti Mas Kandar. Dia kuliah di jurusan psikologi. Malah sudah sampai tingkat S-2. Aku dengar cerita itu dari Bapak Mas Kandar sendiri. Ia bercerita waktu dipijat oleh Mbah Surip. Pendengaranku masih tajam, meskipun mulutku tak bisa bicara.
Aku tak tahu kenapa aku bisu. Dahulu, waktu aku masih dalam perut Ibunda, kata Mbah Surip, ibuku pernah memukul ular sampai menggelepar mati. Ibu Kena karma. Mana boleh perempuan hamil tua membunuh seekor ular!. Katanya
Aku mempercayai mitos itu. Mitos yang menjadi sedemikian hidup di kepalaku. Aku jadi sangat percaya bahwa kecacatanku ini memang karena ulah Ibunda. Tapi, walaupun begitu, sedikit pun aku tak pernah membencinya.
Ibu juga mengajariku menembang Jawa, meskipun sebetulnya ia tahu aku tak bisa bicara. Kudengar suara ibuku sangat merdu. Ia selalu menembangkan lagu Lingsir Wengi menjelang aku tidur. Aku mengangguk-angguk saja saat ibu mengajariku menembangkan lagu itu.
Ibu juga pernah bercerita, sebelum menikah dulu, ia pernah bergabung dengan salah satu kelompok campur sari bernama Ojo Dumeh. Di situlah ibu bertemu dan jatuh cinta dengan bapak. Bapak adalah pimpinan dari kelompok tersebut. Ia pula yang mengajari ibu menembang. Katanya, suara bapak lebih merdu ketimbang ibu.
Kelompok mereka terkenal sampai ke seluruh penjuru kampung dan sering diundang kalau ada acara hajatan. Tapi sejak ada kelompok musik dangdhut koplo di kampung itu, campur sari jadi tersisihkan, Campur sari dilupakan. Mereka kehilangan sumber rezeki. Tetapi untunglah, kata ibu, ia diminta jadi pembantu di rumah Bu Wayan, dan itu juga berkat Mbah Surip yang kala itu diminta untuk mengeriknya.
Itulah sebabnya, kata Ibuku, sejak usiaku mencapai tiga tahun, bapak memutuskan merantau ke Ibukota. Bapak tidak pernah pulang lagi. Tapi ibu selalu sabar menunggu  kepulangan Bapak. Mungkin juga tidak, sama seperti aku yang merasa bahagia meskipun sebenarnya juga tidak. Bahagia tak bahagia tetap wajib berterima kasih pada yang memberi hidup, pesan ibu setiap ia selesai menembang.
Mbah sudah sering melarang ibu menyanyikan lagu itu. Katanya, kalau dinyanyikan di malam hari, lagu itu bisa mengundang hantu perempuan. Mbah menyebutnya kuntilanak. Tetapi mitos itu seperti tak penting buat ibu. Tetap saja ia menembangkannya untukku tiap malam.
Aku tak tahu isi lagu itu. Ibuku juga tak pernah bercerita tentang riwayatnya. Padahal aku ingin sekali melontarkan pertanyaan untuk sekadar tahu apa artinya. Namun sayang, pertanyaanku itu tak dapat kulontarkan.
Ibuku mulai berhenti menembang saat usiaku menginjak 14 tahun. Tepat saat Bu Wayan kehilangan suami tercinta, bertepatan juga saat ibu harus kehilangan pekerjaannya. Karena pemimpin Balai Pertanian yang baru pasti mencari pembantu yang juga orang baru. Ibuku harus mencari sumber rezeki lain. Gaji bulanan yang ia kumpulkan dari Bu Wayan menjadi modal berjualan kue di pasar tradisional. Dari jual tembakau, kue, sampai akhirnya menjual sayuran.
Masih di usia 14, saat kampungku sudah tidak ramai membicangkan pemimpin baru di negeri ini, saat itu pulalah bapakku pulang dari Ibukota. Aku telah lupa wajah bapakku. Aku baru tahu kalau ia bapakku setelah diberitahu oleh Mbah Surip dan ibuku. Aku kaku saat Bapak memelukku.
Bapak berperawakan kurus-tinggi. Pantas saja tubuhku juga kurus seperti itu, pikirku dalam hati. Aku juga berpikir sekalian ingin tahu, apa sebetulnya pekerjaan bapakku. Tapi sayang, aku tak sempat mendengar percakapan tentang pekerjaannya.
Oh ya, kata Ibuku, bapak yang memberiku nama Udin. Tak tahu juga kenapa aku diberi nama itu. Kalau kata Mbah Surip, agar aku ini jadi lelaki kunci surga, wajar, dan pandai bersyukur, dan tidak berlebihan dalam menjalani hidup. Ada-ada saja jawaban Mbah Surip.
Mbah Surip sendiri tidak memanggilku Udin. Ia memanggilku, Gotin. Tak perlu kutanya kenapa. Karena aku suka dipanggil begitu.
Setelah itu Bapak tak lama tinggal di rumah. Mungkin hanya sepuluh hari. Setelah itu ia pamit pergi ke Ibukota kembali. Aku sempat mendengar Bapak berjanji pada Ibuku bahwa ia akan segera kembali. Bapak juga berpamitan padaku sambil menyentuh daguku setelah sebelumnya berpamitan dan mencium tangan Mbah Surip.
***
Rumah yang berfondasi bata merah kini hanya ditinggali tiga penghuni. Aku, Nurul, dan Mbah Surip. Ibuku meninggal pertengahan April lalu. Aku dan Mbah menemukannya tergeletak di atas balai bambu. Mulutnya berbuih. Kata Mbah Surip, ia minum racun serangga. Bapak tak pernah tahu kalau ibu sudah meninggal. Sama seperti aku, tak pernah tahu apa gerangan nasib bapakku, sebab ia tak sekalipun pulang setelah pamit pergi ke Ibukota enam tahun lalu.
Usiaku 20 tahun sekarang. Aku membuka usaha menjahit setelah setahun sebelumnya mengikuti kursus di Penjahit Perintis. Di sanalah aku mendapat keahlian sekaligus bertemu dengan jodohku, Nurul . Aku menikah di usia 19, dan Nurul empat tahun lebih tua dariku. Meskipun pendengaranya tak berfungsi, ia adalah istri yang sabar dan penyayang. Kami dinikahkan di KUA. Tanpa pesta. Hanya ijab-kabul biasa. Aku bersyukur. Karena kehadiran Nurul mengingatkanku pada ucapan Mbah Surip, rezeki sudah ditakar, jadi tidak mungkin tertukar.
***
Sore begini Mbah pasti sedang menggembalakan kambingnya di Balai Pertanian. Nurul juga pasti belum akan pulang dari pasar, kataku dalam hati. Aku pergi ke dapur mengambil minum. Kupikir sakitnya berkurang kalau aku minum air.
Belum sempat sampai di dapur, aku melihat seekor ular di dekat pintu. Sontak saja aku takut. Aku melompat ke belakang. Berusaha berteriak, tapi tak bisa. Entah kenapa tiba-tiba aku mengambil sapu, bambu, atau apa saja yang ada di dekatku untuk memukul ular itu. Ular itu jadi melawan. Sebagian badannya tegak sempurna. Ia mencoba mematuk, aku menghindar. Aku memukul, ia menghindar. Akhirnya, dalam waktu yang sekejap, aku berhasil memukul kepalanya.
Setelah berkali-kali kupukuli, akhirnya ular itu mati. Kurasakan perutku semakin sakit. Aku tak kuat berjalan. Aku bersandar pada meja kayu di sebelahku, mencoba menarik napas panjang kemudian duduk sambil memandangi ular yang sudah mati itu. Aku menunduk dan memohon pada Tuhan, agar mitos yang kupercaya itu tak menimpa bayi yang sedang dikandung istriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H