Mohon tunggu...
Miftah Nazafa
Miftah Nazafa Mohon Tunggu... Mahasiswi -

Mahasiswi Hubungan Internasional yang mendalami mengenai dinamika isu-isu global

Selanjutnya

Tutup

Politik

Hidupkan Kartini Lawan Terorisme

25 April 2017   14:28 Diperbarui: 2 Mei 2017   08:06 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan seringkali didefinisikan sebagai makhluk yang lemah dan berorientasi pada pekerjaan rumah tangga yang membuatnya sebagai makhluk yang tersubordinasi. 21 April lalu merupakan hari lahir salah satu tokoh perempuan yang membawa perubahan bagi kehidupan perempuan di bumi pertiwi. Kita memperingati hari lahirnya sebagai sebuah semangat perjuangan pembebasan perempuan dari terkungkungan setiap tahunnya. Namun, kenyatannya masih banyak perempuan di luar sana yang masih hidup dalam tekanan psikis maupun fisik yang memaksa perempuan jauh dari arti kenyamanan dan kesejahteraan.

Terorisme merupakan hal yang tidak asing lagi dalam kehidupan kita dan seringkali dikaitkan dengan ideologi atau kepercayaan terhadap agama tertentu. Sejak dahulu terorisme telah mewarnai kehidupan manusia namun mulai menjadi momok yang semakin menakutkan dengan adanya peristiwa 9/11 yang menyerang gedung WTC di negeri Paman Sam. Sejak saat itu terorisme semakin berkembang terlebih lagi dengan adanya arus globalisasi yang pesat yang semakin memudahkan strategi dalam mencapai tujuan dan  menuntut negara untuk melakukan pengamanan dengan memberlakukan kebijakan kontra terorisme.

Terorisme dilatarbelakangi oleh banyak faktor yang muncul dari ketidakpuasan atau ketidakadilan dari berbagai bidang seperti ekonomi, sosial, politik maupun budaya. Terorisme sejatinya adalah makhluk yang tidak pandang bulu. ‘Penyakit’ terorisme ini dapat menyerang siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Sebelumnya terorisme identik dengan laki-laki sebagai hasil dari konstruksi masyarakat patriarki yang menyudutkan dan melemahkan peran perempuan. Perempuan selalu menjadi korban dari adanya terorisme. Adanya arus globalisasi yang begitu pesat, memengaruhi perkembangan terorisme yang merubah peran perempuan dalam tindak terorisme. Jika keikutsertaan laki-laki dalam tindak terorisme merupakan hal yang biasa kita dengar, mengapa kemudian muncul pula keikutsertaan perempuan di dalamnya?

Keikutsertaan perempuan dalam terorisme itu sendiri telah lama ada. Namun kemunculannya khususnya di Asia Tenggara mulai ada sejak gencarnya gerakan ekstrimis radikal yang berada di Timur Tengah dengan tujuan mendirikan sebuah negara baru. Perempuan memiliki andil yang besar dalam perkembangan terorisme di era globalisasi. 

Jika laki-laki identik dengan aktifitas yang sifatnya kekerasan seperti melakukan penembakan, pembunuhan, pengeboman, maka perempuan bertindak dalam unit terkecil yakni keluarga. Perempuan dinikahi sebagai sarana bagi para pelaku tindak terorisme untuk memperluas jaringan dan merupakan strategi yang dilakukan oleh jaringan teroris dalam melanggengkan eksistensi mereka. Dalam garis budaya patriarki, perempuan dituntut untuk mengikuti perkataan suami. Perempuan juga memiliki tanggung jawab untuk mendidik seorang anak. Dalam proses mendidik inilah perempuan dapat menanamkan ideologi radikal ekstrimis terhadap anak-anaknya yang dapat berdampak pada psikologis dan sikap anak di kemudian hari.

Akan tetapi, arus globalisasi membuat perempuan tidak hanya bertindak dalam ruang ‘domestik’ saja. Pada kenyataannya, perempuan juga menjadi sasaran perekrutan jaringan ekstrimis dengan keterbatasan kemauan laki-laki yang berkeinginan melakukan ‘jihad’ dan menjadikan perempuan sebagai pelaku baru yang terjun langsung di lapangan. Begitu ramai pemberitaan di media massa yang menampilkan usaha pengeboman istana oleh seorang perempuan berinisial DNY dan IP baru-baru ini yang menambah sederet nama perempuan yang terlibat dalam terorisme, seperti TS, IP, JM, TS, MU yang sudah lebih dahulu bertindak dalam gerakan terorisme.

Alasan dari keikutsertaan perempuan memang didasari oleh banyak faktor yang serupa dengan faktor pendorong tindak terorisme secara umum. Dalam kasus yang melibatkan DNY ia didasari oleh keyakinan yang kuat yakni ideologi bahwa jihad merupakan cara untuk berkorban memanifestasikan kecintaan terhadap Tuhannya. Atau dalam kasus IP ia mengalami kekerasan saat berkerja sebagai TKW di luar negeri yang menjadikan hal tersebut sebagai motif balas dendam. Dalam kasus perempuan yang lainnya, didorong oleh keterlibatan suami mereka dalam terorisme yang juga menekan mereka untuk terlibat. 

Meski  dilatarbelakangi faktor yang berbeda akan tetapi merupakan objek yang sama yakni perempuan. Keikutsertaan perempuan dalam tindak terorisme merupakan hal yang mematahkan pandangan berat sebelah terhadap perempuan dalam masyarakat yang berkaitan dengan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dan kekuatan dari peran perempuan dalam tindak terorisme, yang nyatanya tidak dapat dipandang sebelah mata seperti anggapan bahwa perempuan hanya menjadi korban dari tindak terorisme.

Pergerakan perempuan dalam terorisme di era globalisasi begitu pesat dengan adanya perkembangan teknologi yang memudahkan akses informasi dan terjalinnya komunikasi. Meskipun tidak pernah saling bertemu sebelumnya, para perempuan dapat berhubungan secara intensif, mendapatkan paham-paham ekstrimis melalui informasi yang di akses dan mendapatkan pemahaman baru yang dapat mendorong perempuan dalam melakukan tindakan terorisme. Melalui media massa, jaringan-jaringan ekstrimis biasa merekrut dengan penyebaran paham-paham ekstrimis. Hal ini dilakukan dengan cara halus karena melalui dakwah dan ceramah yang memikat hati sehingga perempuan terdorong tanpa adanya paksaan.

Apabila keberadaan perempuan berperan besar dalam membentuk terorisme, maka sebaliknya, perempuan juga berperan dalam menangkal tindak terorisme. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman serta ideologi yang benar kepada perempuam dengan jalan pendidikan. Perempuan kemudian meneruskannya kembali kepada anak-anaknya terutama kekuatan pada fondasi agama. Fondasi agama yang kuat dalam diri seseorang akan mencegah seseorang tersebut bertindak dengan pengutamaan jalan kekerasan yang lekat dengan aksi terorisme terutama yang berkaitan dengan masalah jihad. 

Perkembangan teknologi juga menyebabkan arus informasi yang dapat menjadi acuan diwarnai pula oleh ideologi yang ekstrimis sehingga memerlukan kehati-hatian dalam menyerap informasi yang didapatkan. Perempuan juga dapat bertindak sebagai makhluk yang ‘membereskan kembali’ kekacauan yang disebabkan oleh tindak terorisme dalam berbagai bidang, khususnya yang berkaitan dengan pemulihan psikologi dan pemenuhan HAM bagi para pelaku dan eks pelaku teroris. Misalnya saja sederet perempuan seperti Malala Yousafzai, Aung San Suu Kyi, dari Indonesia kita memiliki Rotua Valentina Sagala, Suraiya Kamaruzzaman sebagai salah satu dari sekian banyak barisan terdepan yang menentang kekerasan yang lekat dengan tindak terorisme terlebih kepada perempuan dan anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun