Pasar tradisional, sebagai jantung kehidupan masyarakat, kini mengalami sentuhan revolusioner dengan kehadiran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS).Â
Beberapa produsen pasar tradisional, seperti Pasar Kaget yang berlokasi di Jalan Ayub, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, telah menerapkan QRIS sebagai sistem pembayaran.
Maya, seorang pedagang bakso Pasar Kaget mengatakan bahwa kehadiran QRIS sangat membantu dalam transaksi. Sebab atas kehadiran QRIS, Maya mengaku tidak perlu kesulitan untuk menyiapkan tunai sebagai kembalian. Beliau merasa transaksi berjalan lebih cepat dan instan.
"Kita 'kan suka ngasih kembalian, suka enggak ada kembaliannya. Kalau pakai QRIS 'kan enggak usah, jadi enggak ribet," tutur Maya (23/12/23).
Proses memberikan uang kembalian secara tepat membutuhkan waktu, memperlambat antrian dan meningkatkan waktu transaksi di pasar tradisional.
QRIS memungkinkan konsumen untuk melakukan transaksi pembayaran dengan mudah menggunakan perangkat seluler mereka.Â
Setiap kode QR (Quick Response) memiliki informasi yang standar, memungkinkan pedagang menerima pembayaran dari berbagai penyedia layanan pembayaran elektronik tanpa perlu menggunakan kode QR berbeda-beda untuk setiap layanan.
Banyak pelaku bisnis, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), merasakan manfaat dari QRIS. Penerimaan pembayaran melalui QRIS memberikan alternatif yang lebih mudah dan efisien dibandingkan tunai.
QRIS tidak hanya memudahkan transaksi, tetapi juga meningkatkan keamanan finansial. Data transaksi yang dikirim melalui QRIS dienkripsi, mengurangi risiko kebocoran informasi pribadi dan penyalahgunaan data.
QRIS terus berkembang dengan adanya inovasi baru. Peningkatan fitur dan integrasi dengan aplikasi pembayaran digital membuatnya semakin menarik bagi masyarakat yang menginginkan pengalaman transaksi yang lebih baik.
Hal ini didukung oleh Humairoh, konsumen reguler Pasar Kaget yang mengatakan dengan adanya QRIS, pembayaran menjadi lebih mudah dan efisien. Beliau juga menyatakan bahwa anak-anaknya lebih memilih pembayaran melalui QRIS dibandingkan tunai.
Anak muda zaman sekarang menghargai teknologi terkini. Menggunakan QRIS menciptakan pengalaman pembayaran yang modern dan sesuai dengan gaya hidup digital mereka.
Mereka pun cenderung membawa ponsel pintar ke manapun mereka tuju. Dengan adanya QRIS, mereka tidak perlu repot-repot menyiapkan uang tunai untuk membayar.Â
Cukup dengan memindai kode QR yang tersedia, dan pembayaran dapat dilaksanakan dalam sekejap mata. QRIS juga meminimalisir resiko kehilangan uang tunai.
Terlebih, QRIS hadir di berbagai platform pembayaran digital. Mulai dari m-banking, hingga e-wallet. Hal ini juga menjadi faktor pendukung efisiensi dalam penggunaan QRIS.
"Saya setuju saja, sih, kalau di pasar tradisional dipakein QRIS. Soalnya memang anak-anak saya pada pakai. Gampang, katanya. Kalau saya pribadi masih kurang paham, sih," jelas Humairoh (23/12/23).
Melalui QRIS, transaksi pembayaran menjadi lebih efisien dan memudahkan pengguna dengan mengurangi kebutuhan untuk menggunakan berbagai aplikasi pembayaran.Â
Hal ini juga mempromosikan inklusi keuangan dengan memfasilitasi penggunaan pembayaran digital di berbagai sektor usaha di Indonesia.
"Kayaknya enggak terlalu perlu, sih, kalau di pasar tradisional kayak gini," ucap Zulfa, salah seorang penjual sandal di Pasar Kaget (23/12/23).
Memperkenalkan QRIS memerlukan investasi dalam perangkat lunak, perangkat keras, dan pelatihan bagi pedagang. Di pasar tradisional, biaya ini mungkin dianggap terlalu tinggi.
Transaksi di pasar tradisional seringkali melibatkan tawar-menawar atau pembelian dalam jumlah kecil, di mana pembayaran tunai masih lebih praktis.
Meski begitu, Zulfa berpendapat bila pemerintah menetapkan sistem QRIS ini secara merata, maka tentu saja akan mempermudah transaksi karena tidak perlu mencari uang kembalian.
Di sisi lain, ada pula produsen yang kontra terhadap penerapan QRIS dalam transaksi di pasar tradisional. Beberapa konsumen belum terbiasa atau kurang nyaman dengan pembayaran melalui QRIS, yang dapat menghambat adopsi produk oleh pasar.
"Enggak bisa, enggak paham. Agak sulit, saya 'kan orang tua," ucap Suyati, seorang pedagang sayur di Pasar Kaget (23/12/23).
Gaya hidup tradisional masyarakat pra-lansia sering kali lebih terkait dengan transaksi fisik dan interaksi langsung dengan penjual. Pengenalan QRIS mungkin tidak selaras dengan preferensi dan kebiasaan mereka yang telah terbentuk selama bertahun-tahun.
Suyati juga mengatakan bahwa beliau tidak mengerti mengenai transaksi non-tunai, dan hal tersebut terasa menyusahkan, terlebih untuk kalangan pra-lansia seperti dirinya.
Banyak orang pra-lansia mungkin tidak memiliki akses atau kenyamanan dengan teknologi modern seperti ponsel pintar. Penggunaan QRIS yang memerlukan perangkat elektronik dapat menjadi hambatan signifikan bagi mereka yang tidak terbiasa dengan alat-alat tersebut.
Proses pembelajaran mengenai cara menggunakan QRIS dapat menjadi sulit bagi masyarakat pra-lansia. Mereka mungkin membutuhkan lebih banyak waktu dan dukungan untuk memahami langkah-langkah yang diperlukan.
Terlebih, produsen pra-lansia di Pasar Kaget cenderung memiliki strata ekonomi menengah ke bawah. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu hambatan bagi mereka untuk mendapatkan akses terhadap teknologi.Â
Hal ini menyebabkan kesulitan bagi mereka dalam meng-upgrade transaksi dari tunai menjadi non-tunai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H