Di sisi lain, ada pula produsen yang kontra terhadap penerapan QRIS dalam transaksi di pasar tradisional. Beberapa konsumen belum terbiasa atau kurang nyaman dengan pembayaran melalui QRIS, yang dapat menghambat adopsi produk oleh pasar.
"Enggak bisa, enggak paham. Agak sulit, saya 'kan orang tua," ucap Suyati, seorang pedagang sayur di Pasar Kaget (23/12/23).
Gaya hidup tradisional masyarakat pra-lansia sering kali lebih terkait dengan transaksi fisik dan interaksi langsung dengan penjual. Pengenalan QRIS mungkin tidak selaras dengan preferensi dan kebiasaan mereka yang telah terbentuk selama bertahun-tahun.
Suyati juga mengatakan bahwa beliau tidak mengerti mengenai transaksi non-tunai, dan hal tersebut terasa menyusahkan, terlebih untuk kalangan pra-lansia seperti dirinya.
Banyak orang pra-lansia mungkin tidak memiliki akses atau kenyamanan dengan teknologi modern seperti ponsel pintar. Penggunaan QRIS yang memerlukan perangkat elektronik dapat menjadi hambatan signifikan bagi mereka yang tidak terbiasa dengan alat-alat tersebut.
Proses pembelajaran mengenai cara menggunakan QRIS dapat menjadi sulit bagi masyarakat pra-lansia. Mereka mungkin membutuhkan lebih banyak waktu dan dukungan untuk memahami langkah-langkah yang diperlukan.
Terlebih, produsen pra-lansia di Pasar Kaget cenderung memiliki strata ekonomi menengah ke bawah. Faktor ekonomi juga menjadi salah satu hambatan bagi mereka untuk mendapatkan akses terhadap teknologi.Â
Hal ini menyebabkan kesulitan bagi mereka dalam meng-upgrade transaksi dari tunai menjadi non-tunai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H