Mohon tunggu...
Miftahudin
Miftahudin Mohon Tunggu... Swasta -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tukang Pijat Panggilan

7 Januari 2019   18:49 Diperbarui: 7 Januari 2019   18:51 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih di usia 14, saat kampungku sudah tidak ramai membicangkan pemimpin baru di negeri ini, saat itu pulalah bapakku pulang dari Ibukota. Aku telah lupa wajah bapakku. Aku baru tahu kalau ia bapakku setelah diberitahu oleh Mbah Surip dan ibuku. Aku kaku saat Bapak memelukku.

Bapak berperawakan kurus-tinggi. Pantas saja tubuhku juga kurus seperti itu, pikirku dalam hati. Aku juga berpikir sekalian ingin tahu, apa sebetulnya pekerjaan bapakku. Tapi sayang, aku tak sempat mendengar percakapan tentang pekerjaannya.

Oh ya, kata Ibuku, bapak yang memberiku nama Udin. Tak tahu juga kenapa aku diberi nama itu. Kalau kata Mbah Surip, agar aku ini jadi lelaki kunci surga, wajar, dan pandai bersyukur, dan tidak berlebihan dalam menjalani hidup. Ada-ada saja jawaban Mbah Surip.

Mbah Surip sendiri tidak memanggilku Udin. Ia memanggilku, Gotin. Tak perlu kutanya kenapa. Karena aku suka dipanggil begitu.

Setelah itu Bapak tak lama tinggal di rumah. Mungkin hanya sepuluh hari. Setelah itu ia pamit pergi ke Ibukota kembali. Aku sempat mendengar Bapak berjanji pada Ibuku bahwa ia akan segera kembali. Bapak juga berpamitan padaku sambil menyentuh daguku setelah sebelumnya berpamitan dan mencium tangan Mbah Surip.

***

Rumah yang berfondasi bata merah kini hanya ditinggali tiga penghuni. Aku, Nurul, dan Mbah Surip. Ibuku meninggal pertengahan April lalu. Aku dan Mbah menemukannya tergeletak di atas balai bambu. Mulutnya berbuih. Kata Mbah Surip, ia minum racun serangga. Bapak tak pernah tahu kalau ibu sudah meninggal. Sama seperti aku, tak pernah tahu apa gerangan nasib bapakku, sebab ia tak sekalipun pulang setelah pamit pergi ke Ibukota enam tahun lalu.

Usiaku 20 tahun sekarang. Aku membuka usaha menjahit setelah setahun sebelumnya mengikuti kursus di Penjahit Perintis. Di sanalah aku mendapat keahlian sekaligus bertemu dengan jodohku, Nurul . Aku menikah di usia 19, dan Nurul empat tahun lebih tua dariku. Meskipun pendengaranya tak berfungsi, ia adalah istri yang sabar dan penyayang. Kami dinikahkan di KUA. Tanpa pesta. Hanya ijab-kabul biasa. Aku bersyukur. Karena kehadiran Nurul mengingatkanku pada ucapan Mbah Surip, rezeki sudah ditakar, jadi tidak mungkin tertukar.

***

Sore begini Mbah pasti sedang menggembalakan kambingnya di Balai Pertanian. Nurul juga pasti belum akan pulang dari pasar, kataku dalam hati. Aku pergi ke dapur mengambil minum. Kupikir sakitnya berkurang kalau aku minum air.

Belum sempat sampai di dapur, aku melihat seekor ular di dekat pintu. Sontak saja aku takut. Aku melompat ke belakang. Berusaha berteriak, tapi tak bisa. Entah kenapa tiba-tiba aku mengambil sapu, bambu, atau apa saja yang ada di dekatku untuk memukul ular itu. Ular itu jadi melawan. Sebagian badannya tegak sempurna. Ia mencoba mematuk, aku menghindar. Aku memukul, ia menghindar. Akhirnya, dalam waktu yang sekejap, aku berhasil memukul kepalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun