Gelombang perkembangan teknologi saat ini sangatlah dirasa begitu cepat dan kuat. Hanya dalam kurun dekade saja, kemunculan teknologi-teknologi baru begitu bervariasi, terutama saling berlomba dalam konteks ukuran.
Berbeda halnya jika kita bandingkan dengan perkembangan mesin uap menjadi mesin berteknologi listrik/elektrik yang butuh waktu yang cukup lama, dan berbagai contoh lainnya.
Dengan kondisi seperti itu, timbullah berbagai pertanyaan, yang paling mendasar adalah apakah perkembangan teknologi sebagai output dari ilmu yang maju secara pesat merupakan ancaman bagi eksistensi Islam?
Jika kita mengulas mengenai hal tersebut, terlebih dahulu tentu harus kita pahami dasar-dasar bagaimana Islam memandang dan berhubungan dengan ilmu itu sendiri. Hal ini menjadi sangatlah penting karena dengan memahami hal mendasar, kita dapat memahami perkembangan dari hal-hal tersebut.
Layaknya saat kita telah memahami suatu prinsip sebuah ilmu, katakanlah seperti operasi aljabar dengan memahami operasi dasar komutatif, asosiatif, dan distributif maka kita akan dapat melakukan berbagai operasi hitungan lanjut.
Atau contoh lain dalam ilmu biologi, saat kita memahami untuk mensintesis DNA terdapat 3 tahapan dasar, maka kita dapat melakukan berbagai variasi teknik atau bahan yang digunakan.
Ilmu berasal dari Bahasa Arab yang maknanya berarti mengetahui pengetahuan. Kata ilmu pula memiliki makna lain yang cukup dekat yakni makna petunjuk/tanda. Dengan demikian terdapat hubungan yang erat antara pengetahuan dan petunjuk.
Segala pengetahuan yang ada kemudian memiliki manfaat dan berubah menjadi ilmu sejatinya muncul dari alam yang mana alam sebagai tanda/petunjuk sesuai dengan firman Allah dalam surat Yunus ayat 6 yang artinya, "Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa". Sehingga ilmu merupakan media dalam mengenali adanya Sang Pencipta.
Dan output tertinggi dari mengenali Allah yakni derajat takwa. Maka ilmu dalam Islam akan selalu berjalan beriringan, keduanya akan selalu ada dalam rangka saling mendukung satu sama lain.
Secara tersirat bagaimana Islam mendudukkan ilmu seperti yang dituliskan di paragraf sebelumnya telah menyentuh tujuan ilmu itu sendiri. Dengan kedudukan ilmu yang begitu mulia di dalam Islam, maka sangatlah rendah derajat ilmu itu jika digunakan hanya semata untuk kepentingan duniawi.
Tujuan ilmu dalam perspektif Islam mencakup 2 konsep yakni untuk memahami agama dan mengenal Allah serta menyempurnakan tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Imam Al-Ghazali berkata, "kita menuntut ilmu selain karena Allah, maka ilmu enggan datang kecuali karena Allah".
Islam telah mendudukkan ilmu dan memberikan tujuan yang mulia terhadap ilmu itu sendiri. Tentu dengan penilaian tersebut, penguasaan dari ilmu yang didampingi oleh iman akan berbuah akhlak, dan penyampaian ilmu dengan akhlak akan menghasilan hikmah bagi siapapun yang menerimanya. Dalam perspektif Islam ilmu, amal, dan akhlak tidak dapat dipisahkan.
Bagaikan pilar-pilar yang menguatkan suatu bangunan. Dalam surat Yunus ayat 6 di atas telah menunjukkan bagaimana orang beriman dengan ilmu yang ada padanya melihat alam semesta dan memahami terdapat makna penciptaan dibalik adanya alam semesta tersebut, juga dalam ayat tersebut orang berilmu dikaitkan dengan takwa.Â
Salah satu definisi takwa yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah adalah "seseorang beramal ketaatan pada Allah atas cahaya (petunjuk) dari Allah karena mengharap rahmat-Nya dan ia meninggalkan maksiat karena cahaya (petunjuk) dari Allah karena takut akan siksa-Nya.
Tidaklah seseorang dikatakan mendekatkan  diri pada Allah selain dengan menjalankan kewajiban yang Allah tetapkan dan menunaikan hal-hal yang sunnah", dalam definisi ini erat kaitannya dengan amal, yang tentu berbuah pada akhlak pula.
Parameter dan batasan itulah fungsi Islam dalam pengendalian perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Islam tidak mengekang majunya teknologi, namun dengan semua kemajuan yang terjadi, akan disaring oleh Islam itu sendiri menjadi sebuah buah peradaban yang benar-benar memberikan kebermanfaatan bagi seluruh makhluk yang ada di dunia, bukan buah peradaban yang justru merusak kedamaian dan keseimbangan makhluk.
Pada masa kekhalifahan dahulu, di Baghdad perkembangan ilmu sangat pesat, dimulai dari Al-Khawarizmi menemukan sistem angka dan operasi hitung, lalu Al-Biruni dengan geometri Bumi, Ar-Razi yang berperan dalam ilmu kimia sehingga terjadi industrialisasi yang pesat, dan Ibn Haytam, penggagas ilmu optik yang sangat luar biasa.Â
Perkembangan ilmu terkadang menjadi sangat pragmatis bagi manusia, karena nafsu yang menjadi kendali utama. Islam mengajarkan kita untuk mempertimbangkan kondisi masa depan dari ilmu yang kita gunakan.
Islam akan terus eksis hingga akhir zaman nanti karena itu lah yang tercantum dalam Al-Quran sebagai wahyu langsung dari Allah. Sehingga sebagai orang beriman, bagaimanapun kondisi yang terjadi sekarang kita akan pasti percaya bahwa Islam akan terus ada. Karena pada dasarnya Islam tidak pernah bertentangan dengan kondisi zaman, termasuk salah satunya parameter teknologi.
Islam diturunkan untuk kedamaian makhluk di dunia, ilmu pula sejatinya ada untuk mensejahterakan, orientasi keduanya sama. Bahkan dalam beberapa kasus, Islam menjadi pemicu dan refrensi/inspirasi penting dalam upaya-upaya perkembangan ilmu. Seperti gambaran embrio selama masa kandungan, proses penciptaan alam semesta, keutamaan lebah, ilmu geologi seperti fungsi gunung, dan lain-lain.
Peradaban mulia justru akan bangkit jika perkembangan ilmu diselaraskan dengan nilai-nilai Islam yang ada, karena sejatinya saat kita patuh terhadap aturan-aturan yang telah diberikan oleh Allah tentu hanya akan ada hal baik di dalamnya, baik bagi diri sendiri, masyarakat, lingkungan, dan makhluk ciptaan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H