Mohon tunggu...
Miftah FaridM
Miftah FaridM Mohon Tunggu... Penulis, Praktisi, Mahasiswa -

Mahasiswa Politik dan Pemerintah UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perang Wacana Pilkada DKI: Tantangan untuk Digital Native

1 Juni 2017   07:51 Diperbarui: 1 Juni 2017   08:19 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketegangan yang terjadi di DKI Jakarta rupanya tidak muncul begitu saja. Perebutan kursi di Pilkada DKI Jakarta bukan penyebab utama. Jika diamati dengan lebih jeli, Pilkada DKI silam merupakan pertarungan wacana. Pertarungan wacana tersebut melibatkan dua ‘kontestan’ yang saling beradu. Pertama, kubu yang membawa wacana kebinekaan. 

Kedua, kubu yang membawa wacana ketaatan beragama.  Perang wacana ini adalah bagian dari politik diskursus. Diskursus dapat diartikan sebagai ide, gagasan, sistem berpikir,dan gambaran yang membentuk suatu budaya. Dimana politik diskursus ini bertujan untuk membentuk klaim kebenaran tentang sesuatu.

Seorang Filusuf asal Francis bernama Michel Foucault mengatakan bahwa kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan. Michel Foucault menambahkan kekuasaan itu menghasilkan pengetahuan.  Dimana setiap kekuasaan itu selalu terkait dengan pengetahuan yang dominan saat itu. Dengan kata lain, jika ingin berkuasa maka harus memenangkan perang wacana. Melalui produksi wacana dan opini kita bisa membentuk realitas baru.

Dalam menjalani kehidupan, kita sering kali tidak sadar bahwa diri kita di pengaruhi oleh wacana dan opini yang dominan. Wacana yang berhasil mendominasi medan pertarungan tersebut akan mendominasi pemaknaan akan realitas. Dalam hal ini realitas tentang  bagaiamana kita bernegara. Memenangkan perang wacana tersebut sama saja menang untuk menentukan arah kehidupan bernegara.

Wacana disini diartikan sebagai segala bentuk ekpresi maupun perilaku sosial yang berasal dari gagasan/ ide dalam memahami sesuatu yang kemudian dibawa ke arena publik. Kita menyaksikan bersama berbagai macam cara digunakan dua kubu tersebut untuk membawa gagasan atau ide dalam memahami sesuatu ke ranah publik. Cara paling sering dilakukan adalah melalui aksi atau demonstrasi.

Kini, perkembangan teknologi yang semakin menjamur menciptakan jalur alternatif yang lebih efektif dan efisien. Fasilitas media sosial yang memilki jangkauan kesemua penggunanya telah mewadahi ‘pihak yang berkepentingan’ untuk menggiring opini publik. Para penikmat media sosal yang tidak kritis akhirnya kerap kali dijejali opini-opini seragam yang memihak. Akibatnya, para pengguna media sosial saling serang dan memunculkan perpecahan.

Perang wacana bukan tidak membawa konsekuensi. Justru saat ini ketegangan dan fragmentasi mulai muncul akibat adanya perang wacana ini. Sejatinya, jika perang wacana hanya sebatas adu argumentasi itu baik saja. Sayangnya, kali ini kita menyaksikan banyak ujaran kebencian, berita hoax dan penghinaan dari yang tidak sependapat. Hal ini menjadi ancaman untuk keberlangsungan kehidupan berbangsa kita. Terutama jika kita melihat dari prespektif digital native.

Digital Native dan Perang Wacana

Digital native adalah generasi yang lahir pada era digital dan bersinggungan langsung dengan dunia digital. Istilah tersebut di kemukakan oleh Marc Prensky melalui tulisanya yang berjudul ‘Digital Native, Digital Immigrant’ pada tahun 2001. Dalam tulisanya Prensky menjelaskan perbedaan karakteristik antara digital nativedan digital immigrant(generasi yang baru mengenal teknologi digital pada usia dewasa). Perbedaan diantara keduanya salah satunya ialah pada cara berpikir dan cara memproses sebuah informasi.

Jika kita kaitkan dengan politik diskursus dan perang wacana akhir–akhir ini, digital native menjadi kelompok yang patut untuk diperhatikan. Jumlah digtal native yang tidak sedikit, akan sangat berpengaruh dalam menentukan siapa yang akan memenangkan pertarungan wacana tersebut. Dalam Pilkada DKI Jakarta misalnya, jumlah pemilih tetap dengan rentang usia 17-30 yang merupakan digital native ada sebanyak 1.990.390 pemilih.

Salah satu tim PKM-Penelitian Sosial Humaniora dari Univeristas Gadjah Mada mencoba meneliti bagaimana perilaku memilih digital native. Penelitian tersebut melihat bagiamana media sosial mendorong digital nativeuntuk menggunakan hak pilihnya dan bagaiamana media sosial berpengaruh dalam menentukan preferensi poitik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun