"Oh ya, simpan saja liontin ini sebagai kenang-kenangan dariku. Kalau sudih, aku mau kamu memakainya. Tapi kalau nggak juga nggak masalah. Cukup simpan saja di tempat yang kamu suka". Kulihat liontin itu teronggok tak berdaya di permukaan meja setelah dilepas pemiliknya. Kutaksir harganya kisaran ratusan juta. Wendy bukan dari kalangan kaya raya. Adanya liontin itu membuktikan kerja kerasnya untuk bisa membelinya. Dan itu ia serahkan padaku dengan Cuma-Cuma.
   Kuambil liontin mahal itu dan kutimang-timang dengan senyum haru.
"Kalau aku memakainya, pasti cocok dan makin indah". Â Pikirku. Kubuka pengaitnya untuk kupasangkan di leherku. Sejenak kutatap Wendy, memastikan kalau dia juga ingin melihatku memakainya. Wendy tersenyum sumringah, bola matanya berbinar.
Dan entah setan apa yang merasuki perasaanku, dengan tak berperasaan kubuang liontin berlian mahal itu, kulemparkan ke kolam ikan yang berada di dekat kami duduk. Hanya kata maaf yang terlontar dari bibirku sebagai kata penutup perjumpaan kami di  senja  yang mulai turun bersama sendu di hatiku. Mengapa harus sendu? Wendy bukan jodohku.  Wendy bukan kriteria teman hidup yang kumau. Namun di sisi  lain hatiku menolak logika yang dibuat otakku.Â
Aku risau menghadapi perdebatan antara hati dan logika yang bertolak belakang. Aku butuh sendiri. Aku butuh menenangkan diriku yang jauh dari kata baik-baik saja. Aku harap esok hari, hati dan pikiranku bisa bersahabat kembali.
   Kutatap Wendy sekali lagi sebelum tubuhku benar-benar pergi meninggalkannya bersama rasa sakit yang kutorehkan. Setetes bulir air mata jatuh di pelupuk matanya. Aku tak tega. Ingin kukembali lantas memeluknya. Akan tetapi logikaku  justru menahan langkahku dan menuntunku agar segera pulang.
"Wendy, maafkan aku. Aku terlalu jahat sama kamu". Lirihku yang tak mungkin lagi terdengar olehnya.
   Malam pukul 21:47, aku mendapat notifikasi whatsapp terakhir dari Wendy. Ya, sebelum dia memblokirku dari semua akun media sosialnya.
"Alula, terima kasih atas luka yang telah kamu berikan. Terima kasih juga untuk tujuh tahun telah menjadi teman suka-duka walau nggak berlangsung selamanya. Aku nggak membencimu. Sama sekali enggak. Tapi yang  kamu lakukan tadi itu amat sadis, Alula. Aku nggak habis pikir aja sih, sebegitu ganasnya kamu mencabik-cabik perasaanku. Kamu nggak punya perasaan, Alula. Setidaknya kalau kamu nggak ingin memakainya atau ingin membuangnya, kamu bisa lakukan itu di belakangku.Â
Tanpa harus menyakiti  perasaanku. Karma itu berlaku, Alula.  Karma itu pasti ada. Bukan aku mendoakanmu yang tidak-tidak, tapi alam semesta bekerja sesuai huk um yang berlaku di  dalamnya. Maafmu aku terima, Alula. Tapi entah dengan hatiku. Mungkin ini menjadi pesan terakhir yang kukirimkan untukmu, dan pertemuan tadi adalah yang pertama dan terakhir untuk kita berdua. Selamat tinggal, Alula. Dariku, orang yang baru saja kamu sakiti." Begitu isi pesan Wendy yang sukses membuatku menangis semalaman.
***